WINTER SADNES (CHAPTER EIGHT)
Setibanya di
rumah aku melihat keempat teman-teman Stefan sedang melakukan kegiatan mereka
masing-masing. James dan Peter, kedua pria itu sedang asyik bermain
playstation. Bahkan aku mendengar suara pekikan James saat tokoh yang ia
mainkan mati diserang oleh musuh. Di samping mereka aku melihat Nicholas sedang
membaca novel romantis. Ia hanya tersenyum penuh makna ketika membaca beberapa
bagian yang mungkin menceritakan adegan romantis. Nicholas, pria itu sangat
pendiam namun terlihat cool. Wajahnya juga cukup tampan namun aku tak tertarik
padanya.
Selain itu aku
melihat Darren sedang menyemprotkan air untuk tanaman anggrekku. Ia juga
mengelap daun-daun agar terjauh dari debu dengan lap basah.
James menghentikan permaiannnya dan berlari
menghampiriku, ia hendak memelukku namun sedetik kemudian Evan menggeser
tubuhku dan mendekapnya sehingga James gagal memelukku.
“ jangan pernah mencoba untuk memeluknya tanpa seizinku. Atau kalau tidak
akan kupatahkan tanganmu “
“ Pria dungu!, apa urusannya denganmu? Siapa kau? Hey Adrian, pria manisku.
Kenapa kau mau menerima pelukan darinya. “
Aku tertawa
dan evan semakin mengeratkan pelukannya.
“ Sudahlah James. Cepat selesaikan game ini,
kau mau menang atau tidak? “
Ujar Peter
yang sekarang menatap James dengan jengkel.
“ haishh.. baiklah-baiklah. “
Evan
mengajakku duduk di sofa. Aku menatap Nicholas dengan seksama. The Phantom
of The Opera, itu judul buku yang sedang ia baca.
“ Sedang membaca kisah cinta Christin Daae dan si Hantu opera? Kau menyukai
novel romantis dan penuh teka-teki seperti itu ya? “
Nicholas
menghentikan aktifitas membaca bukunya. Kedua matanya menatapku dibalik buku
yang ia baca.
“ kau berbicara padaku? “
Aku
mengangguk.
“ kau pernah membacanya? “
Aku kembali
mengangguk.
“ di akhir novel itu diceritakan bahwa Christin Daae dan
Roul akan.. “
“ hentikan, biarkan aku yang membacanya sendiri. Jangan
memberitahuku tentang akhir kisahnya. Aku tak suka jika mengetahui akhir cerita
tanpa membacanya. Jangan beritahu aku “
Aku langsung
diam dan meminta maaf padanya. Aku melihat Stefan keluar dari kamarnya sambil
mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk berwarna merah miliknya.
Badannya masih telanjang, hanya memakai celana pendek. Aku benci jika
melihatnya seperti itu.
Badannya jauh
lebih bagus daripada badanku. Sejak sekolah menengah atas ia sudah sering
latihan untuk membentuk tubuhnya. Awalnya aku tak tahu aktifitas itu, tapi
suatu hari aku menemukan majalah kebugaran di kamarnya dan dia bercerita
kepadaku kalau dia sering latihan angkat beban untuk membentuk otot tubuhnya.
“ Stefan, bisakah kau pakai bajumu? “ Darren terlihat sangat malu. Wajahnya
memerah ketika melihat tubuh kakaku.
Aku tertawa,
sudah biasa jika pria seperti Darren tersipu malu ketika melihat orang yang ia
sukai bertelanjang dada. Aku juga jika berada di posisinya akan berperilaku
sama, hanya saja aku belum pernah melihat Evan bertelanjang dada di hadapanku.
“ gerah. Aku hanya ingin membebaskan tubuhku ini dari bau
keringat “
Stefan
mengusapkan kedua tangannya ke arah dada bidangnya yang berotot. Niplenya
sedikit bergerak ketika jari-jari besar itu menyentuhnya (Maaf ya kata-katanya
sedikit vulgar. Mr.Jones udah mau 17 tahun sih jadinya bebas hahahaha..).
“ terserah kau saja “
Darren
membalikkan tubuhnya lalu menggosok daun-daun bunga anggrek itu sedikit lebih
kencang dari sebelumnya.
Stefan duduk di sampingku, aroma
apel tercium ketika ia menyandarkan tubuhnya kepadaku. Ia berlaku seperti bayi
yang rindu ibunya. Meskipun risih dilihat oleh teman-teman yang lainnya tapi
aku suka, semenjak kejadian tabrakan itu Stefan jadi lebih memperhatikanku.
“ Aku merindukanmu adikku. Maukah kau memeluk kakamu ini
“
Evan
menjauhkan Stefan dari pelukanku dan itu membuat Stefan sedikit jengkel.
“ bisakah kau tak berlaku seperti anak yang masih ingusan? Kau sudah besar
begitu juga dengan adikmu jadi bersikaplah normal “
Stefan tak
menganggap perkataannya ia kembali memelukku sambil mencium pipiku kali ini.
Aku tertawa, Evan memekik marah lalu sedetik kemudian memintaku untuk
menciumnya.
“ Ah sudah-sudah, kalian bertenngkar seperti anak kecil. Sebaiknya aku
masak, kalian pasti lapar kan? Darren, kau bisa membantuku di dapur? “
Tak ada
jawaban, namun ia segera pergi menuju dapur.
*****
Kami berdua sudah lima menit berada
di dapur. Mendengarkan celotehan mereka yang sedang merancang perjalanan
liburan menuju pulau milik keluarga Evan. Namun sedari tadi Darren tidak
berkata sedikitpun padaku. Ia tetap fokus dengan masakannya. Beberapa kali aku
mencoba berkomunikasi dengannya namun ia hanya menjawabnya dengan anggukan atau
gelengan. Wajahnya terlihat sedang kesal. Entah apa yang aku perbuat padanya,
padahal aku merasa tak memiliki masalah dengannya.
“ Darren, bisakah kau ambilkan pengocok telur itu? Aku
sedang sibuk mengiris bawang “
Tak ada
jawaban.
“ Darren bisa ka.. “
“ Bisakah kau mengambilnya sendiri dengan tanganmu? Aku
bukan babu yang bisa kau suruh Adrian. Jangan mentang-mentang kau tuan rumah
jadi bisa seenaknya menyuruhku “
Ia membentakku
dengan keras. Aku terbelalak kaget. Obrolan yang awalnya terdengar seru kini
berhenti. Lalu semua yang berada di ruang depan berlarian ke arah dapur.
Melihat keadaan kami berdua.
“ Ada apa ini? Darren kenapa kau membentak Adrian dengan
keras? “
Darren menatap
mata James, lalu ia berlari keluar. Meninggalkan aku yang masih mematung kaget
dengan bentakan kerasnya.
.
.
.
Aku melanjutkan kembali acara
memasak yang tadi sempat tertunda. Aku menyelesaikan semua bahan masakan yang
sebelumnya sudah di siapkan oleh Darren. Sebenarnya otakku masih mencerna apa
yng sebenarnya aku lakukan sehingga membuatnya menjadi marah seperti itu. Apa
aku telah menyakiti hatinya karena memerintahkannya mengambilkan pengocok telur
tadi? Tapi tidak mungkin. Darren buka tipe orang yang mudah marah hanya karena
diperintahkan untuk mengambil pengocok telur.
Ketika aku
masih memikirkan hal itu, orang yang ada dalam fikiranku melangkah masuk
kembali ke dalam dapur. Aku menatapnya, matanya sembab dan hidungnya memerah.
Sepertinya ia baru saja menangis.
“ maafkan aku Darren jika aku telah menyakiti hatimu “
“ Tidak.. seharusnya aku yang meminta maaf padamu. Tadi
aku terbawa emosi hingga tak sadar membentakmu dengan keras. “
“ sudahlah, tak apa. Tapi sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa
kau bersikap seperti itu? “
Darren kembali
diam, namun kini wajahnya memerah. Ia merunduk, menyembunyikan rona kemerahan
di kedua pipinya.
“ jangan malu seperti itu, bicaralah padaku “
“ Aku cemburu melihat kau dipeluk oleh Stefan tadi .
Apalagi saat dia mencium pipimu. “
Aku menahan
dengan mati-matian agar suara tawaku tidak keluar. Kali ini aku melihat Darren
seperti anak berumur lima tahun yang malu karena pipis di celana dan diketahui
oleh teman sekelasnya.
“ kau menahan tawamu, tertawalah jangan ditahan “
Katanya sambil
kembali mengerjakan pekerjaannya yang tadi sempat kugantikan.
“ ah~ tidak. Aku tidak akan menertawakanmu. Jadi kau cemburu? Padahal kan
aku adiknya. Kenapa kau bisa secemburu itu? “
Darren
menggelengkan kepalanya. Sepertinya memang benar. Rasa cemburu itu akan hadir
apabila seseorang telah mencintai pujaan hatinya dengan sungguh-sungguh. Aku
tidak mau membahas ini lagi karena takut Darren menjadi udang rebus hihihihi...
Akhirnya kami selesai dengan masakan
yang kami buat. Meskipun memakan waktu banyak karena ada insiden menangis
Darren namun masakan ini terhidangkan juga dengan manis di atas meja makan.
Tak ada
celotehan James yang lucu ketika makan. Ia fokus dengan Cumi-cumi bakar
buatanku karena ternyata cumi-cumi adalah seafood kesukaannya.
Evan adalah
satu-satunya yang berceloteh tentang masakanku. Ia memuji semua masakan yang
kuhidangkan untuknya. Keberisikannya inilah yang mengundang tatapan death
glare tak bersahabat dari Nicholas.
Malam ini kembali menjadi malam
terindah dalam hidupku. Bayangkan saja, aku yang terbiasa sendiri tanpa teman
kini memiliki teman-teman yang menyayangiku. Ditambah lagi dengan Stefan yang
kini lebih perduli kepadaku. Aku juga tidak akan melupakan kehadiran Evan. Dialah
yang membawa semua kebahagiaan ini datang padaku. Ia malaikatku dan penjagaku.
Semua pulang
setelah menghabiskan semua makanan. Evan yang terakhir pulang. Ia bilang masih
rindu denganku. Ia sedikit berlama-lama tinggal di kamarku. Berbicara tak jelas
dengan Bernie. Kura-kura itu hanya memandangnya dari dalam tempurung. Pasti dia
kebingungan dengan apa yang dibicarakan oleh Evan.
Ia pulang
setelah ada panggilan dari kakanya. Ia mendapatkan pekerjaan tambahan dari
kakanya malam ini. Maka dari itu ia pamit dan berjanji padaku akan
memperkenalkanku kepada kakanya esok pagi.
Sekarang disinilah aku, setengah
terbaring dengan punggung yang bersandar ke sandaran tempat tidurku. Membaca sebuah
novel roman picisan karya seorang penulis novel yang belum terkenal. Tak tahu
kenapa akhir-akhir ini aku suka membaca novel roman seperti yang saat ini
kubaca. Novel-novel seperti ini bisa membuatku melayang-layang di udara.
Aku jadi
selalu membayangkan bahwa akulah pemeran utama dalam novel itu. Memiliki kisah
hidup yang bahagia dengan akhir bahagia pula.
Suara ketukan pintu itu menghentikan
mataku saat mulai membaca bab baru. Stefan masuk ke kamarku sambil membawa
gulingnya. Tanpa berbicara sepatah katapun dia menghampiri ranjangku dan
tertidur tepat di samping kiriku.
“ Stefan? Kenapa kau tidur dikamarku “
Dengan matanya
yang menyipit ia bangun dan menatapku. Melepaskan kacamata dan mengambil buku
novel yang sedang kubaca dan menyimpannya di meja kecil. Ia menarikku untuk
tidur.
“ AC di kamarku rusak. Aku tidak bisa tidur dengan suasana yang panas. AC
di kamarku menyala kan? Jadinya aku ikut tidur bersamamu disini ya. Hanya untuk
malam ini saja “
“ Lalu kenapa kau menyimpan novelku? Aku kan masih ingin membacanya “
“ Aku tak bisa tidur jika ada orang yang masih terjaga disampingku.
Tidurlah, ini sudah larut malam. Bukannya besok kau mau pergi bersama pria
spesialmu itu? “
Aku menghela
nafas lalu menuruti perkataannya. Kutarik selimut hingga ke dada, Stefan
memelukku dan kami tertidur.
emang gak ada lagi lanjutan ceritanya? terusin donk, seru tau!!!
BalasHapus