SURAT TULIP MERAH

Asap rokok yang kuhirup itu mengepul. Menari-nari di hadapan wajahku. Angin yang berhembus membuatnya menjauh sedikit demi sedikit dari hadapanku. Aku duduk sendiri di sebuah balkon hotel bintang lima. Sengaja menjauh dari kebisingan yang ada. Nada-nada manis yang mengalun harmonis membuat kupingku pengang. Jujur, aku membenci tempat ini, namun entah kenapa hatiku berkata untuk mendatangi tempat ini.
            Suara bahagia orang-orang yang mengucapkan selamat kepada kedua orang di pelaminan tak kalah menggemanya dengan musik-musik romantis itu. Satu persatu berdatangan, rela mengantri dan berdesak-desakkan hanya demi melihat pengantin baru dengan riasan wajah yang cantik. Dari balkon ini, aku melihat kedua mempelai yang tersenyum bahagia. Mataku tiba-tiba saja meneteskan air mata ketika menangkap sosok lelaki dengan tuxedo hitam yang sedang tersenyum di samping mempelai wanita. Sama-sama menyalami tamu undangan satu persatu. Dialah Dirga, separuh jiwaku yang hari ini menghilang...
*****
            Terik matahari yang begitu menyengat hari ini membuat seorang lelaki kelelahan. Rambutnya yang terpotong dengan rapi itu kini dibasahi oleh keringatnya sendiri. Deru nafas kelelahan terdengar jelas.
Bayangkan saja, sedari tadi dirinya harus berdiri berjam-jam di lapangan utama kampus barunya ini. Berlari-lari tak jelas sambil meneriakan fakultas baru yang ia masuki.
Telapak tangannya yang berkeringat semakin cepat mengipaskan angin ke arah wajahnya yang bercucuran keringat.
“ lo pasti butuh minum “
Suara seseorang mengagetkan dirinya. Sebotol air mineral dingin disodorkan kehadapan wajahnya. Dengan seketika dia menelan ludahnya karena tergoda dengan dinginnya air mineral yang ada di hadapannya itu. Dengan cepat ia menerima air mineral itu, membuka tutup botolnya dengan kasar. Membuang tutupnya ke sembarang tempat.
            Ia teguk air itu dengan cepat. Hingga habis setengahnya. Ia merasakan orang yang memberinya “nyawa” itu duduk di sampingnya.
 “ makasih, kenalin gue Petra. “
“ Panggil gue Dirga “ kata si pria yang memberikan air mineral.
“ Anak fakultas mana? “
“ Kedokteran, lo? “
“ Komunikasi, thanks ya sekali lagi “
Mulai saat itulah mereka saling mengenal. Dirga dan Petra tak pernah terpisahkan setelah perkenalan singkat itu  Bahkan, dari pertemuan pertama itulah Petra mulai menyukai sosok Dirga yang sopan dan baik hati.
*****
“ Nak Petra, ko diam disini. Ayo masuk, bergabung dengan yang lainnya. Dari tadi Dirga nyari-nyari nak Petra “
Suara nyaring ibu Dirga mengejutkanku. Ku buang puntung rokok itu ke lantai. Ku injak hingga asapnya menghilang dan apinya padam.
“ Iya bu, Petra nanti menyusul “
Ku langkahkan kakiku. Mencoba untuk tetap terlihat bahagia. Semoga saja air mataku yang tadi sempat menetes tak terlihat. Aku ingin menyembunyikan kesedihanku di hadapan semua orang terutama Dirga.
            Kebisingan itu semakin jelas di telinga ketika aku mulai memasuki ruangan aula hotel yang begitu luas. Tamu undangan semakin banyak, mulai dari ibu-ibu dan bapak-bapak yang terlihat berpasangan, lalu anak-anak muda, bahkan anak-anak kecil yang masih digendong oleh ibu atau ayahnya. Aku kembali tersenyum pahit saat melihat kedua mempelai di pelaminan megah berhiaskan bunga dengan berbagai warna itu.
Dirga menikah dengan teman kuliah kami dulu. Namanya Jesse, wanita cantik dengan kepintaran yang luar biasa. Dulu Jesse selalu bergabung bersama kami. Jika ada aku dan Dirga pasti Jesse juga ada. Aku tak menyangka bahwa akhirnya wanita pintar itu akan menjadi pendamping Dirga di pelaminan.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.
“ Petra! Apa kabar lo? “
Seorang wanita berbalutkan kebaya putih dan rok selutut kini berdiri di hadapanku. Wanita itu cantik, mata indahnya ia tambahkan dengan alis mata palsu yang hitam. Dengan softlens berwarna abu-abu ia terlihat seratus kali lebih cantik. Rambutnya ia gelung dengan rapi, bibirnya berwarna merah muda, mengkilap dan terlihat manis.
“ ko bengong sih? Masih inget gue kan? “
“ ah.. maaf lupa. Siapa ya? “
“ gila lo! Masa lupa sih?? Ini gue Sonia “
Tiba-tiba teringat sosok seorang wanita yang selalu berduaan bersama Jesse. Ya aku ingat sekarang, ini Sonia teman dekat Jesse. Ah sungguh, ia berubah menjadi lebih cantik sekarang. Bukan berarti dulu saat kuliah dia jelek, namun entahlah Ia terkesan seribu kali lebih cantik saat ini.
“ sendirian aja nih? “ tanya Sonia padaku.
“ iya “ kujawab dengan singkat.
“ oh iya gue lupa, pasangan sejati lo kan sekarang lagi di pelaminan sama si Jesse “
DEG!! Jantungku berdegup, rasa sakit itu kembali hinggap di hatiku.
Sonia tertawa sambil menepuk lenganku dengan manja. Aku mencoba tertawa meski hatiku semakin sakit.
“ ada-ada aja lo! Sama siapa kesini Son? “ tanyaku untuk mengalihkan perhatian.
“ Sendirian juga, mau temenin gue makan dimsum? lo suka dimsum kan tra? “
“ yap, ayo. Kebetulan gue juga belum makan apa-apa dari tadi “
          Ia menggandengkan lengannya padaku. Mengajakku menuju kerumunan orang-orang yang sedang mengantri untuk mengambil dimsum yang tersedia.
*****
            Petra masih berkutat dengan laptopnya. Menguruskan beberapa folder yang harus ia print untuk acara esok hari. Ia terpilih menjadi sekretaris Himpunan Mahasiswa di kampusnya. Matahari sudah menghilang entah kemana. Di luar malam sudah gelap. Keadaan kampus juga semakin sepi.
            Matanya tak pernah lepas dari layar laptop miliknya. Begitulah Petra, jika sudah bekerja ia akan fokus mengerjakannya hingga selesai.
Ponselnya bergetar, layarnya menyala dan menampilkan nama serta foto Dirga. Ia berhenti sejenak dari kegiatannya. Menggeliat untuk meregangkan otot-ototnya yang sudah kaku.
“ Halo? “
“ Sibuk amat si? Sampai gak nyadar gue lagi di depan ruangan. Buka pintunya, jangan di kunci. gue mau masuk “
Petra melihat ke arah kaca, disana ia melihat Dirga sedang menempelkan telfon genggamnya di telinga. Dirga melambaikan tangan. Rasa penat yang tadi ada di tubuhnya seketika menghilang ketika melihat senyum manis Dirga. Dengan tergesa-gesa ia membuka kunci pintu.
“ Sorry, tadi lagi ketik surat undangan. “
“ Ya ampun tra, belum selesai juga? gue ngeliat lo ngetik dari tadi sore loh. “
“ Gimana mau selsai? Yang kerjanya juga cuma satu orang “
“ Ya udah nanti gue bantuin. Tapi makan dulu, nih tadi gue beliin lo dimsum. Abisin dimsumnya abis itu lanjut ngetik lagi. Sekarang biar gue aja yang ngetik “
“ Tapi ga, itu kan bukan pekerjaan lo “
“ gak apa-apa “
Tanpa banyak basa-basi Dirga duduk di meja kerja dan mulai mengetik di laptop Petra.
            Semalaman suntuk mereka mengerjakan semua berkas-berkas milik Petra. Dirga meskipun terlihat kelelahan berusaha untuk melawan lelahnya itu demi menemani Petra.
*****
            Ingatan itu kembali hinggap di pikiranku. Malam dimana aku menghabiskan waktu bersama Dirga. Menyelesaikan pekerjaanku bersama-sama. Sungguh malam itu aku merasa bagaikan mendapat hadiah yang luar biasa.
“ Tra, kenapa sih lo senyum-senyum sendiri bukannya dimakan itu dimsum. Lo lagi mikirin apa? “
Suara melengking Sonia mengambalikanku kepada dunia nyata. Meninggalkan masa lalu yang indah.
“ ah sory.. sory.., tadi gue keinget film lucu yang kemaren gue tonton “
“ Ah elo. Kirain gue lo ngetawain penampilan gue “
“ kenapa gue harus ngetawain penampilan lo Son? “
“ ya siapa tau aja lo ngetawain. Soalnya dari tadi gue gak PD sama penampilan gue “
“ Masa sih? “
“ iya, sekarang gue tanya sama lo. Biasanya kan cowok suka jujur tuh kalau masalah penampilan cewek. Nah sekarang gue tanya lo, penampilan gue gimana? “
Sekali lagi aku memandanginya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia cantik, sungguh sangat cantik.
“ lo cantik ko Son “
Rona merah di pipinya terlihat, sepertinya ia malu.
“ gue serius, eh ini dimsumnya enak ya “
“ biasa aja, lebih enak pecel yang ada di kampus kita dulu “
Jawabnya ngaco sambil tertawa, manis sekali.
            Dentuman suara drum dan dentingan piano mulai berganti. Suara seorang lelaki mengalun dengan indah. Menyanyikan lagu All You Need Is Love.
Love, love, love.
Love, love, love.
Love, love, love.
There's nothing you can do that can't be done.
Nothing you can sing that can't be sung.
Nothing you can say but you can learn how to play the game.
It's easy.
Kepingan-kepingan igatan itu mulai kembali menyatu dalam pikiranku. Satu persatu kejadian mulai terangkai dalam ingatanku. Aku tiba-tiba bisa mendengar suara Dirga saat itu.
Nothing you can make that can't be made.
No one you can save that can't be saved.
Nothing you can do but you can learn how to be you in time.
It's easy.

All you need is love.
All you need is love.
All you need is love, love.
Love is all you need.
“ Tra, kenapa sih lo? Ko ngelamun lagi “
Aku mendengar suara melengking Sonia, namun sengaja ku abaikan. Pikiranku terus terpusat pada masa lalu. Tepat pada saat aku sedang sendirian di tempat kostku dulu.
Aku mencoba untuk mengabaikannya. Namun kepingan ingatan itu seolah enggan untuk pergi.
*****
            Petra sedang tertidur di ruangannya. Musik classic mengalun dari laptopnya. Ia memandang langit-langit tempat kostnya. Bayangannya akan Dirga tak mau lepas. Sepulang kuliah tadi ia terus membayangkan Dirga. Senyumnya, giginya yang putih, bibirnya yang tipis, hidungnya yang mancung, alis matanya yang tebal, dan satu hal lagi tahi lalat kecil di bagian bawah mata kananya. Ah.. sungguh sempurna.
Telfon genggamnya berdering, foto Dirga terpampang dengan jelas. Foto yang Dirga ambil sendiri dari ponsel milik Petra. Foto itu sengaja disimpan oleh Petra.
“ Halo Ga? “
Tiba-tiba Dirga menyanyikan lagu All You Need Is Love. Lagu itu memang sedang disenangi oleh Petra. Dirga menyanyikannya dengan hati-hati, mencoba untuk menyingkirkan suara fals nya sekejap. Petra mendengarkan dengan sepenuh hati. Ia tak menghentikan tingkah aneh Dirga ini, malahan ia menikmatinya.
  “ He love you yeah, yeah, yeah.. “
Lagunya telah berakhir, terdengar deru nafas yang menggebu dibalik telfon itu. Petra masih diam, ia terkejut.
“ Tra? Ko diem sih? Suara gue jelek ya? “
“ ah, enggak ko Dir. Gue kaget aja denger lo tiba-tiba nyanyi. Kenapa si lo? “
“ gak kenapa-napa. Buka pintu kost lo gih. “
“ kena.. “
“ jangan nanya kenapa, udah buruan buka “
Petra segera berdiri, merapikan kausnya. Lalu sebentar menatap wajahnya di depan kaca. Membenarkan rambutnya yang sedikit acak-acakan. Lalu Petra membuka pintu.
Happy birthday.. happy birthday.. happy birthday Petra “
Petra kembali dikejutkan oleh Dirga. Ia melihat Dirga dengan pakaian rapinya. Ia kenakan kaus lengan panjang yang pas dengan badannya dan celana jeans lengkap dengan sepatu.
Selain itu, Dirga juga membawa cupcake dengan lilin kecil di tengahnya yang menyala.
“ Selamat ulang tahun.. “ ucap Dirga sekali lagi.
“ Gila! Ah lo bikin gue kaget. Makasih ya Ga “
Ada air mata yang menggenang di sudut mata Petra. Senyum tak terlepas dari wajahnya.
“ Sama-sama, Ayo cepet ditiup lilinya “
Saat Petra hendak meniup lilinnya, Dirga menyimpan telunjuknya di mulut Petra yang sedang manyun.
“ jangan langsung ditiup, wish dulu “
Petra memejamkan matanya lalu berdoa, setelah itu ia meniup lilinya hingga padam.
“ Thanks ya Ga.  Gue gak tau kalau lo mau bikin surprise kaya begini “
“ ya iyalah lo pasti kagak tau. Kalo lo tau itu namanya bukan surprise “
Mereka tertawa. Dirga mencabut lilinnya lalu menyodorkan potongan kecil cupcake yang ia cubit kepada Petra.
“ aaaa.... ayo makan dulu cupcake nya. Ini gue beli jauh loh “
Petra memakan potongan cupcake itu. Dirga tersenyum manis.
“ Eemm... enak. Beli dimana lo? “
“ Ada deh.. masih ada ko di mobil gue buat lo. “
“ Serius? Thanks ya Ga “
“ iya-iya, sekarang mendingan lo cepet ganti baju gih. “
“ Kemana? “
“ Gak usah banyak tanya, cepetan ganti baju. Dandan yang rapi, jangan bikin gue malu. Gue tunggu di mobil ya Tra. “
.
.
.
            Sudah tiga puluh menit mereka berada di dalam mobil. Sepanjang perjalanan Petra bertanya kemana ia akan pergi, namun Dirga tetap enggan menjawabnya.
Akhirnya Petra memutuskan untuk diam saja hingga sampailah mereka di tempat tujuan. Mereka tiba di sebuah tebing. Lilin-lilin putih menyala, membuat simpul nama Petra.
Sebuah panggangan lengkap dengan jagung tersedia disana.
“ Ga, ini dimana? “
“ ini kejutan selanjutnya buat lo “
Dirga membawa Petra keluar dari mobil. Mengajaknya melihat lilin-lilin putih yang membuat simpul namanya.
Malam itu adalah malam indah bagi Petra, mereka berdua bersama-sama menikmati keindahan kota dengan lampu-lampu yang berkelap-kelip sambil memakan jagung bakar.
*****
            Pukulan kasar itu terasa di bahuku. Kulihat Sonia sedang menatapku dengan tatapan kesalnya. Sekali lagi ia memukul bahuku namun kuhentikan.
“ Kenapa sih lo mukul-mukul gue? “
“ Abisnya lo dari tadi gue panggil-panggil kagak nyaut. Kenapa sih lo? Kesambet setan ya? “
“ Hush! Sembarangan lo kalo ngomong. Bukan gitu, gue lagi kepikiran aja sama kucing gue di rumah. Gue lupa belum ngasih dia makanan “
“ Makanya jadi orang tu jangan pikun. Udah ah, mendingan kita antri buat salaman sama pengantin baru. Gue gak sabar ngeliat Jesse dari deket “
Dia menarik lenganku tanpa bertanya apakah aku sudah siap atau belum untuk bertemu Dirga dengan Jesse. Tarikannya begitu kuat hingga akhirnya masuklah kami ke antrian tamu undangan untuk memberikan selamat kepada kedua mempelai.
            Lagu yang dinyanyikan sudah berganti, aku tidak bisa diam karena merasa gusar. Aku bingung harus mengucapkan apa nanti pada Dirga. Sebenarnya ada masalah lain yang lebih besar, apa aku sanggup melihat orang yang kucintai bersanding dengan istrinya dari jarak dekat? Itulah maslaah terbesarku sekrang.
Semakin lama, antrian semakin menipis. Aku dan Sonia sedikit demi sedikit semakin dekat dengan kedua mempelai. Bahkan AC yang terpasang untuk menghilangkan kegerahan bagi kedua mempelaipun sudah terasa merasuki baju yang kupakai.
            Untuk mengalihkan perhatianku dari Dirga, ku coba untuk melihat sekeliling pelaminan. Ada banyak sekali hiasan yang menunjang keindahan pelaminan super mewah ini. Namun ada satu hal yang membuatku tertarik. Bunga tulip merah.
Aku melihat bunga tulip merah yang sudah dirangkai sedemikian rupa dipajang dekat kedua mempelai. Bunga tulip merah adalah bunga kesukaanku, begitu juga dengan Dirga. Teringat kembali di benakku ketika Dirga memberikanku sekuntum bunga tulip kepadaku. Waktu itu sedang ada acara di kampus, kebetulan ada stan khusus menjual berbagai bunga yang disediakan oleh panitia acara. Setelah menonton pertunjukan seni yang ditampilkan teman-teman sekampus kami, tiba-tiba Dirga membelikanku setangkai bunga tulip. Aku masih ingat kata-kata yang ia ucapkan padaku saat itu.
            Rasa sakit mulai menyeruak kembali di dadaku, rasanya aku semakin sesak. Posisiku dan Sonia semakin dekat dengan memepelai, bahkan aku bisa melihat dengan jelas riasan wajah Jesse yang mebuatnya begitu cantik hari ini. Aku juga melihat Dirga dengan senyum menawannya sambil berterimakasih kepada tamu undangan.
Jesse melambaikan tangannya untuk menyapa Sonia dan juga aku mungkin. Sonia tak bisa diam di sampingku, ia juga membalas lambaian tangan Jesse dengan semangat. Dirga menoleh ke arah kami, Ia tersenyum lalu menatapku. Matanya yang bening membuat hatiku semakin sakit, ia tersenyum padaku sambil melambaikan tangan. Aku memalingkan wajah, dan akhirnya kuputuskan untuk pergi meninggalkan Sonia dari antrian tamu undangan.
.
.
.
.
            Satu minggu telah berlalu, namun aku masih belum bisa melupakan pernikahan Dirga dengan Jesse. Sudah berulang kali aku mencoba melupakan itu semua dengan menyibukkan diri, namun entah kenapa semakin aku mencoba untuk melupakannya semakin aku teringat kepada Dirga. Bahkan tiba-tiba saja aku mencium aroma parfum Dirga di kamarku, atau bahkan aku merasa kehangatan telapak tangan Dirga di tanganku. Apa aku sudah gila? Dirga, kenapa kau membuatku menjadi seperti ini? kenapa juga aku harus bertemu dengannya dan jatuh cinta kepadanya?
            Hari ini, untuk kesekian kalinya aku mencoba melupakan Dirga. Ku awali dengan menyibukkan diri untuk membersihkan rumah. Hal pertama yang kulakukan adalah memberikan air untuk tanaman-tanaman hias di pekarangan rumahku. Sudah lama aku tak merawat mereka. Daun-daunnya sedikit menguning dan layu. Mereka sama seperti hatiku saat ini. Kusirami dengan telaten bunga-bunga itu. Aku tak ingin ada satupun bunga yang terlewat ku sirami. Aku ingin melihat kembali mereka tumbuh dengan segar seperti saat pertama kali aku menanam mereka.
Selesai dengan pekarangan depan rumah, aku mencoba untuk bersantai sebentar. Duduk di sofa empuk sambil menonton acara pagi televisi sudah cukup untuk membuatku tenang pagi ini. Ku pindahkan chanel tv satu persatu. Mencari berita hangat pagi ini.
            Menonton berita adalah kesukaanku. Aku senang mendengar berita, apalagi jika ada kaitannya dengan kejadian di luar negeri. Aku merasa bosan dengan berita-berita tanah air yang hanya membahas tentang para koruptor yang satu persatu mulai di ciduk oleh KPK. Pagi itu aku mendapatkan berita tentang trip ke Austria. Berita itu menampilkan tempat-tempat indah di Austria. Tak pernah terpikirkan olehku untuk pergi jalan-jalan ke luar negeri. Akan ku usahakan untuk memasukan travel ke luar negeri kedalam daftar kegiatan liburanku nanti.
Bel rumahku berbunyi dua kali, ku kecilkan volume televisiku untuk memastikan bahwa  memang ada tamu yang mengunjungi rumahku. Bel dibunyikan untuk yang ketiga kalinya, ku matikan televisi lalu pergi untuk membuka pintu.
            Bel itu berbunyi lagi dua detik sebelum kubuka pintu. Saat pintu terbuka, aku merasa waktu seakan berhenti. Degup jantungku juga seperti berhenti berdetak. Mataku tak bisa lepas dari sosok wajah seorang pria yang tersenyum canggung padaku.
“ Hai! Boleh masuk kan? “
Itu Dirga. Ya itu Dirga.
“ Eh? Ya kenapa? Oh ya, masuk aja ga. Lo kaya di rumah siapa aja. Rumah gue selalu terbuka buat sahabat gue “
Dirga tersenyum lalu masuk ke rumahku. Aku masih tidak percaya dengan kehadirannya sepagi ini di rumahku.
            Pakaiannya sangat rapih sekali, kemeja merah maroon dengan celana jeans abu-abu yang sangat lembut. Ia duduk di sofa dan menyimpan tas kecil dengan setangkai bunga tulip merah di meja.
“ Apa kabar lo Tra? Masih kerja di tv yang dulu kan? “
“ kabar gue baik, yap, gue masih kerja di stasiun tv yang dulu “
“ lama juga ya lo bertahan disana, jadi apa lo sekarang “
“ kebetulan, baru aja kemaren gue nyoba buat jadi news anchor. Mungkin bulan depan gue bakalan jadi News Anchor  tetap. “
“ Akhirnya mimpi lo terwujud “
Belum Dirga, mimpiku belum terwujud sama sekali. Mimpiku adalah hidup bersamamu, dan itu tidak akan pernah terwujud sama sekali.
“ ya, gimana lo? Masih kerja di rumah sakit yang dulu juga? “
“ Ya begitulah, Cuma mungkin bulan depan gue bakalan pindah rumah sakit, rencana sih pengen ke luar negeri. Sekalian mau belajar lagi disana.  Bosen kerja disini. “
“ oh gitu, ya baguslah. Terus sukses deh buat lo Ga. Eh tunggu, gue buatin minum dulu ya “
Dirga mengangguk, dengan segera aku pergi melangkah menuju dapur.
            Ya tuhan, kenapa engkau mempertemukan kembali diriku dengannya hari ini? sungguh, dengan pertemuanku hari ini dengannya aku merasa semakin sedih. Kucoba untuk tidak meneteskan air mata. Ku buatkan secangkir teh manis hangat untuknya, aku tahu ia sangat suka sekali teh manis hangat.
Tiba-tiba sebuah tangan membelit pinggangku. Merangkulku dengan lembut, aku bisa merasakan hembusan nafas yang tipis di tengkukku.
“ ternyata lo masih inget semuanya tra. Makasih ya “
Aku diam saja, tak bergerak. Hanya tanganku saja yang memutar-mutarkan sendok untuk mengaduk gula di dalam teh hangat. Tak terasa air mata mulai menetes di mataku. Air mataku jatuh membasahi pergelangan tangan Dirga yang masih melingkar di pinggangku. Kepala Dirga yang tadi bersandar di punggungku kini berpindah posisi. Tangannya yang melingkar di pinggangku kini ia lepaskan. Ia menyimpan kedua tangannya di bahuku. Lalu dengan sangat lembut ia membalikkan tubuhku menghadap ke arahnya.
            Aku menangis semakin kencang. Air mata semakin banyak membasahi pipiku. Tubuhku bergetar, tangisanku pecah sudah.
“ Petra, jangan nangis. Gue gak bisa liat lo kaya gini. Maafin gue tra. “
Dirga mengusapkan jemarinya di pipiku. Menghilangkan jejak air mata disana. Ia memelukku, membawaku dalam dekapannya. Pelukannya terasa begitu hangat, aku memeluk balik dirinya. Disana tangisanku pecah kembali. Dirga memelukku semakin erat.
“ Maafin gue ga. Seharunya gue gak kaya gini. Gue cinta sama lo ga, dan jujur gue gak bisa liat lo berduaan sama Jesse di pelaminan minggu lalu. “
“ Gue minta maaf tra. Gue juga kepaksa ngelakuin ini demi Jesse. Gue juga sebenernya cinta sama lo “
Aku mencoba untuk berhenti menangis. Kembali mengingat kata terakhir yang di ucapkannya. Aku melepaskan pelukannya.
“ tunggu, apa kata lo? “ ucapku sambil kembali mengusap air mata di pipi.
Dirga perlahan-lahan mendekatkan wajahnya. Lalu dengan lembut ia mencium bibirku. Aku terkejut untuk beberapa saat. Ia memperlakukanku selembut mungkin, ia memegang kepalaku dan memperdalam ciumannya. Setelah mencium bibirku ia mencium kedua bola mataku dan keningku.
“ gak seharusnya gue ngelakuin ini Petra. Gue minta maaf sama lo. “
“ lo gak salah ko Ga, gue yang minta maaf sama lo “
Kami berdua terdiam, saling pandang. Dirga tersenyum, lalu ia kembali mendekatkan dirinya padaku. Aku langsung refleks memejamkan mata. Hembusan nafasnya begitu terasa di kulitku. Namun semenit kemudian tak ada yang terjadi. Dirga tertawa melihatku. Ia ternyata hanya membawa cangkir berisikan teh manis hangat yang berada di belakangku. Aku menggaruk kepala, merasakan malu yang amat sangat. Pipiku memanas dan sepertinya berubah warna menjadi kemerahan.
.
.
            Kami berdua duduk di beranda rumah, cangkir berisikan teh manis hangat itu kini sudah habis setengahnya. Dirga masih mengunyah kue kering di mulutnya. Mataku terus memandang wajahnya. Aku tahu ini yang akan menjadi terakhir kalinya bagiku menatap wajah Dirga.
“ Lo gak bosen liatin wajah gue dari tadi tra? “
Aku segera memalingkan wajahku ke arah lain.
“ Ah.. sory kalau lo kurang nyaman. “
Dirga tertawa kecil, sedetik kemudian tangannya mengusap pipiku.
“ enggak ko, oh ya tra. Gue mau kasih lo sesuatu “
Ia memberikanku setangkai bunga tulip merah. Di ujung batangnya tergantung secarik kertas berwarna biru.
“ apa ini? “
“ itu surat buat lo, nanti lo boleh baca suratnya. Tra, makasih ya karena lo udah ngertiin gue. Gue lega hari ini, makasih juga udah jadi bagian dari hidup gue ga. “
Aku mengangguk seraya tersenyum padanya.
“ kayanya gue harus buru-buru pulang. “
Ia bangkit dari duduknya sambil merapikan baju.
“ Tapi ga.. “
Ia kembali mengusap pipiku, kali ini ia meninggalkan sebuah kecupan kecil di kening.
“ gue harus pergi tra. Lo bisa kirim gue e-mail kapanpun. Gue pasti bales, suratnya jangan lupa dibaca ya. “
Aku mengangguk. Dirga menggenggam tanganku, mengelus lalu mengecupnya.
“ sampai ketemu lagi Tra. Gue pulang dulu “
Ia melambaikan tangannya ke arahku saat berada di dalam mobil. Beberapa menit kemudian mobil itu telah menjauh dan akhirnya menghilang. Hatiku merasa kosong kembali setelah kepergian Dirga.
            Aku kembali memandangi bunga tulip merah yang ia berikan tadi, lalu kertas biru itu menarik perhatianku. Akhirnya kuputuskan untuk membacanya. Kubuka lipatan kertas berwarna biru itu dan kubaca tulisan Dirga dengan khidmat.
Halo kekasih hatiku, kuharap kau senang dengan sapaanku dalam surat ini.
Sedih hatiku ketika melihat dirimu pergi begitu saja di acara pernikahanku kemarin. Jujur, bukan hanya kau yang merasakan sakit, tapi aku juga sama sepertimu. Petra, kekasih hatiku, aku tahu kau menyukaiku. Aku tahu segalanya, aku tahu dengan impianmu yang ingin hidup bersamaku. Asal kau tahu saja, akupun ingin melakukan itu denganmu. Namun sepertinya tuhan memang tak mengizinkan kita untuk melakukannya.
Mohon maafkan aku atas undangan pernikahanku dengan Jesse yang begitu mendadak. Aku tahu kau pasti merasa terpukul dengan surat undangan itu. Aku harus melakukan ini Petra, ini demi Jesse.
Jesse hamil di luar nikah, kekasihnya yang melakukan hal ini pada Jesse. Ia datang meminta bantuan padaku, kekasihnya tak mau bertanggung jawab atas apa yang dilakukan olehnya terhadap Jesse. Aku tak tega Petra, bayangkan saja, melihat seorang wanita dengan keadaan hamil muda sambil menangis meminta bantuan kepadaku. Awalnya Jesse berusaha untuk menggugurkan kandungannya, namun ku cegah. Aku tak bisa melihat Jesse menderita, akhirnya ku putuskan membantunya dengan cara menikahinya. Ini memang kedengaran bodoh, tapi aku harus melakukannya. Jika kau menganggap aku pria yang bodoh saat membaca surat ini, aku akan menerimanya.
Petra, kekasih hatiku. Sekali lagi tolong maafkan aku. Berjanjilah untuk tidak pergi dariku. Tak tahu bagaimana jadinya jika kau menghilang dari hidupku. Mungkin aku akan gila.
Petra, ku simpan surat ini dengan bunga tulip merah itu untukmu. Itu sebagai tanda permintaan maafku padamu. Ku harap dengan surat ini kau bisa mengerti.
Jaga bunga tulip merah ini ya, usahakan agar dia tidak layu. Jaga tulip itu dengan baik. Itu tanda cintaku padamu. Aku sangat berterimakasih kepada tuhan karena telah mempertemukanku denganmu
Aku mencintaimu Petra..
Aku sangat mencintaimu..
Dirga
Kulipat kembali surat itu. Kini aku tahu semuanya, kasihan sekali Dirga, tapi aku menyukai sikapnya yang ingin bertanggung jawab demi orang lain. Aku tersenyum kembali saat memandang bunga tulip merah dalam genggamanku ini. Dirga, akan kucoba menjaga bunga tulip ini. Terimakasih atas pengakuanmu hari ini kepadaku. Semoga kau bahagia bersamanya Dirga.

Aku bahagia Dirga dan aku akan tetap mencintaimu..

MAAF BILA ADA KESAMAAN NAMA, TOKOH, TEMPAT, ATAPUN KEJADIAN YANG PERNAH DIALAMI PARA PEMBACA. CERITA INI HANYALAH KARANGAN FIKTIF BELAKA. HARAP DIMAKLUM APABILA MENEMUKAN KATA YANG TYPO


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CINTA SEGI EMPAT ( CHAPTER 15 )

I JUST LOVE YOU ( TWO SHOOT )

KARAM (Kama & Rama) #Bagian1