Mr.Cinderella (Bagian2)


Hujan turun dengan deras ketika aku meletakkan vas bunga di atas meja guru. Akhirnya selesai sudah pekerjaanku bertugas menjadi regu piket. Sebenarnya menurutku ini tak pantas disebut regu piket, karena aku bekerja sendirian. Ya tadi memang ada Amel yang membantuku, meskipun hanya menggeser-geserkan kursi saja untuk menjadi rapi kembali.
            Hari ini ayahku pulang, aku sudah tak sabar untuk datang ke rumah dan memeluknya erat. Rasanya sudah lama sekali aku tak bertatap muka dengan pahlawanku itu.
Aku berjalan menuruni anak tangga sambil mengubrak-abrik isi tas ku. Mencari payung kecil yang selalu aku bawa. Payung satu-satunya pemberian dari ibuku. Sedari dulu aku tak suka dengan hujan. Menurutku hujan selalu membawa kesedihan. Jujur saja, ketika hati kalaian sedang galau dan turun hujan maka kegalauan kalian akan semakin bertambah kan? Jangan berbohong padaku, karena aku tahu itu.
            Setelah mendapatkannya, aku segera membukanya. Namun pergerakan tanganku terhenti ketika aku melihat seseorang yang sedang berdiri termenung tepat di hadapanku. Sosok itu berdiri tegap, mengenakan jaket berbahan levis yang sudah tak asing di mataku. Itu pasti Dimas, anak yang kemarin aku selamatkan dari insiden replika pohon tumbang. Aku mencoba mendekatkan diri, berdiri di sampingnya. Memperlambat gerak tanganku membuka payung.
            Semua lorong sudah sepi. Seolah-olah nyawa lorong itu tercabut bersamaan dengan langkah para siswa yang pergi ke rumah masing-masing. Biasanya di jam-jam ini banyak sekali anak-anak yang melakukan ektrakurikuler di lapangan. Seperti misalnya footsal atau basket. Namun hari ini tak ada satu orangpun terlihat berlarian di lapangan.
  “ Belum pulang kak Dimas? “
Dimas tak menjawab, bahkan memandangku saja tidak. Tatapannya masih tertuju ke arah sang hujan yang semakin deras.
  “ Kak Dimas? “
Akhirnya dia menoleh ke arahku, namun ia memberikan tatapan yang tak bersahabat.
  “ Apa? “
  “ Belum pulang? “
  “ Ya lo liat sendiri kan gue masih berdiri disini? Ya berarti gue belum pulang. Oon banget si lo. Lagian lo gak liat apa kalau ini lagi hujan. Parkiran jauh tau, gue gak mau kebasahan “
  “ Aku bawa payung kak, mau bareng? Aku bisa anterin kaka pake payung sampe parkiran kalau mau “
  “ Kagak usah, gue gak mau jalan bareng sama anak ingusan yang tempo hari ngotorin baju gue “
  “ oh ya udah “
Aku berjalan meninggalkannya, ketika baru saja beberapa langkah suara petir datang dengan gemuruh yang kencang. Lalu aku mendengar Dimas berteriak.
  “ Tunggu-tunggu, gue ikut lo “
Aku berbalik dan memberikan senyum.
  “ Yakin? “
  “ Iya ah bawel lo “
Aku tertawa geli, namun tak terlalu lama. Aku takut ia nanti menyemprotku dengan kubangan air lewat roda-roda mobilnya. Akhirnya kami jalan berdua melewati lapangan. Beratapkan payung milikku yang sedang diguyur hujan.
Karena payungku berukuran kecil, jadi Dimas harus berdekatan denganku. Mau tak mau, lengan kami saling bergesekan satu smaa lain. Aku baru menyadari bahwa dimas lebih tinggi dariku. Mungkin tinggnya sekitar seratus delapan puluh lima sentimeter. Sedangkan tinggiku hanya seratus tujuh puluh tujuh.
  “ Lo pake parfum anggur? “
  “ iya, kenapa? “
  “ enggak “
Dia kembali lagi menatap kedepan dengan tatapan dinginnya. Akhirnya kami tiba di depan mobil Dimas yang terparkir rapi. Tak ada kendaraan lain disana, hanya mobil milik Dimas saja yang ada. Dimas masuk kedalam mobilnya, menutup pintu dengan kasar. Meninggalkanku tanpa berterima kasih sedikitpun. Aku diam mematung, memandangi kaca mobilnya. Perlahan-lahan kaca mobil itu membuka, Dimas memandangku. Tatapan berubah, sedikit lebih ramah dari sebelumnya.
  “ Ngapain lo masih berdiri di situ? “
  “ Oh iya, maaf kak “
Aku berjalan lagi menjauh dari mobilnya.
  “ Woy! Mau kemana lo? “
  “ kan mau pulang kak, tadi kaka nyuruh aku minggir kan? “
  “ maksud gue cepet masuk kedalem mobil, dasar dungu. Sebagai ucapan terima kasih gue anter lo pulang “
Aku berusaha menyembunyikan rasa senangku, ingin rasanya aku melempar payung dan berlari bersama hujan. Menari-nari di tengah lapangan terbuka seperti para aktor India yang sedang jatuh cinta dalam film yang dimainkannya.
  “ Malah bengong lo. Cepet masuk! “
  “ Eh.. iya-iya “
Aku berlari, membiarkan sepatuku basah terkena genangan air. Sepatuku bisa dikeringkan secara cepat dengan bantuan hairdryer milik Diva nanti.
            Mobilnya rapi, tak ada kotoran sedikitpun. Rasanya aku jadi tak enak menginjakkan kakiku yang penuh lumpur ini di lantai mobilnya. Dimas menutup semua jendela mobilnya dan mulai menyalakan AC.
  “ Kak, bisa gak kalau AC nya gak dinyalain? Diluar kan hujan, kalau pake AC nanti nambah dingin “
 “ Katro banget sih lo “ ejeknya sambil mematika Ac mobil.
Dimas menyalakan music player mobilnya, lagu classic dengan judul “Winter Sonata“ karya Bethoven mengalun dengan indah. Awalnya aku kira orang seperti Dimas akan suka dengan lagu-lagu keras seperti aliran musik rock.
  “ Suka lagu klasik ya kak? “
  “ hhmm.. semua keluarga gue suka musik klasik. Ya gue juga jadi kebawa-bawa suka musik klasik “
Aku menganggukkan kepala sambil mengalihkan pandanganku ke luar. Menatap sang hujan yang masih betah membasahi bumi.
  “ Rumah lo dimana ?”
  “ Di komplek kenanga indah Kak, nomor tiga puluh empat “
  “ Kita satu kompek berarti. Rumah gue nomor empat puluh dua “ katanya lagi sambil sesekali memandangku.
  “ Eh tunggu, bukannya itu rumahnya Diva sama Devi ya? Lo siapanya mereka? “
  “ Aku adik tirinya mereka kak “
  “ loh, kok gue baru tau ya mereka punya dik tiri? Jadi lo anak dari pihak mana? Ayah? Ibu? “
  “ Ayahku nikah sama ibu dari Diva dan Devi “
  “ Oh gitu, jadi dulu lo anak tunggal? Ibu lo meninggal kenapa? “
Aku terdiam sejenak. Jika ditanya seperti itu hatiku sedikit terbawa emosi. Selalu teringat bayangan akan ibuku.
  “ Pertanyaan gue bikin lo inget ibu lo? Sorry deh, gak ada maksud bikin lo mewek “
  “ gak apa-apa “
Setelah itu, tak ada pertanyaan lain yang ia lontarkan. Ia pun berhenti berbicara, begitupun dengan aku. Kami berdua pulang, menembus hujan tanpa ada kalimat yang melayang dari lisan kami berdua.

            Kami tiba di kediamanku, dari dalam mobil Dimas aku bisa melihat mobil ayah sudah terparkir di garasi. Hatiku meletup-letup ingin segera berjumpa dengannya. Aku turun dari mobil Dimas, setelah mengucapkan terimakasih ia pergi tanpa berkata apapun lagi. Pintu gerbang tidak terkunci seperti biasanya. Aku masuk dengan terburu-buru, ketika aku melangkahkan kaki, aku melihat ayah sedang duduk bersantai dengan cangkir kopi di tangannya.
  “ Ayah..? “
Ayah menoleh ke arahku, senyumannya yang menyejukkan hati mengobati rasa rinduku. Aku berlari dan memeluknya. Ia memblas pelukanku dengan hangat, tangannya yang besar mengelus kepalaku dengan penuh kasih sayang. Aku memeluknya penuh rasa rindu, sampai aku tak menyadari ada setets air mata yang jatuh membasahi pipi.
  “ Anak ayah ko nangis? Jagoannya ayah ko cengeng sih? Kenapa kamu? “
  “ gak apa-apa ayah, Ayah kapan datang? “
  “ tadi jam dua siang, kamu kok pulangnya telat sih? Kakak-kakak kamu udah pulang dari tadi loh “
  “ Dante abis piket kerlas dulu ayah, tadi juga kejebak hujan. Untung ada temen Dante yang pulangnya satu arah. Jadi ya Dante pulang bareng dia. “
Pandangan kami berdua teralihkan ketika ibu tiriku datang menghampiri. Pertunjukan sandiwaranya telah dimulai. Aku melihat senyuman manis palsu di wajahnya. Aku benci jika dia sedang seperti ini. Dasar penjahat bermuka seribu.
  “ Sayang, masuk yuk. Kamu baru pulang kan, pasti capek. Mama udah masakin makanan kesukaan kamu sama ayah. Ayok kita makan dulu “
Dengan terpaksa aku harus tersenyum kepadanya. Bukan hanya itu, aku juga membiarkan tangan sialannya itu mengelus-elus puncak kepalaku.
            Pada saat jam makan tiba, aku hanya terdiam. Tak ingin banyak bicara. Aku terlalu muak dengan sandiwara yang dipertunjukkan oleh ibu dan kedua kaka tiriku. Diva dan Devi sepertinya tengah mencoba mengambil perhatian ayah dariku. Setiap ayah melontarkan pertanyaan untukku pasti Diva dan Devi menyela nya. Mereka mengalihkan perhatian ayahku dengan kisah cinta mereka di SMA. Membicarakan masalah baju dan perhiasan baru yang pada akhirnya mereka merengek minta dibelikan yang baru.
  “ Nanti ayah belikan Diva dan Devi handphone baru ya. Kamu juga mau Dante? Ayah akan belikan apa saja untuk kamu “
  “ Gak usah ayah, handphone Dante yang dipake ini masih bagus ko “
  “ Ayah.. Diva maunya handphone yang keluaran baru ya. Soalnya temen-temen Diva udah pake “ Sela kaka tiriku yang paling tua.
  “ Iya Ayah, Devi juga “
  “ Iya iya.. nanti ayah belikan buat kalian “
Aku hanya bisa tersenyum getir. Kedua iblis itu akhirnya mendapatkan apa yang mereka mau. Ingin rasanya aku menjambak kedua rambut mereka, tapi apa daya. Ayah pasti akan langsung memarahiku jika aku melakukannya.
            Aku segera menghabiskan hidanganku dan cepat-cepat pergi ke kamar. Menjauh dari segala kebohongan yang diciptakan oleh ibu dan kedua kakak tiriku. Sepanjang sisa hari itu aku habiskan di dalam kamar. Bergulingan di kasur seperti orang kesetanan yang sedang disembuhkan oleh paranormal.
Hujan mulai deras kembali, setiap bunyi dari rintik-rintiknya itu perlahan-lahan mulai mengingatkanku pada Dimas. Sekilas aku melihat senyumannya yang indah ketika di dalam mobil tadi. Ia tersenyum ketika aku memainkan manekin anjing di dashboard mibilnya. Senyumnya hanya sekejap mata, namun aku merasakan getarannya hingga saat ini.
            Aku jadi berpikir bagaimana ekspresinya jika ia tahu bahwa wanita yang di pujanya, wanita yang meolongnya tempo hari itu adalah aku. Apakah ia akan terkejut lalu menyesal karena telah mencintai orang yang salah. Atau ia akan menerimaku, tapi sepertinya kemungkinan yang kedua tidak akan terjadi. Mustahil rasanya jika Dimas, siswa kaya dan terkenal playboy itu mencintai diriku. Seorang lelaki yang memiliki nasib malang.
            Suara engsel pintu kamarku terdengar. Ayah masuk ke kamarku dengan piyama lengkapnya. Ia membawa guling ekstra dalam dekapannya.
  “ Ayah boleh masuk? “
  “ boleh lah Ayah, masa Dante ngelarang ayah masuk kamar Dante sih “
Ayah tersenyum lagi kepadaku, lalu berjalan ke arah kasurku dan membaringkan tubuhnya di sampingku.
  “ Tadi pas di meja makan, ayah merasa ada sesuatu hal yang beda sama kamu. Kenapa? Kamu mau cerita sama ayah? “
  “ ah gak ada yang beda ko, itu perasaan ayah aja kali. Aku baik-baik aja ko ayah “
  “ Tapi ayah merasa janggal sayang, cerita aja. Ibu sama kedua kakak tirimu itu selalu berbuat hal yang gak pantes ke kamu ya? “
Aku terdiam sejenak. Mempertimbangkan sesuatu, apakah aku harus jujur padanya? Apakah ini waktunya aku mengutarakan semuanya.
  “ Enggak ko ayah, mereka baik sama Dante “
Aku terpaksa harus berbohong lagi. Tetapi ayahku tiba-tiba mengeluarkan handphone nya dari saku celana. Ia memperlihatkanku sesuatu. Sebuah rekaman cctv yang memperlihatkan aku sedang menggosok kedua sepatu milik Diva dan Devil. Lalu ayah mengarahkan kembali ke video lain. Video selanjutnya menggambarkan ketika aku dimarahi si nenek sihir karena lupa menyetrika baju. Ayahku kembali memperlihatkan video lain. Yang terakhir, ayah memperlihatkan aku video ketika mama memecahkan foto ibu kandungku.
  “ Kamu gak usah berbohong sama ayah. Ayah tahu semuanya “
  “ Tapi.., gimana ayah bisa tau ini semua. Kenapa ayah punya rekaman itu? “
  “ Bulan lalu ayah pasang cctv di semua penjuru ruangan tanpa sepengetahuan ibu kamu. Ayah pasang di sudut-sudut yang gak akan pernah diketahui ibu dan kedua kaka tiri kamu sayang. Maafkan ayah karena udah buat kamu susah “
Ayah memelukku dengan erat. Tangisku mulai pecah seketika. Aku memeluk erat ayahku dengan isakan tangis yang tak bisa kuhentikan.
  “ Sebenernya aku pengen bilang ini ke ayah dari dulu. Tapi aku pikir ayah gak akan percaya sama aku. Aku juga kasian sama ayah. “
  “ Kamu emang anak yang baik. Ayah bersyukur punya anak yang sebaik kamu Dante. Ayah janji, ayah akan segera melepaskan kamu dari belenggu mereka “
  “ Maksud ayah? Ayah mau ceraikan mama? “
  “ Ayah akan segera melakukannya Nak, Ayah rasa lebih baik ayah menyendiri tanpa seorang istri daripada anak semata wayang ayah menderita “
  “ Tapi ayah.. “
  “ Sudahlah, tenang saja. Ayah akan baik-baik saja. Kamu juga akan baik-baik saja, kita bicarakan ini lagi nanti. Sekarang kita tidur saja. Anak pinter ayah besok masih sekolah kan “

Ayah menyelimuti tubuhku, sebelum terlelap ia mencium keningku seperti dulu saat ibu kandungku masih ada. Senang rasanya diperlakukan seperti ini. Ayahku memang benar-benar ayah yang pengertian. Semoga saja tuhan tidak memisahkan aku dengan ayah  secara cepat.

MAAF BILA ADA KESAMAAN NAMA, TEMPAT, ATAUPUN KEJADIAN YANG DIALAMI PARA PEMBACA. CERITA INI HANYALAH KARANGAN FIKTIF BELAKA. MAAF APABILA MENEMUKAN KESALAHAN DALAM PENULISAN.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CINTA SEGI EMPAT ( CHAPTER 15 )

I JUST LOVE YOU ( TWO SHOOT )

KARAM (Kama & Rama) #Bagian1