WINTER SADNESS (CHAPTER THREE)

Hari sudah berganti, sinar matahari sedikit demi sedikit mulai menyentuh kulitku. Hari ini kurasakan hangatnya matahari. Saat aku hendak bergerak, aku tersadar ruang gerakku kini menjadi sempit karena Evan yang tidur di sampingku dengan keadaan memeluk tubuhku. Semalam ia kembali ke rumah setelah mengambil pakaiannya untuk menemaniku.
            Awalnya Stefan tak mengizinkannya untuk menginap dirumah, namun Evan tetap bersikeras untuk menjagaku di rumah malam tadi. Akhirnya Stefan mengalah dengan syarat Evan tak boleh tidur di sofa ataupun dikamarnya. Maka dari itu kami tidur berdua malam tadi di kasurku yang kecil.
Aku mencoba melepaskan tangannya yang melingkar di pinggangku. Tangan berbulu halus itu akhirnya lepas dari tubuhku. Aku berjalan keluar rumah untuk menyiapkan sarapan. Mekipun aku seorang pria, aku terampil dalam mengolah makanan. Saat kecil aku belajar masak bersama nenek dan ibuku. Biasanya jika kami pergi ke rumah nenek, aku selalu minta diajarkan resep baru. Nenekku pintar sekali memasak. Ia adalah satu-satunya orang yang bersikap adil padaku dan Stefan. Ia sosok wanita yang bijaksana dan penuh kasih sayang. Namun ia telah meninggal satu tahun yang lalu karena penyakit jantungnya.
           Pagi ini aku akan menyiapkan roti panggang spesial untuk Evan dan mungkin segelas susu sebagai minumannya. Ini sebagai ucapan terimakasih untuknya. Saat aku memotong sosis yang akan kubakar sebuah dering telfon mengejutkanku. Segera kuangkat telfon itu.
“ halo? “
“ Aku tak akan pulang ke rumah. Kau pergilah ke kampus bersama Evan, sepulang kuliah nanti aku tunggu di tempat parkir. Kita pulang bersama “
Suara Stefan begitu terdengar keras disebrang line telfon sana.
“ iya Stefan “
“ jaga rumahku baik-baik, jangan sampai pria itu mengotori rumahku apalagi kamarku “
Tuut... tuutt... tuttt...
            Ia menutup line telfonnya, aku kembali memasak. Setelah aku selesai dengan membakar roti, aku melihat Evan menuruni tangga. Rambutnya masih terlihat semerawutan. Ia memakai jaket tebal berwarna merah. Evan tersenyum padaku, lagi-lagi aku dibuatnya tak bisa berkata apapun dengan senyumannya yang manis itu.
“ baunya sangat enak sampai membangunkanku, kau membakar roti itu dengan sempurna Adrian “
Ia duduk di kursinya, matanya sedang menatap roti yang terpanggang dengan sempurna. Kusimpan segelas susu vanila di hadapannya. Ia tersenyum dan mengucapkan terimakasih padaku. Kami berdua sarapan bersama, selama makan kami hanya berbicara ringan. Evan menceritakan tentang keluarganya. Ia tinggal bersama kakanya sekarang. Ibu dan ayahnya sudah dua tahun yang lalu meninggal karena kecelakaan pesawat terbang. Kakanya pemilik hotel terkenal dan pemilik perusahaan fashion terbesar di kota. Mungkin setelah lulus kuliah nanti Evan juga akan memegang salah satu perusahaan itu.
            Selain itu ia menceritakan dirinya sendiri. Evan memiliki warna kesukaan yang sama denganku. Ia begitu menyukai hijau dan oranye. Pantas saja mobil sportnya berwarna hijau. Ia memiliki banyak pacar saat di sekolah menengah pertamanya. Namun semenjak kuliah ia tak begitu memikirkan masalah pacaran.
“ kenapa kau tak mencoba menjalin hubungan dengan gadis-gadis di kampus? Kurasa kampus kita memiliki banyak gadis cantik dan manis “ godaku.
“ oh ya? Haahhh.. mereka bukan tipeku. Gadis-gadis di kampus kita hanya menginginkan kekayaanku saja, Tak ada yang mencintaiku dengan tulus “ Evan melahap potongan roti terakhirnya.
“ kenapa kau bicara seperti itu? Kau harus mencobanya dulu Evan. Memangnya tipe seseorang yang kau suka itu seperti apa? “
“ seperti dirimu, manis, baik, ramah, dan menggemaskan “
Aku tersedak ketika ia menjawabnya seperti itu. Evan segera menghampiriku lalu menepuk-nepuk pundakku dengan halus.
“ kau tak apa? “
uhhuukk.. uhukk.. ya aku tak apa “
“ haisshhh... lain kali jangan makan sambil berbicara. Bagaimana jika kau tersedak dan tak bisa bernafas? Kau menghawatirkanku saja “
            Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang amat sangat. Evan baik sekali padaku, aku ingin mengucapkan banyak terimakasih pada tuhan karena telah memberikanku seseorang yang baik seperti dirinya.
Selepas sarapan, kami berdua segera pergi menuju kampus. Aku memiliki beberapa kelas hari ini. Namun entah kenapa saat diperjalanan, hatiku merasakan perasaan yang tidak enak. Apakah akan terjadi sesuatu padaku hari ini?
SUDUT PANDANG PENULIS
            Kelas menejemen bisnis dimulai hari ini. Adrian duduk di kursi paling depan. Perasaan yang tidak mengenakkan terus mengganjal dalam dirinya. Hari ini Mr.Smith datang tepat waktu untuk mengajar mahasiswa. Setengah jam pelajaran kelas berjalan dengan lancar meskipun Adrian susah payah untuk membaca hal-hal penting yang Mr.Smith tuliskan di papan tulis. Hingga tiba-tiba saja Mr.Smith memerintahkan salah satu muridnya untuk membaca halaman yang diinginkannya. Mr.Smith menunjuk Adrian untuk membacakannya.
            Adrian gelagapan, keringat dingin mulai mengalir dari keningnya. Ia mencoba melihat tulisan yang ada dibukunya. Namun ia melihat huruf-huruf itu melayang dan menari kesana kemari sehingga menyulitkannya untuk membaca. Adrian membacanya dengan tergagap. Teman-teman sekelasnya mulai tertawa melihat Adrian yang kesulitan utuk membaca kalimat yang ada dalam bukunya.
Adrian merasakan wajahnya memanas karena malu, air matanya sudah menggenang di ujung matanya. Ia sebenarnya sudah terbiasa dipermalukan seperti ini, namun entah kenapa saat ini ejekan teman-temannya terasa begitu menyakitkan.
Stop guys! Why you loughing? Adrian ada apa denganmu? Apa kau tak bisa membaca? “
Adrian menundukkan kepalanya lalu mulai terisak. Ia menangis dengan pelan.
“ apa kau benar-benar tak bisa membaca? “
“ dia harus kembali ke play group untuk belajar membaca. Dasar dungu.. “
Gelak tawa mulai menggema di dalam kelas, Adrian berlari keluar kelas menuju lantai teratas gedung kampus.
****
            Angin yang berhembus kencang menerpa kulit dan menyibakkan rambut hitam milik Adrian. Ia telah duduk disini selama setengah jam. Wajahnya yang masih berurai air mata menatap indahnya kota dengan salju yang semakin mencair dan menghilang dibeberapa sudut kota. Air mata itu tak berhenti keluar. Adrian masih merasa malu dengan kejadian di dalam kelas tadi. Setelah ini pasti banyak kejadian memalukan yang akan ia hadapi.
Adrian mendengar derap langkah kaki yang mendekatinya lalu seseorang memeluknya dengan erat. Hembusan nafas orang itu terasa di kepalanya.
“ Yaakkkkk...!!! apa yang kau lakukan euh? Apa kau akan bunuh diri? Jangan bodoh Adrian “
Adrian membalikkan tubuhnya, Evan memeluknya dengan erat. Evan semakin membawa Adrian dalam pelukannya seakan ia tak mau Adrian terlepas darinya.
“ Sebaiknya kau lepaskan aku Evan, apa au tak malu memeluk orang sepertiku? “
“ aku tak akan malu meskipun kau tak bisa membaca dan menghitung Adrian “
“ jadi kau sudah mengetahuinya? “
“ orang-orang membicarakanmu dikantin tadi. Sebenarnya apa yang terjadi padamu? “
Adrian kembali menangis dalam bisu. Evan menghapus air mata dikedua pipinya dengan ibu jari. Adrian mulai menceritakan siapa dia sebenarnya. Tak ada raut wajah terkejut yang diekspresikan oleh Evan. Ia malah semakin erat memeluk Adrian dengan mengelus puncak kepalanya.
“ tak usah dengarkan apa kata orang lain. Tetaplah menjadi dirimu sendiri Adrian. Lebih baik sekarang kita turun. Aku tak ingin kau kedinginan disini dan membeku seperti es. Ayo, akan ku traktir kau cokelat hangat di caffe kampus. “
Evan menuntun Adrian menuju lift untuk pergi kebawah. Selama berada dalam lift,  Evan tak melepaskan genggaman tangannya dari Adrian.
.
.
            Keadaan caffe kampus saat itu tak banyak dikunjungi mahasiswa, kebanyakan mahasiswa saat ini sedang kembali melanjutkan study mereka di kelas masing-masing. Evan terpaksa absen dalam kelasnya hari ini hanya untuk menemani Adrian. Semenjak bersama Evan tadi keadaan Adrian sudah mulai membaik. Matanya masih terlihat bengkak karena kebanyakan menangis. Mereka duduk berdua di bangku dekat dinding kaca yang memperlihatkan taman kampus yang kini sudah tak banyak ditumpuki oleh salju. Dua burung pipit kecil sedang berterbangan melintasi mereka. Burung-burung itu saling mengejar satu sama lain. Saling menggigit sayang lalu mereka hinggap di pohon apel. Mereka memasuki sarangnya dan mulai berbagi makanan bersama anak mereka.
“ ini pesanan cokelat hangat kalian berdua “
“ terimakasih bi “ Evan tersenyum manis sambil memberikan dua lembar uang yang langsung diambil oleh si pemilik caffe.
“ haiiissshhh... aku baru melihatmu, kau manis sekali nak. Siapa namamu? “
“ Dia Adrian, mahasiswa baru disini. Dia lucu kan bi? Dia cocok untukku tidak? “
“ kalian pacaran eum? Waahhh.. kalian pasangan yang cocok menurut bibi. Hey Evan, jaga pacarmu baik-baik. Lihatlah, jangan sampai seorangpun menggores kulitnya yang mulus itu. “
“ baik bi akan kulaksanakan perintahmu “
Evan berlaga seperti seorang tentara yang sedang hormat pada komandannya. Ia tersenyum menunjukkan kedua dimple nya. Adrian menatap lurus ke balik kaca. Air matanya kembali mengalir. Dengan lembut Evan menggenggam kedua tangan Adrian yang lebih kecil darinya.
“ kenapa kau menangis lagi? Sudahlah lebih baik kau minum cokelat hangatnya. Aku tak mau melihatmu menangis lagi “
Adrian menyeka pipinya yang dibasahi oleh air matanya. Ia tersenyum lalu menyeruput cokelat hangatnya.

            Matahari sudah tak menampakkan dirinya lagi, kini bulan yang bersinar terang mulai bekerja sebagai lampu bagi dunia dimalam hari. Adrian baru saja keluar dari kelas terakhirnya. Cukup berat dengan ejekan teman-teman sekelasnya tadi. Namun ia mengabaikan semuanya. Ia berlari menuju parkiran untuk menemui Stefan. Benar saja, Stefan sudah berdiri di depan mobilnya sambil memandangi jam tangannya. Mata mereka bertemu, Stefan mendengus kesal.
“ kenapa kau lama sekali euh? Apa yang sudah kau lakukan? “
“ maafkan aku, tadi aku lupa untuk memberitahumu kalau ada kelas tambahan. “
“ ayo cepatlah masuk, aku tak ingin ada orang yang melihat kita. Aku ingin berbicara sesuatu padamu “
Adrian mengangguk patuh lalu membuka pintu mobil dan duduk disamping Stefan yang mengambil alih kemudi. Lima menit di dalam mobil perjalanan pulang, Adrian memandangi wajah Stefan yang terlihat begitu sebal. Seperti ada sesuatu yang membuatnya marah hari ini.
“ kenapa semua orang bisa tahu kalau kau tak bisa membaca Adrian? “
Stefan mengerem mobilnya secara tiba-tiba membuat Adrian tersentak dan keningnya membentur kaca mobil.
“ Maafkan aku.. ternyata kau sudah tau yaa.. “
“ bagaimana tidak Adrian, semua orang membicarakanmu hari ini. Aku anak populer di kampus dan semua orang membicarakanmu padaku. “
“ maaf aku mengecewakanmu. Jangan ceritakan ini pada ayah kumohon “
Stefan kembali melajukan mobilnya tanpa menjawab apapun padanya. Adrian kembali terdiam dalam tangisnya.
****
            Keesokan harinya keadaan semakin memburuk. Adrian memiliki kantung mata dan matanya membengkak karena semalaman ia menangis. Saat tiba di kampusnya, ia melihat kerumunan orang yang sedang berada di depan papan pengumuman. Disana ia juga melihat kakanya beserta keempat kawannya . Adrian kembali memiliki perasaan tak enak. Saat Stefan berbalik, ia langsung menatap wajah Adrian dengan penuh kebencian.
“ kau puas dengan semua ini? Sekarang kau benar-benar sudah mempermalukanku Adrian “
“ ada apa? Maksudmu.. “
Plaaakk..!!
Sebuah tamparan keras Adrian dapatkan dari tangan kaka kembarannya. Adrian memegangi pipinya yang kini mulai memerah. Keempat teman Stefan segera membawa Stefan menjauh dari Adrian. Adrian duduk dilantai, semua orang memandanginya sekarang. Perasaan malu dan sakit kini campur aduk. Ia tak tau harus bagaimana lagi.
SUDUT PANDANG ADRIAN
            Aku masih terduduk dilantai lorong sambil sesenggukan menangis. Aku masih kebingungan dengan sikap Stefan yang tiba-tiba menamparku dihadapan banyak orang. Sebagian mahasiswa sudah pergi meninggalkan papan pengumuman. Ada beberapa yang berjalan ke arahku. Ketika mereka tepat berada dihadapanku, mereka langsung melayangkan omongan yang begitu menyayat hatiku.
            Saat semua orang pergi aku baru tahu apa yang membuat Stefan begitu marah padaku. Seseorang memajang fotoku bersama Stefan yang sedang berbicara di tempat parkir kemarin. Foto itu menggambarkan ketika aku bercakap padanya. Kini Stefan marah besar padaku. Mungkin semenjak hari ini ia tak akan mau lagi berbicara denganku.
Aku bangkit dan segera menuju kelasku karena waktu belajar akan dimulai sepuluh menit lagi. Sepanjang jalanan menuju kelas, banyak orang yang mencibirku. Mengatakan bahwa aku seperti kutukan bagi sosok kakaku yang begitu popular dan digilai banyak wanita maupun pria. Aku hanya bisa menghela nafas dan menahan air mataku untuk tak jatuh.
            Selama pelajaran berlangsung aku tak bisa berkonsentrasi sepenuhnya. Fikiranku melayang membayangkan Stefan. Selain itu, teman-teman disampingku melemparkan gulungan kertas ke kepalaku. Bahkan entah siapa ada yang melemparkan penghapus karet ke kepalaku. Setelah pelajaran selesai aku segera keluar untuk mencari Evan. Mungkin dia satu-satunya orang yang bisa mengerti keadaanku dan menerimaku dengan baik. Namun langkahku berhenti ketika aku melihat Stefan bersama seorang pria sedang berbicara di cafeteria kampus. Pria itu memiliki tubuh lebih kecil dari Stefan, wajahnya manis bahkan menurutku cantik. Matanya berwarna hijau, terlihat pria itu sedang marah pada Stefan. Beberapa menit kemudian pria itu berlari meninggalkan Stefan menuju jalan. Stefan mengejarnya dengan cepat.
Aku mengikuti mereka, mungkin aku lancang tapi aku ingin tahu apa yang terjadi dan siapa pria itu? Aku berlari di belakang mereka dengan sangat hati-hati agar tidak ketahuan. Saat Stefan menyebrang jalan dengan masih terus mengejar pria itu, aku melihat di arah kiri sebuah mobil melaju begitu cepat. Mobil itu semakin dekat dengan Stefan dan melaju super cepat.
“ Stefan awaaasss.... “

Aku berlari sekencang yang kubisa. Kudorong Stefan menjauh dari jalan lalu aku merasakan sakit yang amat sangat. Mataku menghitam dan aku tak sadarkan diri.


MAAF BILA ADA KESAMAAN NAMA, TOKOH, TEMPAT, ATAPUN KEJADIAN YANG PERNAH DI ALAMI PARA PEMBACA. CERITA INI HANYALAH KARANGAN FIKTIF BELAKA. MAAF JUGA KALAU BANYAK TYPO

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CINTA SEGI EMPAT ( CHAPTER 15 )

I JUST LOVE YOU ( TWO SHOOT )

KARAM (Kama & Rama) #Bagian1