KALANGKANG (Oneshoot)

Aku benci ketika ibu dan ayahku kembali bertengkar di rumah. Aku benci ketika piring-piring di rumahku pecah belah dengan bunyi yang gaduh karena ayah melemparkannya. Aku benci ketika mendengar tangisan adikku Aisya ketika melihat ibuku ditampar dengan keras  oleh ayah.
            Itulah pekerjaan yang selalu ayah dan ibuku lakukan apabila mereka mulai tak akur. Mungkin ada tiga kali dalam seminggu mereka melakukan hal itu. Alasan utamanya adalah karena ayah jarang pulang dan selalu dipergoki ibu sedang berduaan bersama wanita lain. Aku pusing dengan apa yang selalu mereka lakukan. Mereka tak berfikir akan dampak negative bagi anak-anaknya akibat ulah mereka yang hanya bisa naik pitam dan perang dengan senjata amarah yang membuncah.
Ketika mereka sudah seperti itu, aku selalu pergi. Menjauh untuk meninggalkan mereka agar telingaku tak mendengar teriak-teriakan dari mulut mereka. Kadang aku juga pergi membawa adikku agar ia tak menangis terus-terusan melihat ibunya dipukuli.
            Seperti saat ini, aku segera mengambil jaket dan kunci motorku ketika ibu mulai berteriak pada ayah. Adikku Aisya sedang menyaksikan perang kata-kata kotor antara ayah dan ibu.
“ Kak Alvin mau kemana? “
“ kaka mau pergi dek, kamu mau ikut? “
Tiba-tiba ibu berjalan menghampiri kami sambil membawa tas kecil. Matanya sembab, sebercak darah di sudut bibirnya masih basah dan ada bekas telapak tangan berwarna merah di pipinya.
“ Ana! Mau kemana kau. Aku belum beres berbicara denganmu “
“ mau bicara apalagi sih? Sudah jelas kamu berselingkuh dengan wanita jalang itu. Pesan di ponselmu adalah bukti nyata kalau kau selingkuh. Dasar lelaki bajingan “
“ Sialan kamu! “
Ayah mengangkat tangannya, bersiap-siap untuk memukul ibuku kembali dengan tangannya yang besar. Namun segera kucegah tangan itu ketika jaraknya hanya tinggal beberapa senti lagi di pipi ibuku.
“ bisa gak sih yah sekali aja jangan pukul ibu? Apa ayah gak malu sama Aisya? Kasian Aisya sama ibu yah. “
PLAAAKK!!
Tangan besar ayah kini malah menamparku dengan keras. Rasa panas mulai menyebar di pipiku, bahkan dengan cepat menjalar hingga merasuki hati.
“ Diam kamu Alvin! Jangan campuri urusan ayah dan ibu “
Aku tak menggubris perkataannya, begitu juga dengan teriakkan ibu yang memanggil namaku. Kunyalakan motor matic yang kumiliki dan segera pergi dari rumah yang seperti neraka bagiku.
******
            Matahari sudah mulai turun untuk kembali beristirahat dan bersiap-siap muncul dibelahan dunia lainnya. Aku masih duduk termenung di bangku taman kota yang kosong. Sepi, damai, dan tentram. Hanya bisik angin yang terdengar di telingaku. Ditambah dengan suara gersakan dedaunan kering yang berjatuhan dari pohon apel. Entah berapa lama aku duduk disini sambil menangis. Mungkin sudah lama aku disini, sampai-sampai aku tak bisa menghitung kembali berapa orang yang melihatku dengan tatapan aneh mereka.
Itulah yang selalu aku lakukan jika hal ini sedang terjadi. Taman ini seakan menjadi obat penenang bagiku. Bahkan kursi tempat dudukku sekarang sudah mulai terbiasa dengan bulir-bulir air mataku yang berjatuhan menimpanya.
            Aku hanya memiliki mereka, pohon apel, daun kering yang sudah berjatuhan, dan suara angin yang menenangkan untuk menghiburku. Tak ada keluarga ataupun kerabat, bahkan seorang teman untuk menghiburku. Aku sudah terbiasa sendiri. Siapa yang mau berteman dengan pria yang memiliki kantung mata hitam karena selalu menangis? Bahkan ketika mereka melihatku mungkin mereka sudah enggan untuk mendekati.
“ jangan menangis, pakailah ini untuk menghapus air matamu “
Tiba-tiba sebuah tangan mengulurkan sapu tangan berwarna biru gelap padaku. Seseorang berjalan kehadapanku dan membungkuk. Seorang pria jangkung dengan rambut yang terlihat basah memandangku. Ia tersenyum sehingga lesung pipit di pipi kirinya terlihat.
“ aku selalu melihatmu menangis disini? Kau punya masalah besar? Kau bisa bercerita padaku “
“ siapa kau? “
Pria itu tersenyum lalu duduk di sampingku. Ia mengambil sapu tangannya dariku dan membuka lipatan sapu tangannya. Disana tertulis sebuah nama dengan benang berwarna putih. Dimas Rahmansyah.
“ Kau sudah tau namaku, sekarang giliranku untuk mengetahui namamu “
Dengan enggan aku menjawabnya, memberitahukan namaku. Ia menyambut jawabanku dengan senyuman indahnya lagi.
“ jadi Alvin, kenapa kau menangis? “
“ bukan urusanmu “
Ia tertawa lirih sambil menyorotkan pandangannya kearah cahaya jingga sang mentari yang semakin menghilang. Cahaya itu memantulkan sinar lemahnya diatas danau buatan.
“ kau tahu Alvin, kadang memang sulit untuk menceritakan suatu hal yang berat kepada orang lain. Tapi, masalah itu akan semakin besar dan buruk apabila kita terus memendamnya di dalam hati “
Dimas menyimpan lengannya di dadaku seakan ia tahu isi hatiku yang sedang berantakan.
“ orang tuaku bertengkar di rumah, sepertinya mereka akan bercerai. Keluargaku akan hancur tak lama lagi. Aku bingung harus berbuat apa “
Entah kenapa tiba-tiba aku berbicara padanya dengan jujur. Mungkin karena aku sudah tak kuat untuk memendam semuanya. Hatiku sudah tak bisa untuk menampung kesedihan ini.
            Tiba-tiba Dimas memelukku dari samping, membawa kepalaku untuk bersandar di punggungnya. Aku kembali menangis. Tangan Dimas mengusap kepalaku dengan penuh kasih sayang. Belum pernah aku merasakan senyaman ini ketika dipeluk. Aku lupa kapan terakhir kalinya aku mendapat pelukan dengan penuh kasih sayang seperti ini dari ayah ataupun ibuku.
“ tak boleh menangis lagi. Kau pria manis Alvin, mata pandamu mengganggu sekali. Sudahlah, bagaimana jika kuajak kau berkeliling? Taman ini terlihat sangat indah jika malam hari “
Ia menggandeng tanganku dan membawaku pergi mengelilingi taman ini.
.
.
.
            Apa yang dikatakan oleh Dimas memang benar. Taman ini ternyata indah apabila kita mengunjunginya malam hari. Patung angsa besar yang berada ditengah danau menyala dengan lampu warna-warni. Selain itu lilin-lilin yang mengapung diatas danau membuat pemandangan menjadi semakin indah. Aku berjalan berdampingan dengannya, diterangi lampu taman yang bersinar.
            Meskipun aku baru saja mengenalnya, aku merasa nyaman. Dimas seperti teman lama bagiku. Ia bisa membuatku bercerita banyak padanya. Aku baru saja tahu usianya duapuluh tiga tahun. Satu tahun lebih tua dariku. Ia pria yang humoris, jadi ia tak pernah gagal untuk membuatku tertawa terbahak-bahak.
“ aahhh.. Dimas, kau membuat perutku menjadi sakit karena keseringan tertawa “
“ itu bagus, daripada seperti sore tadi kau cemberut dan menangis seperti anak bayi. Lihatlah dirimu, semakin manis jika kau tersenyum “
Aku merunduk malu, menyembunyikan rona merah di pipi.
“ ini sudah larut malam, sebaiknya kau pulang. “
“ aku tak mau pulang, pasti di rumah kosong. Tak ada siapa-siapa. Ibu mungkin sekarang sudah pergi ke rumah nenekku dan ayaaahh.. mungkin dia sedang bersama wanita lain “
“ tapi ini sudah larut malam, kau bisa kedinginan jika terus berada disini. Sudahlah sebaiknya kau pulang “
Kami berhenti di tempat kami duduk sore tadi.
“ apa kita bisa bertemu lagi? “
“ ya kita bisa bertemu, aku akan selalu ada di taman ini. “
“ Baiklah, sampai jumpa “
“ ya, ingat perkataanku. Jangan menangis lagi ‘
“ ya terimakasih “
Ia melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum manis.
*****
SUDUT PANDANG PENULIS
            Setelah pertemuan hari itu bersama Dimas, banyak perubahan yang dialami oleh Alvin. Kantung mata hitam kini lambat laun menghilang. Wajahnya semakin cerah dan Alvin sudah tak memperdulikan masalah orang tuanya lagi.
Dimas sudah menjadi bagian dari obat penenagnya. Setiap sore jika ada waktu senggang mereka sering bertemu ditaman ini. Seperti saat ini. Dibawah terang sinar sang rembulan mereka sedang duduk berduaan dibawah pohon apel. Alvin menyandarkan tubuhnya kepada pohon apel, Dimas berbaring di paha Alvin sambil bersiul menyanyikan sebuah lagu.
“ terimakasih.. “
“ untuk? “
“ untukmu yang menemaniku. Entah bagaimana nasibku jika aku tak bertemu denganmu Dimas. Mungkin sekarang kantung mata hitam itu akan semakin membesar “
Dimas tertawa kecil.
“ pasti wajahmu terlihat sangat tua dan jelek “
Alvin mencubit pipi Dimas dengan kesal. Ia memanyunkan bibirnya.
“ aahhh.. jangan mencubitku seperti itu. Sakit tau “
Kini Alvin yang tertawa.
“ Dimas, bolehkah aku berbicara serius denganmu. Ada suatu hal yang harus kusampaikan. “
“ apa itu, sampaikanlah. Aku akan mendengarkannya “
Dimas bangkit dari tidurnya. Ia memandang Alvin dengan lekat. Alvin merasa canggung dengan tatapan itu. Untung saja sinar bulan malam ini tak terlalu terang sehingga menyamarkan warna merah muda di pipinya.
“ sepertinya aku jatuh cinta padamu “
Setelah mengatakan itu, rasanya seperti sudah melewati masa keritis pada saat operasi. Alvin kini sangat antusias sekali untuk mendengar jawaban dari Dimas. Namun kenyataannya Dimas hanya terdiam sambil memandang kosong rerumputan yang berwarna pucat.
“ apa tanggapanmu, apa jawabanmu? “
“ maafkan aku, sepertinya aku harus pergi sekarang. “
“ tapi kau belum menjawab pertanyaanku Dimas “
Alvin memanggil namanya beberapa kali namun Dimas tak mendengarnya. Ia terus berjalan hingga menghilang di kejauhan. Alvin merasa menyesal telah mengatakan perasaannya secepat itu. Seharusnya ia bisa menahan diri untuk tidak mengatakannya.
.
.
.
            Malam itu adalah malam terakhir Alvin bertemu dengan Dimas. Ia tak pernah bertemu lagi dengannya. Bahkan ia tak pernah melihat Dimas berada di taman itu. Hatinya kembali rapuh. Alvin merasakan sakit yang melebihi rasa sakitnya ketika kedua orangtuanya bertengkar. Ia bingung, bingung untuk mencari dimana Dimas. Ia ingin meminta maaf atas kelancangan dirinya yang telah menyatakan perasaannya.
Akhirnya sebuah jalan keluar dipertemukan dengan Alvin. Ketika ia mengobrak-abrik meja pribadinya, ia menemukan sapu tangan yang pernah Dimas berikan padanya. Dan di sapu tangan itu tersisiplah sebuah foto. Foto Dimas yang sedang tersenyum sambil duduk dibangku yang selalu mereka duduki.
            Foto itu memberikan secercah harapan bagi Alvin, dengan segera ia pergi untuk mencari dimana Dimas berada. Ia bertanya dari orang yang satu ke orang yang lain sambil menunjukkan foto Dimas yang ia temukan terselip di sapu tangannya. Namun hasilnya selalu nihil. Orang yang ia temui hanya membalas dengan gelengan kepala.
Ia lelah dan memutuskan untuk beristirahat di taman tempat ia biasa bertemu dengan Dimas. Ia kembali merenung, dibawah pohon apel kesukaannya. Memandangi foto Dimas dengan sedih dan penuh harap untuk bertemu dengannya. Hingga suara seorang wanita tiba-tiba membuayarkan lamunannya. Wanita itu menyerukan nama Dimas.
“ maaf mba, mba kenal orang ini? “
Wanita itu sedang menggendong seorang bayi mungil yang manis. Dengan ekspresi sedih wanita itu mengambil foto Dimas. Tak berapa lama air mata keluar membasahi pipinya.
“ dia Dimas adikku, darimana kau mendapatkan foto ini. “
“ Foto itu terselip di saputangannya “
Alvin memberikan sapu tangan warna biru itu pada wanita yang mengaku sebagai saudara Dimas
“ ini memang benar sapu tangannya, sapu tangan ini sudah tak kami temukan setelah.. “
“ setelah apa? “ Alvin semakin antusias untuk mendengarkan informasi dari wanita yang ada di hadapannya.
“ Stelah adikku Dimas meninggal beberapa bulan lalu disini. Adikku dimas dibunuh oleh geng motor. Mayatnya ditemukan di taman ini dengan keadaan yang mengenaskan “
Wanita itu mulai menangis. Bagai disambar petir, Alvin hanya bisa diam  mematung. Ia tak percaya dengan perkataan wanita yang ada dihadapannya.
“ apa? Itu tidak mungkin. Aku baru saja bertemu dengannya kemarin lusa. Ini tak mungkin terjadi “
“ bagaimana bisa kau bertemu dengannya, adikku Dimas sudah tiada. “
Wanita itu kembali menangis. Tubuh Alvin ambruk, ia begitu shock dengan apa yang ia dengar. Hingga akhirnya pandangannyapun memudar, hingga menjadi hitam gelap. Alvin tak sadarkan diri.
*****
            Alvin berdiri di sebuah padang rumput yang luas. Sinar matahari begitu terik sehingga menyengat kepala Alvin. Namun awan putih tiba-tiba menyelimuti sang mentari hingga membuat rasa panas itu menghilang.
Alvin kebingungan, ia tak tahu dimana dirinya sekarang. Namun ekor matanya menangkap sebuah bayangan seorang pria memakai baju serba putih sedang duduk di sebuah bangku putih yang mengkilap di tengah padang rumput.
            Pria itu berbalik dan memandang Alvin dari kejauhan. Rasa hangat di dalam tubuhnya kembali menyeruak kesekujur tubuh ketika ia melihat pria itu tersenyum padanya. Itu Dimas, pria yang ia rindukan.
Alvin berlari dengan cepat untuk mengejar Dimas. Hingga akhirnya ia memeluk Dimas dengan erat. Harum yang Alvin rasakan berasal dari tubuh Dimas yang memakai baju serba putih.
“ Sudah aku bilang, jangan menangis. Aku tak suka melihatmu menangis “
“ kau pembohong Dimas, aku mencintaimu. Kumohon jangan pergi dan teruslah bersamaku “
“ Aku tak bisa, aku tak bisa bersamamu Alvin. Takdir telah mengatakan tidak. Semua yang kau alami hanyalah bayangan. Aku telah tiada, aku tak bisa bersamamu “
“ kalau begitu, bawa aku pergi agar aku bisa terus bersamamu “
“ tak bisa, kau harus tetap melanjutkan perjalanan hidupmu. Kau harus bahagia “
“ Tapi Dimas aku mencintaimu “
“ Maaf aku tak bisa, aku harus pergi. Terimakasih karena kau sudah memberikan sebuah warna baru dalam kesempatan terakhirku Alvin. Meskipun kita baru bertemu namun kau telah memberikanku kebahagiaan. Kini aku harus pergi, waktuku sudah habis “
“ Dimas, jangan tinggalkan aku.. “
“ Maafkan aku “
Sosok Dimas memeluknya, lalu mencium Alvin dengan lembut. Angin datang, menghembuskan hawa hangat dan memudarkan bayangan Dimas untuk selamanya. Alvin berteriak memanggil namanya, namun angin terus membawa pergi bayangan Dimas untuk selamanya..


TAMAT

MAAF BILA ADA KESAMAAN NAMA, JALAN CERITA, TOKOH, TEMPAT, MAUPUN KEJADIAN YANG PERNAH DIALAMI PARA PEMBACA. CERITA INI HANYALAH KARANGAN FIKTIF BELAKA.

MAAF JUGA KALAU BANYAK TYPO, UDAH NGANTUK DAN MALES NGEDIT hehehehe... SELAMAT MEMBACA CERITA ONESHOOT NYA YANG GAK JELAS INI. UNTUK CERITA SELANJUTNYA KALAU ADA WAKTU SENGGANG PASTI DI POSTING.

NOTE :
Cerita ini asli karangan saya ngedadak tadi, makannya absurd. Ngetiknya pas mata udah berat banget xixixixixi... semoga kalian suka. Jangan lupa post-kan komentar kalian. Satu komentar sangat berarti bagi saya. Love You All..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CINTA SEGI EMPAT ( CHAPTER 15 )

I JUST LOVE YOU ( TWO SHOOT )

KARAM (Kama & Rama) #Bagian1