PARADISE LOVE (CHAPTER 3)



Arno merungkut, menghangatkan badannya sebisa mungkin. Suara AC meraung dan menggema di ruangan kamar berukuran 3x4 ini. Ghifari merasa terusik dengan gerak tubuh Arno yang semakin mendekat ke tubuhnya. Akhirnya dengan terpaksa, meskipun masih mengantuk ia bangun. Matanya yang menyipit melihat selimut yang menutupi tubuh Arno tersingkap.
  “ Dasar gak bisa diem “
Kata Ghifari sambil tersenyum geli. Ia menarik selimutnya dan menutupi tubuh Arno.
          Matahari nampak malu pagi ini, awan hitam menutupi sebagian tubuh sang raja siang itu. Angin yang berhembus pagi ini cukup kencang yang membuat bulukuduk siapapun berdiri.
Wingky bersama keluarga kecilnya tengah bersiap-siap di meja makan. Zizi sudah mengenakan seragam sekolahnya dan sedang melahap rotinya saat ini. Lia dengan cekatan menyuapi Adam bubur. Wingky menengokkan tubuhnya, menurunkan kacamatanya dan tersenyum pada Ghifari.
  “ Baju kamu kemana Ghif? Gak kedinginan kamu? “
  “ Semalem gerah om, Pagi Zizi.. “
Ghifari mengusap lembut rambut Zizi yang di kuncir kuda, lucu sekali.
  “ Pagi Om, om ganteng ya kalau abis bangun tidur. “
  “ kamu bisa aja “
Dengan gemas Ghifari mencubit pipi Zizi.
  “ emang ayah kalau abis bangun tidur gak cakep ya? Jadi ayah jelek nih? “
  “ Enggak.. bukan gitu ayah, ayah tetep cakep ko. Kata temen-temen Zizi di sekolah ayah mirip artis. Eh ayah, di sekolah yang ayahnya cakep Cuma Zizi doang tau. Zizi sayang sama ayah “
  “ ciiee yang sayang sama yah, sama bunda enggak? “
  “ Zizi juga sayang bunda sama dek Adam. Pokoknya Zizi sayang semuanya. Termasuk Om Arno sama Om Ghifari “
Semuanya tersenyum lalu kembali melakukan aktivitas pagi mereka.
          Arno yang masih di kamar akhirnya mulai tersadar dari tidurnya. Ia terbangun, rambutnya tidak karuan. Seperti layaknya rambut seorang penyanyi rok. Ia melihat dirinya di cermin, tersenyum geli melihat penampilannya. Dengan tangan-tangan mungilnya ia rapikan rambut hitamnya itu. Ia beranjak dari kasurnya, meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku. Lalu dia melakukan push up, sit up, back up, seperti biasanya. Dengan melakukan olahraga kecil itu ia mendapatkan tubuh yang lebih baik, kebiasaan ini ia tiru dari Ghifari.
          Setiap hari selain pergi olahraga di pusat kebugaran ia juga selalu melakukannya. Ghifari selalu melakukan itu semua karena dia tidak mau perutnya yang ramping itu menjadi gemuk.
Selesai melakukannya Arno pergi menuju kamar mandi utuk menggosok gigi dan mencuci muka. Setelah rapi ia keluar kamar untuk menyapa yang lainnya.
          Di luar sana semuanya telah selesai sarapan, Wingky sudah berada di beranda rumah dan sedang mengikat tali sepatunya. Zizi sudah masuk ke dalam mobil. Ghifari sedang mengurusi Adam di ruang keluarga dan Lia masih berkutat dengan piring-piring cucian.
  “ pagi mba.. “
  “ adik mba udah bangun. Nyenyak tidurnya? “
  “ hehehe.. nyenyak mba, Cuma dingin banget. Di luar kayanya mau hujan ya “
  “ Iya tuh, dari tadi subuh udah hujan tapi berhenti lagi. Biasa lah “
  “ bang Wingky sama anak-anak kemana? “
  “ bang Wingky kayanya masih di luar, lagi manasin mobil. Zizi juga udah di luar. Kalau Adam lagi di asuh sama Ghifari tuh “
  “ oh gitu, mba Arno bantu ya? “
  “ eeiihh jangan, mba bisa ngerjain semuanya sendiri ko “
  “ gak apa-apa Arno bantu, sini mba “
Lia menyerah dan memperbolehkan adik semata wayangnya itu membantu. Mereka bercengkrama bersama di dapur, menceritakan kisah-kisah mereka dulu saat masih tinggal bersama ibunya di kampung. Terkadang saat membicarakan ibunya, kedua kaka beradik itu mulai meneteskan air mata.
  “ Andai saja ibu masih ada ya mba, Ibu pasti bakalan seneng. Apa yang ibu inginkan pasti bisa dikabulkan “
  “ Udah jangan berandai-andai gitu No, percaya aja akalau ibu udah bahagia sekarang “
Arno mengangguk lalu mereka saling berangkulan dan kembali mengerjakan pekerjaan dapur.
*****
          Kami berdua telah kembali mengembara di jalanan beraspal. Menjalankan kendaraan beroda empat menuju sebuah tempat yang akan mengingatkanku kembali akan masa lalu. Masa-masa dimana aku menghabiskan waktu sepanjang hari bersama teman-temanku bermain di pematang sawah dan lapangan bertanah merah.
          Aku dan Ghifari tak sempat menunggu bang Wingky pulang saat akan pergi. Tadi kami pergi tepat pukul satu dan hanya menitipkan salam kepada mba Lia untuk bang Wingky. Sebenarnya mba Lia menahanku untuk pergi, tapi hasratku untuk mengunjungi kampung halaman sudah tidak bisa dibendung lagi.
Kami sudah menjalani setengah perjalanan menuju kampung halamanku. Aku ingin bertemu bersama tetangga-tetanggaku dulu, bahkan mungkin jika bisa aku ingin bertemu dengan teman masa laluku. Selama perjalanan, Ghifari tak henti-hentinya mengoceh karena jalanan yang kami lewati sangat rusak. Ia menyalahkan pihak pemerintah yang kurang tanggap dalam mengatasi hal ini. Aku hanya mendengarkannya saja, dan dia selalu menegurku jika aku hanya menanggapinya dengan kata iya saja.
  “ ko kamu jawabnya gitu sih No? Kamu bosen ya denger ocehan kaka? “
  “ Enggak, bukan gitu. Arno Cuma bingung harus jawab apa? “
  “ tapi ya jangan nanggepin kaka secuek itu dong. Jawab apa ke, kamu gak seru nih “
Aku diamkan dia, biarkan saja dia mengoceh.
  “ Arno, kamu gak denger kaka ya? Kalau kaka lagi ngomong tuh dengerindong “
Satu kecupan kuberikan padanya di pipi, ia berhenti mengoceh dan malah tersenyum sambil menyetir.
  “ ko kamu cium kaka? “
  “ supaya kaka berhenti ngoceh. Semenjak lewatin jalanan jelek amarah kaka jadi memuncak terus “
Ia tertawa lalu mengacak-acak rambutku.
  “ maaf ya “
Katanya sambil melajukan kembali mobilnya.
          Matahari hanya tinggal setengah ketika kami tiba di jalanan desa yang lebar. Tak jauh berbeda dari yang dulu, namun saat ini sudah banyak rumah-rumah yang mewah. Tidak seperti dulu yang hanya rumah-rumah panggung dengan dinding terbuat dari bilik kayu. Ghifari memarkirkan mobil di garasi. Rumah ini hanya mengalami perubahan di beberapa tempat. Seperti garasi ini, tiga tahun yang lalu tetangga sebelah kami menjual rumahnya dan mba Lia membelinya lalu membangun sebuah garasi untuk menyimpan mobil jika pulang kampung.
          Selama aku dan kakaku pindah, rumah ini di urus oleh saudara jauh dari pihak ibuku. Namanya kang Nano, usianya sama seperti bang Wingky. Dia cucu dari adik nenekku. Kang Nano adalah seorang duda yang mati ditinggal istrinya. Dia tidak memiliki anak karena pada saat ditinggal oleh istrinya usia pernikahan mereka baru seumur jagung. Istrinya menderita penyakit kanker payudara dan penyakit itulah yang akhirnya merenggut nyawa sang istri.
  “ Arno, euleuuhh kenapa tidak bilang sama akang kalau kamu teh mau pulang? Kan kang Nano bisa beres-beres rumah dulu. “
  “ Iya nih kang, Arno ngedadak kesini. Mumpung ada sisa dua hari libur ya Arno kesini. Udah kangen udara seger disini kang “
  “ Eh sama kang Ghifari juga? Damang atuh kang? “
Ghifari menyalami kang Nano sambil tersenyum dan mengangguk.
  “ saya baik kang? “
  “ Sukur atuh sukur kalau kalian berdua teh kabarnya baik. Cuma berdua saja? Pacarnya kemana? “
Kami berdua saling berpandangan, Ghifari mengangkat satu alis matanya kepadaku. Aku tersenyum lalu menggelengkan kepala padanya.
  “ Arno belum punya pacar kang. Kalau Ghifari pacarnya kan di belanda. Lagi banyak urusan disana, jadi pacarnya Ghifari gak bisa dibawa kesini “
  “ oh begitu, eeuuhh padahal akang teh pengen ngeliat bule. Pacarnya kang Ghifari pasti cantik “
Ghifari hanya memberikan senyuman lalu mengangguk pada kang Nano.
  “ Ya sudah, kang Nano ambilkan barang-barang di mobil ya. Arno sama kang Ghifari masuk saja dulu “
Kang nano pergi begiitu saja mengambil barang-barang kami. Ghifari menuntunku menuju rumah dengan sedikit kasar.
  “ iihh kenapa sih? “
Kataku sambil berbisik.
  “ ko kamu bilang tadi kalau aku punya pacar di Belanda sih? Kamu kan pacar sekaligus istri kaka No “
  “ ssssttt...!! “
Aku menempelkan telunjukku di bibir.
  “ yak! Kaka tuh bodonya gak pernah ilang. Kalau kita bilang kita pacaran dan udah nikah sama kang Nano yang ada nanti dia kaget. Emangnya ini di Belanda? “
Ghifari hanya menggarukkan kepalanya sambil tersenyum bodoh.
          Malam itu menjadi malam yang panjang bagi kami bertiga. Ditemani dengan dua cangkir kopi hitam dan secangkir kopi susu. Tak lupa kacang rebus dan gorengan yang dibeli kang Nano di tetangga sebelah juga menggoyang lidah kami bertiga. Kang Nano menceritakan semua hal yang terjadi di kampungku selama aku tak ada disini. Mulai dari meninggalnya tokoh-tokoh kampung, menikahnya seseorang dengan seseorang, bahkan sampai kasus penculikan yang terjadi beberapa hari yang lalu.
  “ eh Arno, Si Herman temen SMP kamu dulu masih ingat tidak? “
  “ Herman? Tunggu.. ohh iya iya. Yang ganteng itu ya kang? Yang idungnya mancung anaknya ibu Icah? “
  “ iya itu, sekarang teh dia jadi bencong “
  “ Ah Bencong? Apaan itu mang? “
Tanya Ghifariku sambil berkutat dengan kacang kulitnya.
  “ Banci, cowok jadi perempuan gitu Kang Ghifari. Euh atuh dia teh buat gehger kampung ini. Pulang-pulang dari Batam tiba-tiba jadi perempuan. Cantik sih memang, akang juga kalau tau dia asalnya bukan laki-laki mau sama dia. “
  “ terus kenapa gak dipacarin aja atuh kang? Kan dia udah jadi perempuan “
Celetuk Ghifari sambil mengambil kacang kulit yang lain.
  “ Dia gak sepenuhnya jadi perempuan kang Ghifari, kata para pemuda yang ngintip si Herman lagi mandi, dia teh masih punya burung. Masa saya harus pacaran sama sejenis? Ntar adu pedang. “
Kang Nano tertawa dengan keras, Aku dan Ghifari saling berpandangan. Terlihat dari wajahnya ia menahan senyum lalu mengedipkan satu matanya dengan nakal padaku.
  “ Ah kang nano mah bisa aja, ya udah atuh kang cari yang lain saja. Akang punya inceran kan buat dijadiin istri “
  “ ah masalah itu mah akang teh sebernya lagi proses no. Akang lagi deket sama janda anak satu. Namanya Pitri, penjual jamu keliling yang suka lewat depan rumah. Orangnya teh cantik pisan, baik juga dan yang paling yahut teh dadanya. Akang mah suka melotot kalau lagi ngobrol sama si Pitri “
  “ ihh si akang, terus respon si Pitri nya gimana sama akang? “
  “ alhamdulullah baik No, Akang juga sering sms sama teleponan sama si Pitri. Doakan saja ya No semoga akang teh bisa ngawinin si Pitri “
  “ aammiinn kang, di doain sama Arno “
Perbincangan itu semakin berlanjut hingga larut malam. Akhirnya aku yang lebih dahulu menyerah. Aku pergi ke kamarku untuk tidur, sedangkan Ghifari masih tetap kuat mengobrol dengan kang Nano di ruang tengah.



MAAF BILA ADA KESAMAAN NAMA, TOKOH, TEMPAT, ATAUPUN KEJADIAN YANG PERNAH DIALAMI PARA PEMBACA. CERITA INI HANYALAH KARANGAN FIKTIF BELAKA. HARAP MAKLUM APABILA ADA KESALAHAN DALAM PENULISAN (TYPO)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CINTA SEGI EMPAT ( CHAPTER 15 )

I JUST LOVE YOU ( TWO SHOOT )

KARAM (Kama & Rama) #Bagian1