Hujan di Ujung Senja 3 (Ciuman Hujan)
Halo! how are you guys? I hope you all in a good condition when you read this story.
Saya rindu kalian semua. Maafkan saya karena baru bisa hadir kembali disini. Di dunia khayalan saya dan mungkin juga dunia khayalan kalian semua. Akhir-akhir ini lembaga pendidikan yang biasa kita sebut "Sekolah" itu sedang mengurung saya dengan tugas-tugas yang menumpuk. Saya kaku, tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengerjakan tugas.. tugas.. tugas.. dan tugas. Memang berat rasanya, tapi saya yakin hasil akhirnya akan manis. Kalian juga ya, yang masih sekolah seperti saya jangan mengeluh. Harus tetap semangat, karena ini kunci menuju kesuksesan kita semua. Untuk kelas 3 SMA ataupun SMP yang akan Ujian Nasional ayo kita berjuang sama-sama hehehe..
Hari ini saya sedang memiliki waktu luang jadi saya bisa kembali membagi tulisan-tulisan saya kepada kalian semua. Sekali lagi maaf atas kehilangan saya yang begitu lama ini. Selamat menikmati ceritanya..
*****
Penampilan, ok. Bau mulut, ok juga. Ya sepertinya aku sudah siap malam ini.
Membayangkan menghabiskan semalaman suntuk dengan orang yang dicintai sungguh
membuat jiwa mudaku menggelora. Sejak perpisahan kami sore tadi di cafe, aku
tidak bisa berhenti memikirkan pria mata karamel itu. Wajahnya dan senyumnya
yang manis terus saja terbayang di wajahku. Malam ini aku sudah menyiapkan
sebuah cd untuk kami tonton berdua. Sebuah film yang semua orang pasti sudah
menontonnya. Titanic, tidak asing kan di kuping kalian?
Yap! Semuanya sudah kumasukan ke dalam tasku. Aku sudah siap, aku mencium
cincin yang dikalungkan di leherku. Cincin keberuntungan..
Ketika dalam perjalanan,
hatiku terus berdebar. Aku gugup, rasanya seperti menanti kelulusan Ujian
Nasional dulu. Setibanya di Colville Place aku mengunjungi toko bunga
terlebih dahulu. Membelikan beberapa tangkai bunga untuk diberikan kepada Kent
agar ditaruh dalam vas. Bunga ini bisa menghiasi meja makan kami nanti.
Untuk yang kedua kalinya aku mengetuk pintu apartemen Kent. Pintu itu
terbuka, Aku melihat Kent dengan baju rumahan seperti biasanya. Celana pendek
dengan kantung yang banyak, kaus polos berwarna putih yang sangat transparan.
Niple nya yang kecil di kedua sisi dadanya mencuat. Membuat mata nakalku sedikit
melotot. Sexy!
“ hai! Kau datang lebih cepat. Soup ku belum matang. “
Aku masuk tanpa menunggu izin darinya. Kent sedikit berlari ke dapur. Meja
makan sudah ia tata dengan rapi. Di tengahnya tersimpan sebuah vas bunga kosong
yang terbuat dari beling kaca. Instingku benar, bunga yang tadi kubeli tak
sia-sia.
Aku berlari menyusulnya ke dapur sambil membawa vas dan bunga yang tadi
kubeli. Akan ku isi vasnya dengan air dan akan kusimpan bunganya.
“ kau mau apa? “
“ aku mau menyimpan bunga yang tadi kubeli di vas bungamu
yang kosong “
“ ah terimakasih “
Katanya sambil kembali menghirup aroma soup yang sudah menyebar ke seluruh
penjuru dapur. Selesai mengisi vas itu dengan air dan memasukan bunganya, ku
taruh kembali vas itu di tempat asalnya dan kembali menuju dapur. Melihat
pujaan hatiku memasak.
Ketika aku kembali ke
dapur, Kent sudah selesai dengan soupnya. Ia sedang menuangkan soup itu kedalam
bowl yang ukurannya sedang. Aroma kaldu daging sapi membuat perutku jadi
keroncongan. Aku mencium bau soup itu dengan lekat-lekat.
“ ini soup kesukaanmu dulu. Tadi aku mencari resepnya di
internet. Ahhh.. kuharap soup ini bisa membuatmu kenyang malam ini “
“ apa ini waktunya makan? “
Tanyaku sambil menunjuk bowl berisikan soup itu.
“ ya, kau bawa soup itu ke meja makan. Aku akan membawa
beberapa menu masakan lagi. Hari ini kita makan besar “
Aku menurut saja. Kubawa mangkuk itu ke meja makan.
.
.
.
Duduk berduaan di meja
makan dengan makanan yang lezat dan suasana yang romantis. Bahagia bukan? Aku
merasa seperti pengantin baru bersama Kent. Bahagia rasanya jika Kent bisa
menjadi istriku, eh maksudku suamiku, eh.. istriku. Haduh aku bingung harus
memanggil dia suami atau istriku kelak jika kami benar-benar menikah.
Soup buatan Kent membuat lidahku menjadi ketagihan. Rasanya enak sekali,
bahkan aku sampai menambah beberapa kali. Porsi makanku malam ini lebih banyak
dari biasanya. Efek masakan enak dan pujaan hati yang menemani mungkin.
Di sela-sela makan, aku
mencoba untuk melontarkan candaan agar suasana semakin hangat. Ketika ia
tertawa, aku melihat niple nya yang kecil itu bergerak naik turun di atas
bajunya. Lagi-lagi mata nakal ini menangkap pemandangan indah itu. Dasar mata
sialan.
“ Chandra, bagaimana makanannya. Kau suka? “
Kami sedang membawa piring bekas makan malam tadi. Mencucinya, kami juga
memasukkan sisa makanan ke dalam lemari es. Katanya makanan itu bisa di makan
esok pagi. Tinggal di hangatkan saja sebentar.
“ Menghabiskan beberapa mangkuk soup itu tandanya
bagaimana menurutmu? “
“ rakus mungkin hahahaha “
Ah shit! Senyumnya mempesona. Aku seperti dipanah oleh Arjuna bermata
karamel. Sepertinya malam ini cupid berkumpul di atas ubun-ubunku, menembakkan
panah-panah asmaranya tepat di jantungku.
Kami kembali dari dapur,
kali ini kami menuju ruang santai. Disana ada sebuah sofa, dan karpet beludru
yang halus. Sepertinya karpet itu dipasang untuk pembaringan ketika sedang
malas. Sebuah tv LCD dengan satu set DVD lengkap bersama speakernya terpasang
tepat di hadapan sofa berwarna hitam itu.
Ku ambil tas, dan mengeluarkan keripik kentang kesukaan Kent. Aku juga
mengeluarkan CD Titanic yang kubawa tadi.
“ Menonton? Tadinya aku meu mengusulkan ini. Tapi
ternyata kau sudah merencanakannya “
Ia terlihat antusias ketika melihat cover CD itu. Menggambarkan tokoh Jack
dan Rose yang sedang berpelukan di ujung kapal yang akhirnya tenggelam karena
menubruk batu es itu.
“ sudah lama aku tak menonton ini. Terakhir mungkin saat
aku masih di Indonesia bersamamu. “
“ ya, maka dari itu aku membawanya. Kita menonton film
ini bersama-sama lagi “
.
.
.
Ia
berbaring dengan kepala berada di atas betisku, dalam pangkuanku. Matanya
tertuju pada layar kaca. Ia menonton dengan serius, sedangkan aku? Jujur
sepanjang film hingga sekarang sudah hampir setengahnya aku tidak bisa fokus.
Mataku terus tertuju pada Kent. Bibir merahnya yang sedang mengunyah keripik
itu membuat bibirku gemas ingin mengecupnya. Indra penciumanku mencium bau apel
yang manis. Ini aroma shampo Kent. Aroma itu sungguh memabukkanku. Membuat
diriku jadi ingin menghirup baunya hingga tak berbau lagi.
“ kau mau? “
Katanya, aku mengangguk. Membuka mulutku. Ia menyuapiku seperti biasanya.
Matanya kembali fokus ke layar tv. Begitu juga dengan aku, sedang mencoba
memfokuskan diri. Di luar turun hujan, tidak deras. Hanya rintik-rintik biasa.
Film itu akhirnya tiba di
bagian ciuman. Ah, fikiranku semakin kacau. Tiba-tiba ketika tokoh Jack dan
Rose akan saling berpagutan, Kent membalikkan tubuhnya, ini memang
kebiasaannya. Ia selalu malu jika melihat adegan seperti itu. Kalian tahu apa
masalahnya? Ya saat ini ia menghadap ke arah selangkanganku. Hidungnya yang
mancung tepat mengenai bagian fitalku yang terbungkus celana jeans.
Aku gelagapan, aku memandangnya. Ia hanya diam saja. Menatap ke arah
seletingku. Aku berusaha mati-matian menahan agar si junior ini tidak bereaksi.
“ kau masih malu melihat yang seperti itu? “
“ diam, tak usah banyak bicara. Apa sudah selesai
adegannya? “
“ eemm... ya “
Kataku dengan sedikit bergetar. Ia kembali membalikkan badannya dan
menonton dengan posisi seperti semula.
Jam berjalan begitu cepat.
Jarum pendeknya yang runcing sudah berada di angka sepuluh. Kami sudah menonton
film yang kedua. Ya, seperti biasa di akhir film pertama tadi aku mendengar
isak tangis dari Kent. Selalu saja seperti itu jika kami menonton film tentang
kapal besar yang tenggelam itu.
Saat di pertengahan film kedua ini, aku mendengar dengkuran kecil dari
Kent. Ya kebiasaan dia memang seperti ini, jika ia sudah bosan menonton film ia
pasti akan memejamkan matanya dan akhirnya tertidur seperti ini. Aku mengubah
posisi tidurnya, namun ia menggeliat. Ku pindahkan kepalanya yang tertidur di
pahaku ke atas bantal sofa. Ku matikan tv dan DVD player-nya.
Melihatnya tertidur
seperti ini membuat diriku semakin gemas. Apalagi melihat bibir merahnya yang
sedikit basah karena saliva nya. Lihatlah bulu matanya, lentik dan lebat.
Inilah pahatan sesungguhnya yang sempurna, diciptakan oleh seniman agung yang
abadi. Kent menggerakan tubuhnya, sedikit menggigil. Ia kedinginan, Aku
mengangkat tubuhnya. Berat juga ternyata, kugendong dengan berjalan
tertatih-tatih menuju kamarnya. Ku rebahkan ia di kasurnya, kuselimuti tubuhnya
hingga menutupi bagian dadanya. Sekali lagi kutatap wajah manis itu. Dengan
hati-hati kucium keningnya.
“ good night baby. Have a nice dream. Tidur
nyenyak ya peri manisku “
Ku usap kepalanya dengan perlahan, ia menggeliat. Ku matikan lampu kamarnya
dan kutinggalkan ia. Aku harus kembali pulang ke rumahku.
*****
Hujan kembali turun malam
ini, tidak deras. Hanya rintik-rintik biasa, namun membuat bulu di sekujur
tubuhku meremang karena kedinginan. Aku semakin merapatkan mantelku agar hawa
dingin itu terusir. Aku masih berjalan di trotoar. Aku malas naik taxi, jadi aku
mencoba untuk berjalan. Ingin tahu sampai mana aku bisa kuat berjalan menuju
rumahku dari apartemen Kent.
Meskipun bulan sudah naik dan langit sudah gelap, tetapi kota ini masih
hidup. Masih banyak toko yang menyalakan lampunya.
Tiba-tiba aku menangkap
sosok putih di kejauhan sana. Sosok itu seperti menari-menari. Berjingkrak ria
sambil memainkan genangan air hujan di trotoar dengan kakinya. Tiba-tiba saat
aku melihat wajah dari sosok itu, aku jadi teringat dengan pria misterius yang
naik kincir angin denganku. Ya, tak salah lagi itu Angelo. Ia berloncatan
sana-sini seperti anak kecil sambil menengadahkan tangannya menampung air.
Bibir tipisnya menyenandungkan sebuah lagu. Tak tahu lagu apa, aku hanya
mendengar kata “nananana” dari mulutnya.
“ Angelo? “
Sapaku, ia berhenti berjingkrak. Saat menatapku, bibir tipisnya tersenyum.
Ia berlari ke arahku, menggenggam tanganku.
“ Tuan penakut, akhirnya kita bertemu kembali “
“ Jangan panggil aku tuan penakut, namaku Chandra.
Panggilah aku Chandra “
“ Tapi aku lebih suka memanggilmu tuan penakut “
Ia tertawa kecil. Manis sekali.
“ ayo ikut denganku “
Ia berlari sambil memegang tanganku, terpaksa aku harus mengekor
dibelakangnya.
Angelo membawaku ke sebuah
taman kecil, lampu-lampu tamannya menyala terang. Tidak banyak pengunjung yang
datang. Mungkin hanya ada sekitar belasan orang saja. Aneh ya, di saat hujan
seperti ini masih saja ada orang yang pergi ke taman. Malam-malam lagi.
Kami duduk di sebuah bangku taman, Aku merasakan bagian pantatku terasa
dingin. Bangku ini terbuat dari besi yang menyerap udara dingin.
“ Kenapa kau membawaku kesini? “
Ia menoleh ke arahku, lalu dengan santainya ia mengusapkan tangannya di
pipiku.
“ tak apa, aku hanya ingin melihatmu saja. Jadi tadi
siapa namamu? Aku lupa lagi “
“ Chandra “
“ ya Chandra, malam ini aku ingin menghabiskan sedikit
waktu bersamamu “
“ Kalau begitu kenapa mengajakku ke taman? In sedang
hujan. Sebaiknya kita pergi saja ke rumahku atau ke cafe. “
“ aku tak bisa, hujan sebentar lagi reda. Aku harus pergi
“
“ lagi-lagi kau mengatakan seperti itu, memangnya apa
masalahnya jika hujan reda? Bukankah itu bagus? Jadi kita tidak kebasahan
seperti ini. “
“ issh.. pokoknya jika hujan reda aku harus pergi “
Beberapa menit kemudian, hujan sudah mulai mengecil. Hujan akan reda
sepertinya.
“ Ah, aku harus pergi Chandra. Terimakasih karena sudah
menemaniku. “
“ Tapi Angelo, aku masih ingin berbicara denganmu “
“ tak bisa, aku harus pergi “
“ tapi beritahu dimana rumahmu? “
“ tak bisa, tapi ini.. terimalah ini dariku “
Tiba-tiba ia memberikan padaku sebuah gelang berwarna hitam dan putih.
Gelang itu sepertinya rajutan tangan sendiri.
“ pakailah dan jangan hilang “
Dengan cepat ia menciumku. Mencium bibirku yang masih belum siap menerima
kecupan darinya. Cukup lama, tapi setelah itu ia pergi berlari dan lagi-lagi
untuk yang kedua kalinya ia menghilang ketika hujan sudah reda.
Komentar
Posting Komentar