Bunga Latar (Bagian 1)



Derit suara ranjang yang menggema di seluruh penjuru ruangan kecil ini seolah-olah sudah menjadi lagu pengantar tidur bagiku. Tangan-tangan halus yang menjalar di seluruh bagian tubuhku seperti penyapu debu yang membersihkan lantai. Tubuh-tubuh dengan perut buncit dan penuh bulu bagaikan selimut yang menghangatkanku. Tubuh telanjang para pria paruh baya yang siang hari berdasi dan mengenakan jas itu seolah-olah menganggapku guling yang bisa menghangatkan mereka.
Aku pasrah karena ini adalah pekerjaanku. Tanpa mereka uang tidak akan mengalir dan mengairi dompetku. Tanpa mereka hidupku gersang, jauh dari kesejahteraan. Ingin aku mencari pekerjaan lain, namun sulitnya menemukan pekerjaan yang cocok dan gaji yang kecil mengurungkan niatku untuk hengkang dari pekerjaan ini. Aku harus menghidupi ketiga adikku yang masih kecil. Aku harus memberikan mereka uang jajan, uang bayaran sekolah, dan uang makan mereka. Aku juga harus membayar uang kuliahku yang tak murah.
Aku Alum, orang-orang terdekatku biasa memanggilku dengan panggilan Al. Entah apa yang menyebabkan kedua orang tuaku memberikan nama itu. Yang aku tahu, arti dari kata Alum sendiri adalah layu. Mungkin aku memang ditakdirkan menjadi manusia layu yang kekurangan nutrisi bahagia dalam kehidupannya.
.
.
            Om Brata masih menggoyangkan pinggulnya di belakangku. Ia menjambak rambutku dengan kasar. Desahannya semakin kuat. Gerakan maju mundurnya juga semakin kencang. Membuat tubuhku tersentak maju. Anusku terasa sangat panas kali ini. Mungkin karena efek besarnya milik Om Brata yang mengoyaknya. Om Brata mengerang, sesuatu di dalam anusku terasa basah. Mual mulai menjalar. Om Brata memelukku dari belakang, menciumi leherku sambil tubuhnya bergetar. Dengan brutal ia menggigit punggungku. Menciumi leherku, menyedotnya hingga meninggalkan bekas merah di tengkuk.
  “Kamu emang jago buat om mabuk kepayang Al. Om makin sayang sama kamu” bisiknya di telingaku.
Geli sekali rasanya, ingin aku membalikkkan badan lalu menonjoknya hingga hidungnya patah dan berdarah. Namun jika aku melakukannya, uang-uang untuk membayar sekolah adikku esok hari akan hilang.
            Om Brata mengeluarkan barang miliknya dari tubuhku. Ia mereahkan tubuhnya yang gempal di atas kasur. Ia menyuruhku untuk tertidur dipangkuannya. Ku turuti saja. Ia mengelus kepalaku, lalu tangannya mulai kembali nakal mengelus bokongku yang sudah ternodai oleh jauhar miliknya.
  “Bulan depan Om bakal panggil kamu lagi. Nanti om bawa temen-temen om juga deh. Mereka bakalan suka sama kamu. Mereka bakalan berani bayar mahal buat kamu. Kamu siap sayang?”
Aku hanya mengangguk saja, tak ingin menjawab.
  “Ya udah sayang, om harus pulang. Istri Om udah nunggu di rumah. Sampai ketemu buland depan ya sayangku”
Om Brata menciumku lagi dengan brutal. Aku diam saja, mengikuti apa yang ia lakukan kepadaku.
            Tubuh gempalnya bangkit dari ranjang. Pria paruh baya itu memunguti kembali baju kantornya yang berserakan. Setlah kembali rapi, ia menyimpan dua gepok uang berwarna merah di meja. Om Brata melambaikan tangannya lalu pergi. Mengurungku sendirian dalam sebuah kamar hotel.
            Setelah rehat beberapa menit, aku pergi ke kamar mandi. Membersihakn semuanya dari tubuhku. Saat berada di dalam kamar mandi, aku melihat diriku sendiri di dalam cermin. Menatap sosok bunga latar yang layu karena telah dihisap sarinya oleh lebah madu gemuk.
            Setelah check out dari hotel, aku kembali merasakan kesegaran kota metropolitan. Aku berjalan di atas keramaiannya dengan sorotan lampu-lampu penerang jalan. Rumah kontrakanku bersama adik-adik memang tidak terlalu jauh dari lokasi hotel. Rasanya aku ingin segera tiba di rumah dan mengatakan kepada mereka bahwa esok mereka sudah bisa membayar uang sekolahnya.
            Aku berjalan melewati gang sempit yang gelap. Keadaan sudah mulai sepi. Memang sudah jam sebelas, semua orang pasti sudah mulai larut dalam mimpinya. Langkahku terhenti tatkala aku melihat seseorang berdiri di hadapanku. Aku tidak bisa melihat siapa dia karena gelapnya keadaan.
  “Kamu sudah pulang” kata sosok itu dengan suara beratnya.
  “Siapa kamu”
Ia melangkah mundur menuju lampu, setelah berdiri tepat di bawah lampu, aku bisa tahu siapa dia. Sena, teman kecilku dulu. Ia dua tahun lebih tua dariku.
  “bang Sena”
  “Kamu darimanma Al? Adik-adik kamu nunggu kamu loh dari tadi. Abang sampe kasian liatnya”
  “Abang gak usah tau aku darimana. Yang ppasti aku sudah bekerja bang”
Aku berjalan melewatinya, ketika itu juga ia menahanku dengan menggenggam tanganku erat sekali.
  “Jujur sama abang”
  “lepasin bang”
Aku mencoba berusaha melepaskannya. Namun ia malah mengeratkan pegangannya dan memelukku dari belakang.
  “Memangnya kamu kira abang gak tau kamu kerja apa? Abang Sena mohon sama kamu Al. Berhenti kerja kaya gitu. Kasian adik-adik kamu makan uang haram”
  “Jangan ceramahi aku bang. Aku tahu abang bilang kaya gini karena abang cemburu kan?”
  “Ya itu salah satu alasannya abang larang kamu buat terusin kerja begitu. Abang sayang sama kamu. Meskipun kamu nolak abang, tapi tetep rasa sayang abang gak hilang. Abang kasian aja sama kamu. Setiap malem kamu kaya gini. Paginya kamu kuliah. Berhenti kerja kaya begini Al. Udah biar uang buat biaya hidup kalian abang aja yang tanggung. Lagi pula gaji abang cukup ko buat biayain kalian sama buat dikirim ke kampung.”
  “Sebaiknya abang gak ikut campur lagi urusan Al. Maaf Al capek, Al mau pulang”
Aku melepas pelukannya dengan paksa dan berlari menuju rumah.
*****
Rumah kecil peninggalan orang tuaku ini sudah tak layak huni sebenarnya. Atap yang sudah mulai bocor dimana-mana. Dinding yang retak dengan penuh coretan spidol dimana-mana. Terdapat dua kamar di rumahku. Kamar pertama awalnya ditempati oleh ibuku. Namun sekarang aku yang menempatinya. Kamar kedua diisi oleh kedua adikku sekarang.
            Ketika aku masuk rumah, kedua adikku sedang menonton tv. Mereka tengah menyantap kudapan anak-anak yang tersedia di warung depan rumahku.
  “Kaka sudah pulang, bagaimana kak? Apakah besok kaka sudah bisa membayar uang sekolah Rini?”
Adikku yang SMP itu membawa tasku.
  “Tenang saja, kaka sudah dapat uangnya. Besok langsung kamu bayarkan saja ya”
Adikku Wildan mengambilkan segelas air minum dari dapur. Tangan mungilnya mnyodorkan gelas itu sambil berkata “ini kak Al”
Aku menerimanya sambil tersenyum, dia menggelayut di dadaku.
  “Kalian ko belum tidur? Ini udah malem loh”
  “Rini nunggu kaka pulang, takutnya kan nanti Rini gak bangun kalau kaka udah nyampe rumah.”
  “Maaf ya buat kamu nunggu, udah kamu tidur sekarang. Besok kamu sekolah jam setengah tujuh kan”
  “Ya sudah kak, Rini tidur duluan ya?”
  “Kak Al, Wildan mau tidur sama kaka malem ini boleh?”
Aku langsung saja menggendong dirinya. Menuju kamarku. Aku senang melihat mereka gembira. Smeoga aku bisa terus membuat mereka bahagia seperti ini.
*****
            Aku bangun pada keesokan harinya dengan semangat yang baru. Adik-adikku sudah siap dengan seragam sekolahnya. Wildan terus saja mengoceh tentang acara lomba mewarnainya hari ini disela-sela sarapan. Aku dan Rini hanya menanggapinya dengan senyuman dan kata-kata penyemangat untuknya.
  “Oh iya Rin, ini uang untuk bayar sekolahmu” aku mengeluarkan amplop coklat berisikan sejumlah uang untuk ia bayarkan.
  “Makasih ya kak”
  “iya sama-sama. Ayo dimakan lagi sarapannya”
Kami melanjutkan kembali sarapan kami. Tak berapa lama dari itu, aku mendengar suara pintu depan diketuk. Wildan tanpa di perintahkan keluar dari ruang makan dan berlari kecil untuk melihat siapa yang datang. Sesaat kemudian ia kembali dengan Sena. Ia sudah rapi dengan baju PNS coklatnya. Rapi dan wangi, rambutnya mengkilap dan disisir rapi. Tidak seperti penampilan kesehariannya yang tergolong berantakan.
  “Sudah makan bang?” tanya adikku Rini.
  “Sudah tadi, ini abang bawakan roti kecil buat bekal kalian sekolah”
  “Asyik.. bang Sena bawakan roti enak lagi” teriak Wildan.
  “Biar kak Al pindahkan rotinya ke kotak bekal kalian ya”
  “Gak apa-apa kak, biar Rini aja” Rini berlalu meninggalkan kami bertiga.
Author P.O.V
            Kedua adiknya sudah pergi. Itulah kegiatan keluarga Al setiap harinya. Kini di rumah hanya tinggal Sena saja dengannya. Mereka sedang duduk berdua di beranda rumah. Al sedang menalikan sepatunya, ia ada kuliah pagi hari ini.
  “Kamu pulang jam berapa nanti?” tanya Sena sambil menatap dirinya di kaca jendela.
  “Jam empat sore bang. Ada urusan di kampus”
  “Nanti sore mau abang jemput?”
  “Gak usah bang, udah ada yang jemput”
  “Siapa kali ini yang jemput kamu?”
  “Abang gak usah tau. Aku udah nih, abang mau berangkat sekarang?”
Sena menghembuskan nafasnya. Cukup sebal dengan pengalihan pembicaraan mereka. Namun tanpa berbicara apalagi, Sena menyalakan motornya. Al mengikutinya dari belakang dan naik di jok belakang motor Sena.
  “Nih pakai helmnya dulu”
Sena memasangkan helm di kepala Al dengan hati-hati. Tatapan mereka sempat bertemu cukup lama.
  “Pegangan ya, abang bakalan sedikit ngebut”

Dengan sedikit ragu, Al melingkarkan tangannya di pinggang Sena.

MAAF BILA ADA KESAMAAN NAMA, TEMPAT, ATAUPUN KEJADIAN YANG DIALAMI PARA PEMBACA. CERITA INI HANYALAH KARANGAN FIKTIF BELAKA. MAAF APABILA MENEMUKAN KESALAHAN DALAM PENULISAN.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CINTA SEGI EMPAT ( CHAPTER 15 )

I JUST LOVE YOU ( TWO SHOOT )

KARAM (Kama & Rama) #Bagian1