WINTER SADNESS (CHAPTER FOUR)
Tubuh lemah itu
membentur aspal cukup keras. Sosok pria manis itu kini memejamkan matanya
dengan darah yang mengucur dibagian pelipisnya dan kedua lubang hidungnya.
Semua mata dengan reflex melihat kejadian tabrakan itu. Sang pengendara mobil
langsung melajukan kembali mobilnya. Kabur tanpa memberikan tanggung jawab
terhadap sang korban. Stefan tengah terduduk di trotoar, menatap nanar kearah tubuh saudara kembarnya yang kini tengah terbaring di tengah jalan tak
sadarkan diri.
“ Adrian..!! “
Seorang pria berlari di sebrang jalan sana, dengan tatapan terkejut dan air
mata mengalir dikedua pipinya. Evan melihat kejadian itu ketika ia hendak
membeli sebuah cake di caffeteria di sebrang kampus. Ia menangis melihat tubuh Adrian yang lemas tak sadarkan
diri.
“ siapapun tolong bantu aku mengangkat pria
ini “
Stefan segera bangkit dari
duduknya dan menghampiri Evan, ia mengangkat tubuh adik kembarannya dan
membawanya menuju mobil pribadinya bersama Evan lalu diikuti dengan keempat
sahabatnya.
.
.
Adrian masih belum
sadarkan diri sampai saat ini. Dokter sudah menanganinya sejak satu jam yang
lalu. Adrian mengalami sedikit benturan dikepala dan dipunggungnya sehingga
membuat tulang punggungnya sedikit mengalami retakan. Namun selebihnya ia tak
apa-apa, hanya ada bebera luka goresan di wajahnya.
Sedari tadi Evan duduk di samping ranjang yang tengah ditiduri oleh Adrian.
Mulutnya tak lepas untuk memanjatkan do’a agar Adrian lekas tersadar dari
pingsannya. Tangannya yang jauh lebih besar menggenggam erat tangan Adrian.
Tangisannya sudah mereda ketika dokter menyatakan bahwa Adrian tak apa-apa.
Di luar sana Stefan tengah
duduk di lorong bersama keempat temannya. Ia terus melamun sejak kejadian tadi.
Otaknya terus mengingat tentang bagaimana tubuh adik kembarannya melayang di
udara setelah dihantam oleh sebuah mobil yang melaju dengan kencang. Air mata
jatuh dari sudut matanya, Stefan menangis dengan diam. Ia menyesali apa yang
telah ia lakukan terhadap adiknya. Kini ia sadar bahwa adiknya lebih berharga ketimbang
dengan kepopuleran yang ia miliki. Ia lebih baik kehilangan popularitasnya
ketimbang kehilangan adik kembarannya sendiri.
“ Stef, sudahlah. Dokter mengatakan adikmu
baik-baik saja. “
Peter, sobat terbaiknya mengusap punggung Stefan. Lalu seorang yang lain
menyandarkan kepalanya di bahu Stefan. Dia Darren, sahabatnya juga. Darren
pernah memiliki perasaan pada Stefan dulu, namun Stefan lebih tertarik dengan
pria bernama Darius. Darren memiliki bibir manis kecil dengan mata biru lautan.
Ia memiliki rambut yang harum, rambut dengan aroma anggur yang Stefan sukai.
“ aku tak suka melihatmu menangis. “ ujar
Darren dengan nada datar dan dingin.
Stefan tersenyum lalu mengusap manja surai pirang milik Darren.
“ sebenarnya apa yang terjadi Stef? Kenapa
adikmu bisa tertabrak seperti itu? “ Kali ini James yang berbicara.
“ dia menyelamatkanku “
Hanya itu yang keluar dari mulut Stefan.
“ lalu kenapa kau berlari keluar kampus euh? Siapa yang
kau kejar? “ Nicholas melemparkan pertanyaan pertamanya.
“ aku mengejar Darius, dia memutuskan
hubunganku “
“ hissshh... lagi-lagi pria jalang itu. “
Darren menjauhkan kepalanya dari pundak Stefan. Raut wajahnya memancarkan aura
kekesalan dan kecemburuan.
Suara derap langkah
menggema dilorong rumah sakit. Di ujung lorong Stefan melihat ibunya yang
berlari dengan penuh kecemasan. Di belakang ibunya ia melihat ayahnya yang sedang
bertelfon ria dengan rekan kerjanya. Nyonya Miller langsung memeluk Stefan.
“ bagaimana keadaan Adrian? Apa dia baik-baik
saja? “
“ dokter sudah memeriksanya. Kepala dan
punggungnya mengalami sedikit benturan tapi Adrian baik-baik saja. Ia ada di dalam bersama temannya “
“ Apa dia sudah siuman? “
“ kurasa belum bu “
Nyonya Miller masuk untuk memeriksa keadaan anaknya.
Tuan Miller, ayah Stefan
mematikan telfonnya. Ia tersenyum sambil memegangi tubuh Stefan. Mengecek
apakah mobil itu juga telah melukai anak yang paling ia sayangi.
“ ayah sedang apa? Yang harus ayah cek itu
adalah Adrian bukan aku “
Terdengar nada kesal dari Stefan.
“ haish.. kau in. Tapi benarkan kau tak apa.
Sebenarnya apa yang terjadi, si tolol itu menyusahkan saja. “
“ berhenti memanggilnya dengan sebutan itu
ayah. Adrian sudah menyelamatkan nyawaku dan mengorbankan dirinya sendiri. Apa
ayah tidak mau melihat keadaannya. “
“ ibumu sudah masuk kan? Biar nanti ayah
bertanya pada ibumu saja “
“ ayah macam apa kau ini, sudahlah lebih baik
aku masuk dan memeriksa adikku. “
Stefan masuk sambil menutup pintu ruangan inap Adrian dengan kasar. Keempat
temannya hanya melongo lalu tersenyum pada tuan Miller yang sedang menatap
kaget dengan perlakuan Stefan.
Saat di dalam ruangan,
Stefan melihat ibunya sedang menangis sambil memegangi tangan Adrian. Alat
bantu pernapasan masih terpasang di hidung Adrian. Ia juga melihat Evan yang
sedang berdiri di sisi lain, kini Evan sedang menatapnya dengan tatapan kesal. Stefan menghampirinya lalu berdiri disampingnya.
“ sebaiknya sekarang kau cepat keluar. Ini
urusan keluargaku “ bisik Stefan pada Evan
“ baiklah kali ini kuturuti maumu. Tapi ingat,
aku akan tetap mengawasimu agar kau tak mencelakai adikmu sendiri Stefan. Ingat
itu! Jika Adrian kembali terluka karenamu, aku tak akan segan-segan mematahkan
lehermu dengan tanganku sendiri “
Evan keluar ruangan dengan segera. Meninggalkan Stefan, Adrian, dan nyonya
Miller yang masih menangis di dalam ruangan.
“ cepatlah sadar anakku. Jangan menghawatirkan
ibu seperti ini. “
Nyonya Miller masih menangis sambil mengusap tangan Adrian. Stefan menatap
wajah Adrian yang masih terpejam dengan damai. Rasa bersalah kembali menyeruak
ke dalam hatinya.
“ Sebaiknya ibu istirahat saja dulu. Biarkan
aku yang menjaganya. “
“ tidak, ibu akan menemani adikmu disini “
“ tapi bu, ibu tak bisa meninggalkan pekerjaan
ibu. Banyak pasien yang harus ibu tangani kan? Ayah juga sepertinya lebih
memerlukan ibu. Percayalah, aku akan menjaga Adikku dengan baik bu “
Nyonya Miller mengusap air matanya lalu bangkit dari duduknya sambil
menyandang tasnya.
“ baiklah kalau begitu, besok ibu akan kembali
lagi. Jaga adikmu “
Stefan mengangguk.
****
Malam itu udara begitu
dingin, padahal musim salju sudah berlalu. Lampu kamar masih menyala dan Evan
masih saja duduk di samping Adrian. Memandang
wajahnya yang masih terpejam. Stefan baru saja beberapa menit lalu keluar
untuk membeli makanan.
Mata Evan sudah tak kuat lagi untuk terbuka, akhirnya ia menidurkan
kepalanya di ranjang Adrian sambil berharap ketika ia bangun nanti ia bisa
kembali melihat senyum Adrian yang menurutnya sangat manis.
Baru saja beberapa menit tertidur, Evan mendapat kejutan yang tak terduga.
Do’anya dikabulkan, jari-jari mungil Adrian bergerak memainkan rambut
kecoklatan milik Evan. Evan yang merasakan ada seseuatu yang bergerak di
kepalanya segera terbangun. Ia melihat Adrian tersenyum lemah padanya. Senyum
yang ia rindukan.
“ maaf aku mengganggumu tidur “
Evan mencium tangan Adrian dengan penuh suka cita. Lalu mengusap rambut
Adrian.
“ kau sudah sadar? Oohh~ syukurlah. Apa kau
masih merasakan sakit? “
“ ya, di tanganku karena kau menggenggamnya
dengan keras “
Adrian tertawa kecil begitu juga dengan Evan.
“ Aku haus, bisa kau membantuku untuk mengambilkanku minum? “
Dengan cepat
Evan mengambil sebotol air mineral lalu menuangkan air kedalam gelas kecil.
“ kau harus minum sedikit demi sedikit. Biar kusuapi kau, jangan
mencoba bangun atau aku akan memanggil dokter untuk menyuntikmu agar tidur lagi
“
Gurauan itu
kembali membuat mereka berudua tertawa. Evan menyuapinya dengan sangat telaten.
Lima sendok air masuk kedalam mulut Adrian. Menyegarkan kembali tenggorokannya
yang kering.
“ kau disini sendirian? Apa Stefan baik-baik saja? Dia dimana
sekarang? “
“ aku disini.. “
Evan menoleh
kebelakang, kearah suara yang datang. Stefan menutup pintu lalu menyimpan dua
bungkus makanan cepat saji untuknya dan Evan. Raut wajah bahagia begitu
terpancar ketika Stefan melihat adiknya sudah siuman.
“ Stefan? Apa kau baik-baik saja? Kau tak terluka? aku tidak
mendorongmu terlalu keraskan waktu itu? “
“ hissshh.. kau ini, kenapa kau menghawatirkanku? Jelas-jelas aku
tak apa-apa. Seharusnya kau tak menolongku waktu itu.
Dasar bodoh.. “
Tiba-tiba Evan
menyikut perut Stefan dengan sedikit keras. Membuat Stefan sedikit meringis dan
menatap galak Evan.
“ Yaaakk..!! kenapa kau ini euh? Adikmu baru siuman, jangan
berbicara sekeras itu. Dia tak tuli, kau yang
bodoh Stefan. Bukan Adrian “
“ hishh.. sudahlah awas aku ingin duduk di samping
adikku. Kau lebih baik makan, aku sudah membelikan kau makanan “
“ aku tidak mau “
Karna kesal, Stefan menjitak kepala Evan
dengan kasar. Emosi Evan tersulut dan ia membalas pukulan itu. Akhirnya mereka
berdua berkelahi seperti anak kecil, saling menjambak dan menjitak kepala satu
sama lain. Adrian tersenyum kecil melihat kaka dan teman dekatnya bertengkar
seperti anak kecil.
“ sudahlah jangan bertengkar. Evan sebaiknya
kau makan dulu. Biarkan kakaku duduk di sampingku. Aku ingin berbicara
dengannya sebentar. Aku juga tak ingin melihatmu sakit nanti karena telat makan
“
“ Kenapa kau perhatian padanya Adrian? “
“ tentu saja karena dia lebih sayang padaku
ketimbang pada kakanya yang gila ini “
Evan menjulurkan lidahnya lalu menghampiri Adrian dan mencium keningnya.
“ aku
akan makan untukmu Adrian, aku akan kembali duduk disampingmu lagi nanti “
Evan mengedipkan sebelah matanya lalu memberikan tatapan death glare pada
Stefan.
“ Kenapa kau berani mencium kening adikku euh?
Siapa kau? Dasar pria tak tahu diri “
“ aku pelindungnya dan aku bebas melakukan
apapun pada adikmu. Bahkan jika aku ingin, aku bisa mencium Adrian tepat di
bibirnya “
Stefan melayangkan sendok ke arah Evan, namun Evan segera berlari keluar
membawa makanannya sebelum sendok itu membentur kepalanya.
“ dasar pria bodoh, kenapa kau
tertarik berteman dengannya euh? “
Stefan melihat Adrian tertawa bahagia, tawanya begitu manis dengan deretan
gigi putih dan itu memukau Stefan sekejap. Menyadarkan dirinya bahwa ia
memiliki adik kembaran yang manis, bahkan menurutnya cantik.
“ sudahlah, Evan memang seperti itu. Kau belum
makan Stefan? Kau juga sebaiknya makan. Aku tak mau kau sakit juga “
“ iya aku akan makan disini bersamamu “
Stefan memberikan senyum cool nya. Entah kenapa Adrian merasa
bahagia bisa berdekatan dengan kakanya seperti ini tanpa ada rasa canggung.
*****
Sudah seminggu lebih
Adrian dirawat di rumah sakit ini. Entah kenapa, Adrian bisa pulih lebih cepat
daripada perkiraan dokter. Meskipun ia masih tak kuat untuk berjalan, tapi
Sekarang ia sudah bisa duduk dan melakukan aktivitas yang lainnya. Selama di
rumah sakit, Evan dan Stefan tak pernah absen untuk menemaninya. Mereka bergantian
untuk menemani Adrian di rumah sakit. Kadang-kadang keempat sahabat Stefan juga
datang untuk menjaga Adrian jika Evan dan Stefan memiliki kelas di jam yang
sama.
Semenjak kejadian ini, Stefan tak pernah lagi menganggap Adrian sebagai
benalu bagi kehidupannya. Ia menjadi kaka yang penyayang semenjak kecelakaan
itu. Adrian juga sekarang semakin dekat dengan keempat teman Stefan, bahkan
Darren sudah tak sungkan lagi untuk menceritakan isi hatinya dengan Stefan pada
Addrian.
Seperti hari ini, dipagi yang
cerah ini Stefan membawa Adrian untuk berjalan-jalan di sekitar taman hanya
untuk menghirup udara segar. Adrian duduk di kursi rodanya sambil memegang
handphone nya. Berbicara dengan Evan yang harus membantu kakanya di hotel
miliknya via sms.
“ Evan sedang sibuk? “
Tanya Stefan sambil mencondongkan kepalanya untuk membaca sms di layar
handphone Adrian.
“ iya, kakanya memerluka bantuan untuk
mengurus proyek kerja sama “
“ oh ya? Bagus lah kalau begitu. Emm...
Adrian, apa kau menyukainya? “
Adrian terdiam, lalu memandang kosong kearah depan. Selama berteman dengan
Evan, Adrian merasakan kenyamanan yang luar biasa. Ia seperti kembali menemukan
sosok Thomas yang dulu pernah hilang. Ia merasa seperti memiliki pelindung dan
tempat naungan untuk dirinya. Adrian juga merasakan sesuatu yang aneh jika dia
melihat wajah tampan Evan.
“ kenapa kau melamun? Jadi kau menyukainya
euh? “
Stefan berjalan, berganti posisi dan berjongkok di hadapan Adrian. Stefan
tersenyum menggoda lalu mencubit hidung Adrian dengan gemas.
“ jangan berbohong padaku, aku bisa melihat
rona merah dipipimu. “
“ kau ini bisa saja membuatku diam seribu
bahasa “
Stefan menghembuskan nafasnya, lalu duduk di atas rumput hijau taman rumah
sakit itu.
“ kau tahu? Aku senang saat melihatmu bisa
tertawa lepas jika kau berada bersamanya. Aku ingin melihatmu bahagia seperti
itu selamanya. Aku tak ingin melihat Adrian yang dulu, Adrian yang selalu
menderita dan menangis. Aku berjanji akan membuatmu terus bahagia, aku akan
mengganti semua kesedihan yang kau alami dengan kebahagian tiada tara. Aku akan
melindungimu sebagai kaka yang baik, mafkan aku karena telah memperlakukanmu
dengan baik selama ini dan maafkan aku telah membuat ayah membencimu. Aku
bingung mengapa kita diciptakan berbeda padahal kita ini saudara kembar “
Adrian menghela nafasnya, lalu mengusap setitik air mata yang turun di
pipinya.
“ aku senang mendengarnya Stefan, tetaplah
seperti ini. Ini yang aku inginkan. Bisa berbagi kasih sayang bersama
kembaranku sendiri. Aku juga kan menjagamu dan membahagiakanmu “
“ hisshh.. kau ini, aku ini kakamu jadi aku
yang harus melindungimu “
“ apa seorang adik tak boleh menjaga kakanya
euh? “
Adrian mem-pout kan bibirnya dengan imut, membuat Stefan menjadi
gemas terhadapnya.
“ terserah kau saja. Tapi aku yang akan lebih
banyak menjagamu. Sudahlah sebaiknya kita kembali ke ruanganmu. Kau harus
sarapan, jam sembilan nanti aku akan pergi ke kampus. Aku akan menyuruh
Nicholas untuk menjagamu. Hari ini dia tak ada kelas “
“ kenapa tak memanggil Darren? “
“ dia sedang sibuk, lagian aku tak akan
membiarkanmu bersamanya. Nanti kau dan dia malah membicarakanku “
Adrian mendongakkan kepalanya, memandang wajah kakanya yang sedang menatap
lurus kedepan sambil mendorong kursi roda yang ditumpanginya dengan perlahan
“ dia mencintaimu. Apa kau tak ingin menjadi
kekasihnya Stefan? Dia pria yang baik dan manis. Dia juga perhatian padamu dan
padaku juga “
“ entahlah, hatiku masih belum siap untuk
menerima seseorang yang baru. Kita lihat saja nanti, sudahlah sebaiknya kita
bergegas. Kau pasti sudah sangat lapar “
Stefan mendorong kursi rodanya lebih tepat.
.
.
Di sisi lain, Evan sedang berkutik
bersama berkas-berkas yang harus ia selesaikan hari ini untuk membantu kakanya.
Dua gelas kopi sudah ia minum dengan habis,
menyisakan ampasnya yang hitam di dasar cangkir berwarna putih tulang. Saat ini
ia berada di ruangan kerja kakanya Harold, ruangan ini seperti rumah kedua
baginya. Ruangan ini berfungsi sebagai tempat tidur juga ruangan kerja. Sebuah
ranjang dengan ukuran king size disediakan di dalam ruangan. Kakanya
Harold sering tidur di kamar ini apabila pekerjaannya sedang menumpuk.
Saat ini Harold harus
menghadiri rapat sebuah proyek besar dengan perusahaan fashion luar
negeri, maka dari itu Evan yang menggantikannya di hotel untuk mengurusi
pekerjaan yang lain. Jari-jari tangannya sudah memerah akibat memegang pena
terlalu lama. Ia menggeletakkan pena itu di mejanya lalu beranjak pergi dari
kursi menuju kasurnya. Tubuh yang sudah berjam-jam dipaksa untuk duduk itu
akhirnya ia rebahkan di atas kasur yang super empuk.
Sambil menghembuskan nafasnya, ia merogoh handphone yang sedari tadi berada
didalam saku celananya. Di layar itu tertera wajah seorang pria yang sedang
melamun memandangi pemandangan di hadapannya. Pria dengan wajah manis dan bulu
mata yang lentik.
“ aku rindu padamu Adrian “
Evan mengusap layar handphonenya lalu segera mengetikkan beberapa kalimat
dan ia kirimkan pada Adrian. Tak memakan waktu yang lama untuk mendapatkan
jawaban dari Adrian. Sebuah pesan ia terima dan langsung ia baca.
From : Adrian
Aku sedang menonton tv bersama Nicholas, Stefan sudah pergi lima menit yang
lalu. Ia memiliki kelas siang ini. Kau masih mengerjakan pekerjaanmu? Jangan
lupa makan dan aku tak mau kau meminum kopi terlalu banyak jika keadaan perutmu
kososng. Lambungmu bisa sakit nanti.
Evan menatap gelas yang
aja di meja kerjanya, gelas favorite yang selalu ia pakai untuk meminum kopi.
Ia tersenyum kembali saat membaca pesan dari Adrian yang menyuruhnya untuk tak
banyak memakan kopi.
To : Adrian
Sukurlah jika Nicholas sedang menjagamu. Pekerjaanku masih menumpuk,
seharusnya sekarang aku juga berada di kelas. Tapi aku sudah meminta izin pada
Mr.Carl untuk absen hari ini. Pekerjaanku di Hotel milik Harold lebih penting.
Aku harus menyelesaikan semuanya hari ini, kau tahu? Aku hampir mati karena
bosan hari ini. Andai saja kau disini Adrian, aku merindukanmu.
Ia kembali mengirimkan pesannya.
Dering handphone nya kembali berbunyi bersamaan dengan ketukan pintu. Ia menyimpan
handphonenya di atas kasur lalu dengan segera membuka pintu.
“ ia, kamar Harold disini... “
Evan melihat seorang
wanita cantik dengan mini dress berwarna merah yang cocok untuk tubuhnya
yang langsing. Wajah wanita itu begitu cantik, bulu mata dan alisnya berwarna
hitam legam dan mengkilau. Begitu juga dengan rambutnya yang digerai dengan
indah. Bibirnya yang memakai lipstick merah begitu terlihat sangat sexy.
Evan membelalakan matanya ketika ia mengenali sosok itu.
“ Carina? Apa itu kau? “
“ Ternyata kau masih mengenaliku, ya ini aku
Evan. Lama tak berjumpa “
Carina, wanita cantik dan sexy itu memeluk Evan, mengalungkan tangannya
yang halus ke leher jenjang Evan. Evan agak canggung denga pelukannya, beberapa
pelayan kamar yang melintas langsung mengalihkan pandangan mereka ketika
melihat adegan itu. Dengan canggung Evan menjauhkan pinggang ramping Carina
darinya.
“ sedang apa kau disini? “
“ Apa itu caramu menyapaku? Aku baru saja tiba
disini. Tadi saat aku pergi ke kampusmu dosenmu bilang kau ada disini. “
“ darimana kau tau kampusku? “
“ Harold memberitahuku, dan kau tau? Mulai
besok aku akan study disana, bersamamu “
Carina mengeluskan jari telenjuknya di dada Evan, Ia langsung menyingkirkan
telunjuk Carina dari dadanya.
“ bukannya kau tinggal bersama keluargamu di
New Zeland? “
“ Ayahku dipindah tugaskan kesini. Jadi aku
mengikutinya, alasan aku mengikuti ayahku juga karena aku ingin bertemu
denganmu lagi Evan “
Carina masuk kedalam
ruangan tanpa ada izin terlebih dahulu dari Evan, ia langsung duduk di sofa dan
mengeluarkan gadgetnya dengan santai. Evan semakin geram dengan tingkah mantan
kekasihnya itu. Ya, dulu saat Evan berada di sekolah menegah akhir ia menjalin
hubungan lama dengan Carina. Mereka sempat bertunangan namun Evan membatalkannya
dua tahun yang lalu karena ia merasa tak cocok lagi dengan Carina. Setelah itu
Carina pergi meninggalkan Evan menuju New Zeland karena urusan pekerjaan
ayahnya. Kini ia kembali, dan itu sedikit membuat Evan jengkel.
“ apa kau tidak bosan dengan pekerjaanmu yang
menumpuk itu Evan? “
Carina memencet tombol on diremot tv yang ada di hadapannya lalu menyuapkan
kue kering sambil menatap acara televisi dengan malas.
“ Aku merasa bosa, tapi aku haus menyelesaikan
semuanya hari ini. Sebaiknya kau pulang Carin. Ak tak mau semua pegawaiku
curiga kita berduaan disini “
“ hey ayolah.., Kita pernah menjadi sepasang
kekasih. Bahkan kita pernah bertunangan. “
“ tapi itukan dulu, sudahlah sebaiknya kau
pulang sekarang “
Evan membukakan pintu ruangannya dengan lebar, Carin menatapnya dengan
kesal lalu keluar ruangan sambil emanyunkan bibirnya. Evan hanya menggelengkan
kepala lalu segera mengunci pintu ruangan pribadinya.
Komentar
Posting Komentar