WINTER SADNESS (CHAPTER 9)
Aku terbangun dengan posisi dimana tubuhku kini menghadap ke atas. Lengan kembaranku tersimpan dengan asal di wajahku. Menutup lubang hidungku sehingga membuatku sedikit sesak. Kucoba untuk menggeser lengannya, ia melengguh lalu bergumam kecil. Memarahi seseorang yang sepertinya ditujukan untukku karena telah menggangu posisi tidurnya.
Matahari sudah
terbit sejak beberapa jam lalu, celah-celah fertilasi udara di kamarku kini
diterangi oleh sinar matahari yang menembus kamar. Jam menunjukkan pukul 07:55.
Lima menit lagi jam delapan. Hari ini aku akan dijemput oleh Evan sekitar pukul delapan tiga puluh. Itu artinya masih
ada beberapa menit lagi untuk melakukan hal apa saja di rumah.
Hal pertama
yang aku lakukan adalah menyapa Bernie. Ia yang sedang mencoba untuk keluar
dari aquarium namun selalu gagal membuatku tertawa lirih. Aku lupa, semalam
makanan tak kunjung diberikan untuknya. Haahhh.. jika Evan tau pasti aku akan
dimarahi olehnya.
Ku raih tempat makanan berisikan
butiran-butiran kecil berwarna merah yang bau ikan. Ini makanan Bernie yang
dibelikan Evan kemarin. Katanya makanan ini akan menumbuhkan Bernie dengan
cepat. Kutuangkan makanan itu kedalam aquarium. Bernie yang tadi berusaha
menaiaki untuk sampai ke puncak aquarium menyerah. Ia berjalan ke tengah
aquarium bulat itu dan memakan sarapan paginya dengan lahap.
“ makan yang banyak. Kau harus tumbuh besar Bernie “
Pekerjaanku
yang pertama sudah selesai. Kini saatnya melakukan hal yang lain. Aku keluar
dari kamarku, menuruni tangga dan melihat ruang keluarga rumah ini berantakan.
Banyak bungkus makanan yang berserakan. Ini ulah teman-teman Stefan semalam.
Mereka memang jorok.
Satu persatu
ku ambil bungkus-bungkus pelastik itu. Mengumpulkannya dalam kantung pelastik
besar untuk sampah dan menyimpan semuanya di tempat sampah yang ada di depan
rumah.
Hari ini suasana dekat rumahku
lumayan ramai. Mungkin karena cuaca yang sesuai untuk pergi berjalan-jalan. Saat
kembali berjalan ke pekarangan rumah, aku melihat beberapa kumpulan bunga mekar
di rumput. Bunga-bunga itu berwarna merah menyala. Siapa yang menanamnya?
“ Kau suka? Aku yang menanamnya. Akhirnya mereka mekar “
Suara dari
ambang pintu itu membuat kepalaku menoleh. Aku melihat Stefan dengan mata yang
masih menyipit dengan pakaiannya yang kusut membawa secangkir teh hangat di
tangannya.
“ Kau yang menanamnya? Tumben sekali “
“ aku tahu adikku menyukai bunga. Makannya kutanami bunga
itu “
“ apa nama bunga ini Stefan? “
Aku mendekat
dan menghirup baunya. Harum, namun tidak seharum bunga-bunga yang ada di kafe
tempat aku dan yang lainnya sering berkumpul.
“ aku tidak tahu. Tapi kata si pemilik toko, bunga itu akan mekar dan
memancarkan harum yang pasti kau sukai “
Aku tersenyum,
melihat kembali ke arah bunga berwarna merah itu.
“ kau tak mau menyiramnya? “
Oh ya, aku
lupa. Bunga butuh air untuk terus tumbuh. Kuambil selang yang tergeletak begitu
saja di tanah. Menyambungkannya dengan keran air di halamanku satu-satunya.
Kusirami bunga-bunga itu dengan merata.
Tiba-tiba Stefan mendekat ke arahku
dan merebut selangnya dari tanganku. Ia mengarahkan air dari selang itu ke
tubuhku. Membuat seluruh tubuhku basah kuyup. Ia tertawa lalu kembali
menyemprotku dengan air selang itu. Ku kejar ia, Stefan berlari menghindariku
sambil masih mengarahkan selang itu ke arahku.
“ Hentikan itu Stefan, Kau membuatku basah kuyup dan
kedinginan. “
“ kau harus mandi seperti bunga-bunga itu. Kau juga kan
harus tumbuh besar seperti mereka “
Ia tertawa
bahagia dan terus menjauh dariku. Aku tahu caranya supaya ia berhenti menjauh
agar aku bisa membalasnya.
“ Aduh.. “
Aku pura-pura
terjatuh. Stefan melihat ke arahku sambil memperlihatkan wajah khawatirnya.
“ Adrian, kau tidak apa-apa? “
“ kakiku terkilir, tadi aku menginjak tanah yang basah “
“ hisshh.. dasar ceroboh “
Stefan
menghampiriku. Haahh... kena kau Stefan. Aku akan membalasmu.
Ia berjongkok, melihat dengan
seksama ke arah kakiku yang kubilang terkilir. Ia menyentuhnya dengan hati-hati.
Dengan wajah khawatirnya ia menanyakan keadaanku. Ketika ia lengah, aku
mengambil selang dari tangannya dan menyemprotkan air selang itu ke arahnya. Ia
berteriak kaget, aku tertawa puas dan kembali menyemprotkan air itu. Kini
tubuhnya menjudi basah kuyup. Ku semprot juga rambutnya yang kusut.
“ Kau juga harus mandi Stefan “
Aku kembali
tertawa.
“ awas kau “
Stefan
menerjangku, selang itu terlepas dari tanganku.
Kami berdua berguling di tanah. Saling menyerang satu sama lain. Stefan
mencoret wajahku dengan tanah basah yang sudah tercampur dengan air selang.
Begitu juga dengan aku yang mencoret dahinya. Aku berontak dan mencoba untuk
bengun dan berlari. Namun dengan sekuat tenaga ia menarikku agar kembali
terjatuh. Aku menimpa tubuhnya. Ia tertawa keras dan menggulingkan tubuhku. Ia
menindih tubuhku dan kembali mencoretkan tanah basah itu ke wajahku. Aku
memberontak. Namun ia mengunci tubuhku hingga aku tak dapat berkeras.
Kami tertawa,
sudah lama kami tak bergelung seperti ini. Terakhir kali kami bercanda seperti
ini mungkin ketika kami masih kecil. Ketika ayah dan ibuku belum membedakan aku
dengan Stefan. Tawa kami terhenti, Padangan kami saling bertemu. Stefan
membersihkan tanah basah yang sudah mulai mengering di pipiku dengan tangannya.
Lalu sedetik kemudian ia mencium pipiku.
“ Maaf aku telah merenggut semua kebahagiaanmu dulu Adrian. Aku berjanji
akan membahagiakanmu mulai sekarang. Kau adalah orang yang paling kusayang,
jangan pernah ada air mata yang menetes dari mata kembaranku ini “
Aku tersenyum
dan memeluknya.
“ terimakasih kaka.. “
Saat aku
melihat ke arah gerbang depan rumahku, aku melihat Evan berdiri. Menatap kami
berdua dengan terkejut. Yang membuatku semakin kaget adalah, aku juga melihat
Darren di sampingnya. Ia menatap kami dengan wajah penuh pertanyaan.
Aku menepuk
punggung kembaranku, Stefan menoleh dan sama terkejutnya sepertiku.
“ Apa yang sedang kalian lakukan? “
*****
Cukup lama kami duduk berempat di
ruang keluarga. Menjelaskan semua yang telah Stefan dan aku lakukan tadi. Aku tau
Evan cemburu, bahkan Darren juga merasakan hal yang sama. Tapi seharusnya
mereka memaklumi kami. Kami saudara kembar dan itu sudah menjadi hal yang
wajar. Tapi aku juga tak bisa menyalahkan kecemburuan mereka. Akhirnya kami
meminta maaf.
Saat ini aku
sedang berada di dalam mobil Evan. Lima menit yang lalu aku berpamitan dengan
Stefan dan meminta izin untuk pulang agak telat malam ini. Ia mengizinkanku,
Stefan juga berencana akan pergi berdua bersama Darren.
Didalam mobil
keheningan begitu terasa. Aku tahu Evan sudah memaafkanku, tapi ia tak bisa
menyembunyikan kekesalannya padaku. Sedari tadi, ketika aku mengajak lawan
bicaraku ini membahas sesuatu, ia tak menjawabnya. Ia malah menatap jalanan
dengan serius. Evan masih marah padaku.
“ Kenapa kau tak menjawab pertanyaanku Evan? Kau masih
marah poadaku ya? “
Aku memainkan
ujung bajuku, merunduk, tak berani menatap matanya yang memancarkan amarah.
“ kau belum memaafkanku? Aku sudah berulang kali mengucapkan maaf padamu. Kumohon jangan marah seperti ini. Jika memang
kau marah dan tak ingin melihatku sebaiknya turunkan saja aku disini. Aku akan
kembali ke rumah dengan naik taksi.
Evan
menghentikan laju mobilnya dengan tiba-tiba. Aku tersentak kedepan. Ia memukul
kemudi dan menatapku. Kulihat di dalam matanya ada air mata yang terbendung.
Waktu seperti melambat, ia memegang
tengkukku dan menciumku. Mencium bibirku yang sebenarnya belum siap untuk
dijamah oleh bibirnya. Air matanya turun, namun ia masih menciumku. Aku
memejamkan matanya, ia memagut bibirku semakin dalam. Kubuka mulutku untuk
membiarkan lidahnya masuk. Kami berciuman lama.
“ Aku cemburu, aku tak bisa melihat orang
yang kucintai diperlakukan seromantis itu oleh orang lain meskipun kakaknya
sendiri. Adrian, aku mencintaimu. kumohon mengertilah perasaanku ini “
Aku terdiam,
tak membalas lawan bicaraku. Aku merunduk, menyembunyikan rona merah di pipiku.
“ kau juga mencintaiku kan? “
Ia memegang
daguku dan mengangkatnya. Aku tak bisa berpaling darinya. Matanya menampakkan
wajah memelas.
“ kau mau menjadi kekasihku? “
Dengan malu
aku mengangguk. Ya, ya aku juga mencintaimu Evan.
Evan memelukku dengan erat, ia
tertawa dalam tangis bahagianya. Aku juga menurunkan air mata haru. Ia kembali
menciumku, kali ini kubiarkan ia menciumku lama.
“ Hei! Kenapa kau berhenti di tengah jalan! Lihatlah semuanya menunggu
mobilmu, kau menciptakan kemacetan bung! “
Teriak
seseorang dari belakang, membunyikan klaksonnya dengan nyaring.
Evan
menghentikan ciumannya, ia menggaruk tengkuknya sambil tertawa.
“ Maafkan aku tuan! Aku baru saja mencium kekasihku tadi
“
Evan tertawa
dan menutup kembali jendela mobilnya. Melajukan kembali mobilnya, kami tertawa
sepanjang perjalanan.
.
.
.
Banyak orang yang berlalu lalang
saat ini di lobi hotel. Semua pegawai dengan seragam rapi selalu merundukkan
badannya jika berpapasan dengan Evan dan aku. Aku merasa seperti pengeran yang
dihormati para pengawal kerajaan. Tak heran jika para pegawai perempuan
terlihat selalu berlama-lama menatap Evan. Hari ini dia terlihat berwibawa dan
pastinya tampan. Kaus warna merah muda dibalut dengan jas berwarna cream dengan
celana yang sewarna dengan jas membuat penampilannya ok.
“ pegawai wanita itu menatapmu seperti singa yang
memperhatikan mangsanya. “
“ kau cemburu? “
“ tidak “
Ia menatapku,
dengan senyum jahilnya ia menarik tengkukku dan mencium keningku.
“ aku tahu kau cemburu sayang. Ayo, sepertinya kaka ku
sudah menunggumu “
Kami naik
lift, menuju lantai lantai sembilan. Lantai tempat Evan dan kakanya tinggal.
Setibanya disana, aku dituntun
menuju ruangan paling ujung di lorong ini. Evan masuk terlebih dahulu. Aku
membuka pintu sedikit, melongokkan kepalaku ke dalam. Aku melihat Evan sedang
membicarakan sesuatu dengan serius. Ada kerutan di dahinya dan nadanya sedikit
meninggi ketika berbicara dengan kakanya. Ketika Evan menunjuk sesuatu, aku
bisa melihat siluet seorang wanita dengan rambutnya yang panjang sedang
memainkan sesuatu di tangannya. Sepertinya ia sedang memegang handphone karena
jari-jari kecilnya terlihat bergerak.
“ Aku tak tahu Evan.. eh tunggu apa itu Adrian.. “
Kakanya
menatapku. Wajahnya mirip dengan Evan, hanya saja wajahnya terlihat lebih
tegas. Rahangnya terlihat lebih kokoh. Sedikit terkesan galak.
“ Masuklah, aku sudah menunggumu lama disini “
Katanya lagi
sambil tersenyum. Senyumnya manis, menghilangkan kesan galak yang tadi terpikir
olehku.
Aku memasuki ruangan, Ruangannya
cukup besar. Namun sayangnya agak sedikit berantakan. Aku mengerti, ruangan ini
berantakan karena dihuni oleh dua pria yang sepertinya benar-benar acuh untuk hal
merapikan ruangan. Aku bisa melihat beberapa kertas di lantai yang berserakan.
Kasur yang selimutnya belum dirapihkan. Tapi untungnya aku tidak melihat baju
atau celana yang berserakan karena jujur aku kurang suka melihat baju-baju
kotor yang berserakan di lantai.
“ Maaf jika ruangan ini terlihat berantakan. Aku lupa menyuruh pelayan
untuk membersihkannya terlebih dahulu. Namaku Harold, senang bertemu denganmu
Adrian “
“ senang bertemu denganmu juga Harold “
“ ya, ternyata setelah aku melihatmu dengan mataku sendiri, kau lebih manis
dari apa yang dibicarakan adikku “
Aku menatap
Evan yang sedang menatap tajam ke arah kakanya. Tiba-tiba keluarlah seorang
gadis dari balik tirai. Gadis itu cantik, dengan tubuh ramping dan rambut yang
panjang.
“ Evan aku sudah menunggumu lama sekali “
Gadis itu
dengan santainya memeluk Evan di hadapanku. Ia sandarkan kepalanya di bahu
Evan. Evan melihat ke arahku dengan tatapan meminta maafnya. Aku hanya diam,
memalingkan wajahku agar tak melihat adegan ini.
Dengan cepat Evan melepaskan pelukan
wanita itu dari tubuhnya. Wanita itu mengerutkan dahinya. Evan merapikan kembali
bajunya yang menjadi sedikit kusut.
“ Jangan memelukku seperti itu lagi Carina. Aku tak
menyukainya “
“ Tapi dulu ketika aku menjadi kekasihmu kau senang jika
kupeluk “
Kepalaku yang
tadinya merunduk, kini menatap luruh agar bisa melihat wajah cantik wanita yang
bernama Carina ini. Jadi ini mantan kekasih Evan dulu. Hatiku mengerut, entah
kenapa kecemburuan itu datang bagai debuman ombak yang menghantam dinding
dermaga. Sakit sekali. Harold segera mengalihkan pembicaraan setelah ia melihat
ekspresi wajahku.
“ bagaimana kalau kita makan? Aku lapar. Adrian, aku akan menunjukkan
menu-menu spesial di hotelku ini. Chef yang menangani restoran di hotelku ini
dari luar negeri. Kau pasti suka, tunggu sebentar aku akan berganti celana
dulu. Setelah itu kita pergi ke restoran di lantai dasar ok. Kau pergilah dulu
bersama Evan “
Aku
mengangguk, Evan segera menarik tanganku. Namun tiba-tiba Carina melepaskan
genggaman tanganku dengan Evan.
“ kenapa kalian harus berganggaman tangan seperti itu? Evan, aku ada disini
kumohon hargai aku “
“ Carina apa mau.. “
Aku menepuk
bahu Evan, lalu menganggukkan kepala menandakan aku baik-baik saja.
“ sana, gandenglah tangannya. Aku takkan
cemburu “
.
.
Selama kami makan di restoran,
perilaku Carina kepada Evan semakin menjadi. Ia memanjakan dirinya pada Evan.
Aku cemburu, ya ku akui itu. Namun aku menahannya, aku tak mau merusak moment
pertemuan pertamaku dengan kakanya. Setiap kali Evan menyuapi Carina, ia selalu
melihat ke arahku. Mungkin hanya untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja.
“ jadi, ini temanmu. Siapa namamu? “ tanya Carina padaku.
“ Adrian “
Aku menjawabnya singkat sambil membungkukkan tubuhku.
“ Evan, apa kau
yakin berteman dengan pria sepertinya? Teman-temanmu selalu tampil keren.
Lihatlah dia, kukira ia tidak layak untuk di pandang “
Katanya dengan
ketus.
BRAK!!
Meja tempat kami berempat makan
dipukul keras-keras oleh Evan. Sebagian pengunjung restoran melihat ke arah
meja kami sambil menggerutu karena terkejut. Carina mengelus dadanya kaget.
“ sayang, ada apa ini? kenapa kau menggebrak meja seperti
itu? “
“ Cukup Carina! Sekarang lebih baik kau pergi dari sini “
“ Apa? Memangnya kenapa? Apa salahku? Apa hanya karena
aku menghina pria itu kau jadi seperti ini kepadaku? “
“ Jangan banyak bicara Carina, sebaiknya kau pergi
sekarang! “
“ Evan, sudahlah jangan membentak karina seperti itu. “
Aku melihat
Harold melirik ke arah Carina. Air mata terlihat sedikit menggenang di sudut
matanya.
“ Tak apa Harold, memang sebaiknya aku harus pergi “
Carina bangkit
dari kursinya, menatapku dengan sorot mata penuh amarah. Aku hanya merunduk,
menghindari tatapannya yang membuat diriku merasa tak nyaman.
Komentar
Posting Komentar