WINTER SADNESS (CHAPTER FIVE)
Langit
malam ini begitu gemerlap diterangi banyak cahaya bintang. Di balik jendela
kamar inapnya ia duduk di kursi roda menatap cahaya-cahaya kecil itu penuh
harap. Nicholas baru saja pergi meninggalkannya, katanya ia harus bertemu
dengan adiknya untuk membelikan hadiah karena sebentar lagi ibu mereka akan
berulang tahun.
Sebuah
bintang tiba-tiba bergemerlap, cahayanya begitu terang. Lebih terang dari
saudara-saudaranya yang lain. Adrian menatap bintang itu dengan fokus,
membayangkan wajah seseorang yang sekarang sudah memikat hatinya.
“ Evan.. aku merindukanmu “
Adrian
berbicara lirih pada bintang itu, ia membuka jendelanya. Angin malam yang segar
segera menerpa kulitnya. Angin itu membawakan harumnya bunga, menandakan bahwa
musim semi sudah tiba. Ia memejamkan matanya sekejap, hanya untuk merasakan
segarnya angin malan ini.
“ kau
merindukanku? “
Suara
bass yang sudah tak asing itu mengejutkan Adrian, membuat matanya yang semula
terpejam kini kembali membuka. Lengan dengan bulu-bulu halus itu tiba-tiba
melingkar di leher Adrian. Evan menyimpan kepalanya di pundak Adrian. Adrian
salah tingkah, ia menundukan kepalanya. Menyembunyikan rona kemerahan di
pipinya.
“ kenapa kau diam saja? Tadi kau bilang merindukanku?
Sekarang aku berada disini untukmu “
Evan
melepaskan rangkulannya, lalu ia mengambil kursi dan duduk di samping Adrian.
“ ini kubawakan bunga ini untukmu “
Setangkai
bunga mawar merah Evan berikan padanya. Adrian menerimanya dengan gugup sambil
mengatakan terimakasih.
“ sudah berapa lama kau sendirian? “
“ baru duapuluh menit, Nicholas harus pergi menemui
adiknya “
“ untung saja aku datang dengan cepat. Haaahhh.. kau tau?
Pekerjaan yang menumpuk hari ini membuatku lelah. “
Evan
kembali menyandarkan kepalanya di bahu Adrian.
“ lalu kenapa kau kesini bukannya beristirahat? “
Evan
bangun dari sandarannya lalu memutar kusri roda Adrian sehingga kini posisi
mereka saling berhadapan.
“ itu karena aku merindukanmu Adrian “
Evan
mencolek geli hidung kecil Adrian. Mereka tertawa.
“ Evan.. “
“ ya? “
“ kau tahu? Aku sangat suka bintang “
Adrian
memandang langit kembali, begitu juga dengan Evan.
“ Sama, aku juga. Bintang selalu memberikan harapan bagi
semua orang “
“ ya, mereka kecil namun sangat berguna untuk menerangi
malam. Aku ingin seperti mereka, meskipun ukurannya kecil namun bisa membantu
banyak orang “
“ kau ini, kumohon kau jangan menjadi bintang “
Adrian
memalingkan wajahnya pada Evan yang masih memandang langit sambil tersenyum.
“ kenapa? “
“ aku tak ingin kau meninggalkanku, jika kau jadi bintang
kau harus pergi ke atas sana dan meninggalkanku di bumi. Tetaplah menjadi
Adrian agar kau bisa terus berada di sampingku “
Pandangan
mereka bertemu, Evan tersenyum manis begitu juga dengan Adrian.
Mereka terus saling menatap, getaran
cinta kembali Adrian rasakan. Semakin lama ia memandang wajah Evan, ia semakin
tahu bahwa dirinya memang sudah jatuh cinta pada Evan. Tiba-tiba Evan mulai
mendekatkan wajahnya. Semakin mendekat. hingga Adrian bisa merasakan hembusan
nafasnya yang hangat. Adrian memejamkan dirinya. Jarak antara wajah mereka berdua semakin menipis.
Bbbuuuukkk....!!!
Sebuah
sepatu mendarat tepat di kepala Evan. Membuat dirinya meringis kesakitan.
Adrian yang menutup matanya kini membuka matanya dan melihat Stefan yang sedang
berdiri di pintu sambil membawa sebuah boneka kura-kura.
“ Yaaakk...!!!! Beraninya kau berbuat mesum pada adikku
Evan “
“ Pria bodoh! Kenapa kau melemparkan sepatumu ini pada
kepalaku euh? Liat ini “
Evan
melemparkan sepatu itu keluar jendela, alhasil Stefan berteriak sambil berlari
mendekat ke jendela.
“ kenapa kau melemparkannya pria bodoh? “
“ itu balasan untukmu “
“ Hiisshh.. Adrian, lihatlah temanmu ini memang tak tau
diri. Kenapa tadi kau hanya diam saja saat dia akan menciummu? Sudah malam,
sebaiknya kau tidur “
Stefan
memangku Adrian dari kursi rodanya ala bridal style. Ia menidurkan
adiknya di ranjang.
“ kau! Cepat ambilkan sepatuku “
“ tidak mau, itukan sepatumu. Seharusnya kau yang
mengambilnya bukan aku “
“ Yaakk!! Tapi kau yang melemparkannya “
Adrian
memberikan tatapan memohonnya pada Evan. Ia memberikan jurus puppy eyes agar
Evan mau mengambilkan sepatu itu untuknya.
“ oohhhhh.... baiklah karena ini Adrian yang meminta. Aku
akan mengambilkannya. Adrian, aku akan kembali dengan cepat “
“ sebaiknya setelah kau mengambil sepatuku kau pulang.
Aku akan menjaganya malam ini “
“ tak mau! Kita akan menjaganya berdua atau sepatumu tak
akan kembali “
Adrian
tertawa kecil, lalu Evan berlari mengambil sepatu Stefan yang ia lempar tadi.
******
Malam semakin larut, udara malam
ini semakin dingin. Adrian sudah terpejam beberapa jam yang lalu. Namun Evan
dan Stefan masih duduk berdua di sofa sambil menonton tv. Mereka duduk
bersebelahan, meminum minuman soda sambil menyantap sebuah piza yang mereka
pesan.
“ Hey pria bodoh, aku ingin
menanyakan sesuatu padamu “
Stefan mengambil kembali potongan piza tanpa menoleh ke
arah Evan.
“ tanyakan saja, ada apa? “
“ Aku akan menanyakan ini
dengan serius. Apa kau menyayangi adikku? “
Evan memalingkan wajahnya ke arah Stefan, begitu juga sebaliknya
sehingga kini mereka saling berhadapan.
“ tentu saja aku menyayangi
adikmu. “
“ baguslah kalau begitu, jangan
pernah sekalipun kau menyakitinya. Aku akan percayakan adikku padamu. Tapi
ingat, aku akan tetap mengawasimu. “
“ tak perlu kau awasi Stefan,
aku akan menjaga Adrian lebih baik darimu. Sebaiknya kau fokus untuk mencari
pengganti Darius di hatimu “
Setafan
terbelalak, ia langsung melayangkan tatapan death glare kepada Evan.
“
Dari mana kau tahu hubunganku dengan Darius? “
“
aku mendengar obrolanmu dengan empat sahabat bodohmu itu “
“
jangan panggil mereka bodoh, mereka lebih baik darimu “
“
cih! Terserahlah, tapi kusarankan padamu. Temanmu yang bernama Darren sangat
manis dan cocok untukmu. Pertimbangkanlah ia untuk menjadi kekasihmu sobat “
Evan
menepuk bahu Stefan lalu duduk di samping Adrian yang kini sudah tertidur
dengan lelap.
*****
Kelas
hari ini begitu menumpuk bagi Stefan. Harap dimaklumi, dia adalah
mahasiswa brilian di kampus ini yang ingin lulus kuliah dengan cepat dan
mengambil alih perusahaan ayahnya. Stefan banyak menorehkan prestasi semasa
kecilnya. Bahkan ketika ia berada di sekolah menengah atas dulu ia pernah pergi
ke Jerman untuk melakukan pertukaran pemuda. Ia sempat belajar disana beberapa
bulan dan kembali mendapat predikat sebagai peserta terbaik.
Piala dan Piagam mungkin sudah
menjadi benda yang dapat kalian temukan apabila memasuki kamarnya. Ya, itulah
Stefan. Selain pintar, kaka dari Adrian inipun memiliki paras yang tampan.
Stefan lebih memiliki wajah yang cool, tidak seperti Adrian yang terlihat cute.
Maka dari itu dari kecil Stefan disukai banyak orang terutama kaum hawa. Ada
juga beberapa pria yang tertarik padanya seperti Darius dan Darren.
Ngomong-ngomong
soal Darren, saat ini pria itu sedang duduk di sisi sebelah kanan Stefan.
Matanya yang berwarna hijau lautan sedang menatap lurus ke arah Stefan. Darren
memang menyukai Stefan dari awal mereka bertemu dulu. Hanya karena Stefan
memayunginya ketika hujan lebat, ia menjadi kagum pada sosok Stefan dan lama
kelamaan rasa kagum itu berubah menjadi cinta.
Umur Darren satu tahun lebih muda
dari Stefan dan Adrian. Kalian tak perlu kaget, Darren memiliki kejeniusan
diatas rata-rata sama seperti Stefan. Jadi untuk masalah sekolah jangan
ditanyakan lagi. Darren lahir dari keluarga kecil yang kaya raya, sayangnya ia
tak mengenal ibunya. Ibunya meninggal ketika ia masih berusia lima bulan.
Ayahnya yang bekerja sebagai seorang dokter ahli bedah harus menjadi orang tua
tunggal bagi Darren. Ayahnya tak pernah memikirkan untuk menikah lagi, yang ia
inginkan hanyalah melihat Darren tumbuh dewasa dan menjadi anak yang pintar
seperti ibunya.
Darren
mewarisi ketampanan dan kecantikan orangtuanya. Matanya yang hijau mirip dengan
mata ayahnya, begitu juga dengan hidungnya yang kecil dan mancung. Bulu mata
yang lentik, dan bibir tipis yang merona ia dapatkan dari ibunya. Darren
seperti memiliki dua kepribadian, di sisi yang satu ia bisa menjadi pria yang
cool dan bisa memikat banyak wanita, tetapi di sisi yang lain ia bisa menjadi
seorang pria manis yang akan banyak memikat pria. Jika ia sudah berkelakuan
manis pada keempat sahabatnya semua orang yang belum mengenalnya akan
menyangkan bahwa Darren adalah seorang wanita.
Darren memiliki kulit putih yang
sangat mulus. Tubuhnya tinggi dan asal kalian tahu saja, ia memiliki lekukan
pinggang langsing seperti seorang wanita yang mengikuti kontes kecantikan.
Darren pernah ditawari oleh teman-temannya untuk menumbuhkan otot agar dirinya
terlihat seperti pria biasa. Namun ia menolak, ia ingin menjadi dirinya
sendiri. Ia ingin menjadi Darren yang memiliki wajah manis dan tubuh yang indah
seperti ini, ia tak perduli apa yang akan dikatakan orang lain.
“ Darren, ada apa denganmu? Kenapa kau meperhatikan
Stefan terus seperti itu? Bisakah kau fokus pada pelajaranku? “
Ia
terkejut ketika dosennya menegur kesalahannya. Ia langsung kembali fokus
kedepan meninggalkan Stefan yang kini sedang tersenyum manis dengan pipi yang
merona.
Kelas
sudah selesai, ketiga teman Stefan sudah keluar kelas untuk menunggunya di
caffe sebrang jalan. Kini hanya tinggal Darren yang masih membereskan seluruh
bukunya di dalam kelas.
Bunga sudah mulai menampakkan diri
mereka dan siap menyambut hangatnya mentari di musim semi, dan mungkin saja
bunga-bunga yang lain di dalam hati Stefan akan bermekaran dengan kehadiran
Darren. Darren keluar dengan terkejut melihat Stefan masih berdiri di depan
kelas menunggunya.
Stefan memberikan senyum terindah yang membuat pipi Darren merah merona dengan
sempurna. Darren mulai memilin-milin ujung bajunya, itulah yang selalu ia
lakukan apabila ia merasa sangat gugup. Stefan mulai mendekatinya lalu
melepaskan kedua tangan dari bajunyaa, memberhentikan hal bodoh yang selalu
Darren lakukan ketika ia merasa gugup.
“ Kau
tak usah merasa gugup denganku Darren, ayo sebaiknya kita cepat menemui mereka
ke Caffe di sebrang jalan. “
Tak ada resspon dari Darren, ia
hanya menahan senyumnya sambil memalingkan wajah dari Stefan. Sebuah senyum
kecil tersungging di bibir Stefan. Akhirnya dengan paksa ia menggendong Darren,
ia menaikan tubuh mungil itu ke bahunya. Membawanya seperti karung beras, jika
kalian melihat wajah Darren pasti kalian akan tertawa. Ia meronta sambil
berteriak ‘Stefan bodoh! Turunkan aku sekarang juga’. Tapi perkataan itu
tak membuat Stefan mau untuk menurunkannnya. Ia malah menepuk pantat Darren dan
menyuruhnya untuk diam lalu tertawa. Lagi-lagi Darren harus memiliki warna
merah merona di pipinya.
.
.
.
Di sisi lain, Adrian kini sudah
sampai di rumahnya. Diantarkan oleh Evan yang sengaja tak mengambil kelasnya
sore ini. Awalnya Adrian akan pulang nanti malam bersamam Stefan, namun Adrian
memaksa ingin pulang ke rumah dengan cepat ketika Evan datang ke rumah sakit.
Angin
dimusim semi menyambut kedatangan Adrian di rumahnya. Harum bunga liar yang
tumbuh di depan rumahnya mendominasi di udara yang mereka hirup. Walaupun baru
beberapa minggu tinggal di rumah ini, rasa rindu yang menyeruak Adrian rasakan
terhadap kediamannya bersama Stefan.
Evan
menyimpan tas berisikan baju milik Adrian di ruang depan rumah. Ia
menghempaskan tubuhnya diatas sofa hijau laut. Melepaskan jaket baseball
warna hitam yang ia kenakan. Keringat membanjiri tubuhnya.
“ kau
mau minum Evan? “
“ nanti
saja, biar aku ambil sendiri “
“
baiklah.. “
Adrian mengambil tas yang disimpan
tadi lalu ia bawa menuju kamarnya yang ada di lantai atas rumah ini.
“ yak!
Hentikan “
Evan menghentikan langkah Adrian,
kakinya sudah menaiki satu tangga.
“ kau
baru sembuh, sini biar aku saja yang membawakannya “
Dengan
sigap Evan membawakan tas itu, tangan lainnya menggenggam tangan Adrian yang masih
lemas. Selama beberapa detik Adrian merasa malu karena kini lengannya tengah
digandeng oleh seorang pria tampan yang ia sukai. Mereka memasuki kamar,
ruangan yang lumayan luas ini terlihat sangat hampa. Mungkin karena beberapa
hari tak dihuni oleh siapapun. Ranjang beralaskan bed cofer berwarna
biru langit masih terlihat rapih. Adrian menghempaskan dirinya diatas kasur
yang nyaman itu. Evan menyimpan tas di depan lemari baju milik Adrian.
“ Kau mau kemana
setelah ini Evan? “
Evan mengambil kursi belajar lalu
memposisikan kursi itu disamping Adrian dan ia duduki.
“ mungkin setelah
ini aku akan pergi menemui kakaku. Ia sedikit membutuhkan bantuan. Bisnisnya
sedang ramai saat ini. Aku harus mengatasi pekerjaan kakaku yang tertunda. Aku
masih rindu denganmu Adrian “
Rona merah itu kembali muncul di pipi
Adrian.
Sebuah
dering telfon membuyarkan keheningan diantara mereka berdua. Evan segera
mengangkatnya.
“ halo.. “
“ oh ya, baik
aku akan pergi kesana sekarang. Mungkin lima belas menit aku akan sampai
disana. “
Line telfon sudah diputuskan. Evan memandang wajah
Adrian dengan kecewa lalu mengusap keningnya dengan manis.
“ aku harus
pergi sekarang, maaf aku tak bisa menemanimu “
“ ta apa.. ya
sudah, hati-hati “
“ ya pasti aku
akan hati-hati. Jangan lupa minum obatmu, aku akan menelfon Stefan untuk cepat
pulang. Cepat sembuh karena aku rindu melihatmu berada di kampus lagi. Sampai
jumpa “
Evan mengecup pipi Adrian dengan
buru-buru.
Komentar
Posting Komentar