Mr.Cinderella (Bagian 1)
Halo semuanya, bagaimana kabar kalian? Aku harap kalian selalu ada dalam keadaan baik. Maafkan aku karena lama menghilang, aku juga lupa untuk mengatakan “Minal aidzin walfaidzin” kepada kalian semua. Mohon maaf lahir batin my lovely readers.Okay, kali ini aku kembali dengan sebuah cerita. Cerita yang mudah-mudah bisa membuat kalian tertarik untuk duduk sekejap, menikmatinya dengan secangkir teh dan biskuit. Pada awalnya cerita ini terinspirasi ketika aku mendengarkan alunan musik klasik karya Bethoven di dalam mobil bersama kakak sepupuku. Ya, kaka sepupu yang memberikanku inspirasi atas tokoh “Bang Wingky” (Baca cerita CINTA SEGI EMPAT, SIAPA YANG HARUS AKU PILIH, dan PARADISE LOVE).
Selain itu, salah satu tokoh utama disini juga terinspirasi dari teman dekatku (benarkah? Apa ini hanya perasaanku saja? Jangan GR deh mr.Jones). Dia pasti sedang duduk atau terbaring ketika membaca cerita ini. Atau mungkin berada di luar rumah karena sedang hang out bersma teman-temannya. Bisa juga ia membaca kisah ini ketika melakukan gerakan yoga hahaha...Yah, semoga kau dan semua pembaca blog yang aku cintai bisa menikmati cerita ini. Maaf bila ceritanya sedikit murahan. Aku cinta kalian semua pembaca blogku! :*
*****
Mengilapkan sepatu-sepatu kakak
tiriku sudah menjadi rutinitas setiap hari. Sebelum berangkat sekolah aku harus
duduk terlebih dahulu untuk menggosok sepatu-sepatu yang tergeletak begitu saja
di depan pintu rumah.
Hidupku
seperti layaknya Cinderella. Kalian tahu kan siapa dia? Wanita cantik yang
terpaksa menjalani nasib buruk untuk tinggal bersama Ibu tiri dan kedua kaka
tirinya. Kehidupan yang dialaminya sama persis dengan apa yang aku alami. Bisa
dikatakan aku adalah Cinderella berkelamin pria dari dunia nyata.
Namaku
Juno Dante Nevada, keren kan? Nama ini adalah pemberian dari ayah dan ibuku.
Ibuku Saraswati dan ayahku Herman adalah seorang dosen bahasa Latin. Jadi
mereka mengambil namaku dari bahasa latin juga, arti dari namaku sendiri adalah
surga abadi yang diliputi oleh salju. Aneh sih memang. Tapi bagi mereka aku ini
memang seperti surga indah yang dipenuhi banyak salju. Surga yang di
idam-idamkan setiap pasangan suami istri ketika mereka menikah.
Ibuku meninggal ketika aku berusia
lima tahun. Wanita lemah lembut yang kusayangi itu meninggal dalam sebuah
kecelakaan bus. Aku dan ayahku harus merelakannya pergi. Ayahku cukup lama
menyendiri, hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang wanita yang bernama Meri.
Setelah dua tahun berkenalan akhirnya ayahku memutuskan untuk menikahinya, dan
setelah itu dia resmi menjadi istri dari ayahku dan juga ibu tiri bagiku. Meri
memiliki dua anak kembar yang identik. Itulah Diva dan Devi kakak tiriku. Diva
dan Devi memiliki umur satu tahun lebih tua dariku. Mereka memiliki paras yang
cantik khas wanita Istanbul. Entah dari mana mereka mendapatkan wajah seperti
itu. Mungkin saja ayahnya yang dulu memiliki garis keturunan dari Turki.
Pada awalnya ketika ayah masih
tinggal bersama kami, sikap Meri dan kedua anaknya sangat baik kepadaku. Meri
menyayangiku seperti layaknya ia meyayangi Diva dan Devi. Tetapi ketika ayah
berpindah tempat untuk mengajar di kampus lain yang berada di luar kota, mereka berubah. Ayah pulang selama satu bulan
sekali, dan pada saat ayah pulanglah Meri akan bersikap baik terhadapku begitu
juga dengan kedua anaknya. Tapi ketika Ayah kembali pergi, mereka akan bersikap
seenaknya kepadaku. Seperti saat ini misalnya, menyuruhku untuk mengilapkan
sepatu milik Diva dan Devi.
“ Dante, udah belum sih lo semir sepatu kita?
Enggak liat apa kalau waktu udah hampir jam tujuh? “
Gerutu
Diva sambil mengecek kembali kukunya yang kemarin baru ia cat dengan warna
merah menyala.
“ Sabar kali, tangan gue cuma ada dua, enggak
kaya laba-laba “ Tukasku dengan ketus.
“ Ngelawan lo ya, udah cepetan “ Devi memukul
kepalaku dengan sedikti kasar.
Diperlakukan
seperti itu aku merasa marah. Aku bangkit sambil melemparkan kedua pasang
sepatu yang baru ku semir ke arah kedua kakak tiriku.
“ Noh! Makan tuh sepatu. Gue berangkat
duluan. Dadah nenek sihir “
Aku
berlari menjauhi mereka, menyambar sepeda pemberian ayahku. Tak ku hiraukan
kedua ocehan marah Diva dan Devi yang mendengung seperti lebah.
Sekolahku memang tidak jauh dari
rumah. Hanya butuh waktu tujuh belas menit saja untuk sampai menggunakan
sepeda. Sebenarnya aku bisa saja ikut bersama Diva dan Devi menggunakan mobil
mewah pemberian ayah, tetapi aku ingin menghindari tatapan dan makian
menyebalkan dari mereka. Sepeda yang selalu aku gunakan ke sekolah ini adalah
pemberian ulang tahun yang ke lima belas dari ayahku. Setiap hari selalu
kugunakan, kecuali ketika ayah ada di rumah. Jika ayah sedang berada di rumah,
dengan terpaksa aku harus pergi berbarengan dengan Diva dan Devi untuk membantu
acting busuk mereka mengelabui ayah.
Aku menyimpan sepedaku di parkiran
bersamaan dengan sepeda yang lainnya. Bel tepat berbunyi ketika aku berjalan
menuju kelasku yang berada di lantai dua. Aku duduk di bangku kelas dua SMA.
Mengambil jurusan Bahasa sebagai konsentrasi belajarku. Aku memang menyukai
sastra, tetapi aku tidak pandai menciptakan sebuah sastra. Rasanya terasa kaku
ketika otakku ini diperintahkan menciptakan sebuah sajak atau cerpen. Membeku
seperti daging ayam yang disimpan dalam freezer.
Aku masuk kedalam kelas dengan suasana hati yang cukup menyenangkan.
Saat
pelajaran dimulai, aku menjalaninya dengan baik. Nilai ulangan sastra Inggrisku
mencapai score sembilan puluh lima,
dan itu nilai tertinggi di kelasku. Saat pelajaran matematika pun aku
mendapatkan kelompok yang bagus. Bergabung bersama anak-anak pintar di kelas
saat pelajaran matematikan itu seperti mendapatkan syurga bukan?
Ketika bel istirahat berbunyi,
itulah saatnya penderitaanku dimulai kembali. Diva akan mengirimkan sebuah
pesan untukku. Biasanya ia menyuruhku untuk mengantarkan jajanan di kantin ke
kelasnya. Seperti saat ini, ia menyuruhku untuk membelikannya roti dan susu
kotak. Masing-masing satu, untuknya dan untuk Devi. Mau tak mau aku harus
menurutinya. Karena jika tidak, aku akan melihat dua kaus dari lemariku akan
terbakar hangus di depan pintu kamar.
Aku pergi menuju kantin yang
letaknya ada di belakang gedung kelasku. Para siswa sudah mulai ramai berlalu-lalang
kesana kemari. Ada juga yang hanya duduk-duduk saja di depan kelasnya sambil
bernyanyi dan bermain gitar. Aku selalu memberikan senyum teramahku kepada
semua orang yang berpapasan denganku.
Setelah berdesak-desakan lama di
kantin untuk membeli susu kotak dan roti aku memutuskan untuk duduk sebentar di
meja kantin paling ujung. Ini meja makan kesukaanku. Disini biasanya hanya ada
aku sendiri. Terkadang juga ditemani dengan anak cupu kelas satu yang memakai
kacamata besar. Hari ini terasa sangat gerah, aku memesan satu mangkuk sop buah
untuk melepas dahaga. Biarkan saja Diva dan Devi menungguku di kelasnya, itu
sebagai hukuman karena telah menyuruhku seenaknya.
“ Pak, pesen sop buahnya ya satu. Kumplit loh
pak jangan lupa “
“ Siap mas! “ Pedagang sop buah itu
tersenyum. Memamerkan mulutnya yang mulai ompong. Aku berbalik menuju mejaku
lagi, tapi aku malah menabrak seseorang.
Saat aku melihat, dadaku berdegup
kencang. Aku kaget setengah mati karena orang yang aku tabrak itu Dimas. Anak
yang terkenal kaya dari kelas tiga IPA lima. Aku menelan ludahku karena takut.
Dimas itu anak berandalan. Memang sih dia tampan, tapi dia jahil dan selalu
menjahili adik-adik kelasnya.
“ Sialan lo kunyuk, kagak punya mata lo? “
“ Maaf kak maaf gak sengaja “
Mataku
terbelalak ketika melihat noda saus di baju seragam putihnya. Keringat mulai
membanjiri wajahku. Tamat sudah riwayatku.
“ Maaf-maaf, liat nih baju gue jadi kotor.
Anak kelas berapa sih lo? “
“ itu loh Mas, adik kelas kita. Anak bahasa
dia. Masa lo gak tau sih? Dia kan sering nyanyi di acara-acara sekolah, “ jelas
teman satu gengnya dengan rambut berjambul.
“ Oh gitu, eh kunyuk gue kayanya harus kasih
pelajaran sama lo “
Dia
menyeretku menuju salah satu meja di kantin. Semua orang memandangiku dengan
tatapan iba, ada juga yang tersenyum melihatku akan mendapatkan hukuman dari
Dimas.
Ia mendorongku untuk duduk di meja
tempat gengnya berkumpul. Semua teman-temannya mengerubungiku. Dimas memberikan
senyum jahatnya padaku. Lalu sekejap kemudian aku merasakan air dingin
mengguyur tubuhku. Dimas menumpahkan satu gelas es jeruk di atas kepalaku. Aku
sempat kesulitan bernafas, bajuku basah semua dan rambutku lepek. Tubuhku
kedinginan beberapa detik. Sebuah es batu masuk ke balik bajuku. Dimas dan
teman-temannya menertawakanku. Aku menerobos mereka semua yang mengerubungiku,
pergi menjauh. Aku malu dibuatnya, dan yang membuatku semakin malu adalah.. aku
menangis dihadapan semua orang.
Author
P.O.V
Dante duduk di kamarnya sejak pulang
dari sekolah. Ia masih merasa malu dengan kejadian di kantin tadi. Ia duduk
bertekuk lutut sambil membenamkan wajahnya di sela-sela lutut dan dadanya.
Seseorang
mengetuk pintu dari luar. Dante hanya mengangkat kepalanya tanpa menjawab
apapun. Pintu itu diketuk lagi, kali ini lebih keras.
“ Siapa sih? Kaya tukang bangunan aja gedar-gedor
pintu “
Dante
beranjak dari duduknya dan membuka pintu. Dibalik pintu itu berdiri ibu
tirinya. Dante langsung mendapatkan jeweran keras dari ibunya.
“ kamu berani ya ngomong gitu sama mama “
Sambil
meringis dimas menepis tangan ibunya sekuat tenaga.
“ Apaan sih? Udah ngetuk pintu keras, terus
pake jewer Dante segala lagi. Udah deh, mama mau nyuruh Dante ngapain? “
“ dasar anak sialan. Emang gak sopan ya kamu
sama mama. Buah sama sayuran di kulkas udah abis, besok kan papa kamu datang.
Mama mau nyuruh kamu beli buah sama sayuran ke supermarket “
“ Males ah mah “
Dante
menutup kembali pintu kamarnya. Ibu tirinya geram. Beberapa menit kemudian
Dante mendengar sesuatu barang yang pecah. Karena penasaran ia membuka pintu
kamarnya lagi. Sebuah foto tergeletak begitu saja di depan pintu kamarnya. Kaca
dari bingkai foto itu telah pecah berserakan di lantai. Itu foto ibu kandung
Dante. Dante menatap ibu tirinya dengan kesal.
“ apa tujuannya mamah pecahin foto itu? “
“ itu sebagai hukuman karena kamu bantah
mama. Masih gak mau nurut juga? Mama bakar loh fotonya nanti. Mau? “
Dante
mengepalkan tangannya, amarahnya memuncak. Namun ia meredam amarahnya dengan
cepat, karena jika ia menyerang ia akan kalah. Ibu tirinya selalu pintar untuk
memutar balikan fakta. Bisa jadi besok ibu tirinya itu mengadukan hal yang
tidak enak kepada ayahnya.
“ ya udah, mana uangnya? “
“ Pake uang jajan kamu dulu aja. Masih ada
kan? Lagian besok juga ayah kamu datang buat ngasih uang “
Dante
tak menjawab karena kesal.
.
.
.
Akhirnya Dante pergi menuruti perintah
ibu tirinya. Ia pergi menggunakan taxi, mobil pribadinya sedang digunakan Diva
dan Devi jalan-jalan. Dante mengenakan celana pendek selutut, kaus oblong
berwarna putih dan sweater abu-abu. Tak lupa ia gunakan parfum kesayangannya,
parfum dengan aroma anggur yang memabukkan siapapun yang menciumnya. Rambutnya
ia biarkan acak-acakan namun ia tetap terlihat manis. Hari ini mall terlihat
cukup ramai, tanpa melirik kanan kiri Dante berjalan dengan cepat menuju supermarket
tempat buah dan sayuran berada.
Tetapi langkahnya dihentikan oleh
seseorang. Dante melirik seorang wanita yang umurnya lebih tua darinya. Wanita
itu mengenakan rok span selutut dengan belahan di samping. Ia mengenakan blazer
yang sewarna dengan roknya.
“ Mas, tunggu sebentar “
Dante
memposisikan badannya menghadap ke arah wanita itu. Wanita itu mulai meneliti
setiap inci tubuh Dante. Dari ujung kaki hingga ujung kepala tak ada sedikitpun
yang dilewatkan oleh mata wanita itu. Dante seolah-olah sedang ditelanjangi di
depan umum.
“ Mba? Ada masalah dengan penampilan saya? “
“ Ah enggak, sempurna! Mas bisa ikut saya
sebentar? “
“ Tapi mba saya mau.. “
“ mau belanja kan? Iya saya tahu, tapi bisa
ikut saya dulu? Saya butuh bantuan mas “
Wanita
itu menarik Dante tanpa persetujuannya.
Dante diseret ke sebuah tenda putih
besar yang terletak di belakang panggung catwalk panjang yang sudah dilapisi
karpet merah. Kursi-kursi di jajarkan di samping panggung. Terhitung ada dua
puluh lima kursi di kedua sisi panggung. Saat Dante memasuki tenda itu, ia
menutupkan matanya. Ia melihat banyak sekali model pria dan wanita yang
telanjang disana. Terburu-buru mengenakan pakaian yang akan diperagakan.
“ Mba? Kenapa sih saya dibawa kesini? “
“ Gini mas, mas mau gak jadi salah satu model
untuk acara kita hari ini. Cuma meragain satu baju doang ko. Satu model kita
gak bisa hadir soalnya “
Dante
tak menjawab, otaknya terlalu bingung.
“ saya panggilkan perancang banyunya dulu ya,
sebentar “
Wanita itu pergi meninggalkan Dante
yang kebingungan setengah mati. Para model yang sedang mengganti pakaian itu
sesekali melirik Dante. Ada juga yang memberikan senyum ramah padanya. Wanita
itu akhirnya kembali dengan seorang pria di sampingnya. Pria paruh baya dengan
wajah khas Indonesia timur. Pria paruh baya itu mengenakan baju yang modelnya
terbilang feminin untuk seorang laki-laki.
“ Hhmmm.. kayanya kamu bisa gantikan model
saya yang gak bisa hadir. Langsung di make
up aja “
Pria
itu menepukkan tangannya, melambai dengan gemulai kepada dua orang make up artist yang sedang menganggur.
“ kalian berdua dandani lelaki ini. Ubah jadi
cantik ya? Soalnya dia mau pake baju karya terbaik saya.“ kata designer itu
dengan enteng.
Dante
mengerutkan keningnya, mulutnya sedikit ternganga.
“ Maksudnya apa sih? Ko didandanin cantik?
Saya kan cowok pak “
“ eitss.. jangan panggil saya pak dong. Udah
deh, saya bayar kamu berapapun yang kamu mau nanti. Asal kamu peragakan baju
rancangan saya. Bajunya ada disana “
Dante
mengarahkan pandangannya ke sisi lain. Sebuah dress mini berwarna merah
tergantung rapi. Warna merahnya menyala, pasti akan kontras dengan kulit Dante
yang putih.
“ Kamu punya badan sexy kaya perempuan. Bulu
kaki sama tangan kamu juga gak ada. Sedikit make up aja dan pake wig kamu
bakalan jadi model wanita paling cantik hari ini “
“ Tapi.. “
“ udahlah jangan banyak ngomong, kalian cepet
make over dia jadi cantik ya. “
Lelaki
paruh baya itu pergi begitu saja. Kedua make
up artis itu mengajak Dante untuk duduk dan mereka segera Me-make over Dante.
Dua puluh menit kemudian Dante
selesai di make over. Ternyata betul
saja, wajah khas pria Dante hilang. Digantikan dengan sosok anggun dan cantik
seorang wanita. Bulu matanya dipercantik sehingga Dante terlihat sangat
menawan. Bibirnya yang tipis kini dilapisi lipstick yang sewarna dengan baju
yang akan ia kenakan. Wig yang dikenakannya memiliki panjang sebahu. Berwarna
hitam legam mengkilat.
“ Sekarang mas coba ganti bajunya ya. Kalau
mas malu ganti baju disini langsung, mas bisa ganti baju di ruangan kecil di
sudut sana ya “
Petugas
yang me-make up nya itu menunjukkan
tirai di sudut kanan. Dante mengangguk saja sambil membawa dress nya menuju
ruang ganti.
Dress itu sangat pas di tubuh Dante.
Panjangnya sampai atas lutut, itu artinya kaki mulus Dante terbebas dari apapun.
Dress itu memiliki belahan di samping kanannya. Membuat paha mulus Dante
tersingkap sedikit jika berjalan. Dante berjalan pelan-pelan agar tidak
terjatuh. Ia mengenakan haigh heels setinggi tujuh senti meter berwarna hitam.
Semua orang yang ada di dalam sana
terkagum-kagum dengan penampilan Dante. Bahkan para model priapun banyak yang
terkecoh olehnya. Ada yang merayu Dante bahkan ada pula yang mencuri-curi
pandang ke arah belahan bajunya.
Acara
fashion show akhirnya di mulai. Semua model sudah mempersiapkan diri membuat
barisan. Dante berada di tengah-tengah barisan, melebur bersama model-model
wanita. Satu persatu para model mulai berjalan keluar, menuju panggung catwalk.
Semakin lama antrian semakin sedikit, dan tibalah giliran Dante untuk berjalan
di atas panggung catwalk.
Dante
berjalan melenggak-lenggok dengan hati-hati. Ia sudah mulai bisa menguasai
heels nya yang tinggi. Semua mata memandang tubuh Dante yang menjelma menjadi
seorang wanita cantik nan sexy. Dante
mengerlingkan matanya dan mencoba tersenyum kepada seluruh penonton. Ia mulai
berani memainkan matanya kepada para penonton, senyumannya semakin mantap.
Kepercayaan didalam dirinya mulai menyebar ke seluruh tubuh. Ia berpose ketika
berada di ujung panggung catwalk, ketika itu juga ia melihat satu sosok yang ia
kenal. Ia melihat Dimas duduk di kursi paling belakang. Mengenakan jas berwarna
putih yang sangat pas di badannya. Dante mendapati Dimas juga sedang melihat
kearahnya dengan wajah yang memerah. Dante memberikan senyum terindahnya kepada
Dimas, mencoba untuk menggodanya. Tapi senyumnya memudar ketika Dante melihat replika
pohon di belakang Dimas mulai condong ke arahnya seakan hendak roboh. Tanpa
Dante sadari ia berteriak ke arah Dimas. Berteriak dengan keras agar Dimas
segera menyingkir dari tempat duduknya. Namun semua orang termasuk Dimas
terlalu bingung dengan apa yang Dante teriakan.
Dante
dengan cepat turun dari panggung catwalk, meninggalkan heels nya yang ia lepas
begitu saja. Ia berlari ke arah tempat Dimas duduk. Ketika replika pohon itu
terjatuh, Dante mendorong tubuh Dimas menjauh dari tempat duduknya. Replika
pohon itu meninggalkan bunyi dentuman keras ketika terjatuh. Semua orang yang
ada disana terkejut dengan kejadian itu.
Dante
terengah-engah diatas tubuh Dimas. Dimas terlihat memejamkan matanya dengan
mengernyitkan dahi. Lalu ia membuka matanya beberapa menit kemudian dengan
menampilkan ekspresi terkejut.
“ kamu gak apa-apa? “ tanya Dante.
“ Enggak, terima kasih “ jawab Dimas masih
dengan raut wajahnya yang terkejut.
Sedetik
kemudian Dante merasakan remasan tangan Dimas di pantatnya. Matanya mebelalak,
ia langsung melepaskan tangan Dimas dari bokongnya. Berdiri lalu pergi menjauh
dari tempat kejadian. Meninggalkan Dimas yang masih termenung dengan wajahnya
yang merah padam.
*****
Dante kembali ke rumahnya satu jam
kemudian. Ketika tiba di rumah, seperti biasa ia mendapatkan makian dari ibu
tirinya dan kedua kaka tirinya. Tapi Dante tak mendengarkan ocehan itu. Ia
lebih memilih bungkam dan segera masuk kedalam kamarnya.
Di
dalam kamar ia kembali membayangkan kejadian tadi saat di mall. Masih teringat
dalam benaknya saat ia berada di atas tubuh Dimas. Memandang wajahnya ketika
matanya menutup ketakutan. Dante tersenyum, ia baru menyadari bahwa ternyata
Dimas itu sangat tampan dan mempesona. Namun ia juga kembali teringat ketika
kedua tangan Dimas meremas pantatnya. Seketika wajahnya menjadi merah karena
malu.
Keesokan harinya semua sekolah
sangat heboh dengan kejadian yang dialami Dimas. Bahkan Dimas selalu
menceritakan kejadian itu kepada semua orang yang ia temui. Dari
pembicaraannya, bisa diketahui bahwa Dimas menyukai sosok model wanita yang
menyelamatkan dirinya. Sosok yang tak lain adalah Dante. Mendengarnya, Dante
hanya bisa tersenyum sendiri.
.
.
.
Hari sudah mulai sore, diluar sana
awan sedang mendung. Gemuruh petir sudah mulai terdengar di kejauhan. Dante
masih berada di dalam kelasnya, masih membersihkan debu-debu di lantai.
“ Dante, kamu mau ikut acara camping sekolah kita lusa nanti kan? “
Tanya
salah satu teman wanita Dante yang sedang merapikan kursi.
“ Ikut lah pasti Mel, kapan lagi coba bisa
rame-ramean satu sekolah sama acara kaya gitu. Aku pasti ikut. Kamu gimana ?”
“ Aku ikut, soalnya kak Faisal juga ikut kan
“
“ Jadi kamu masih jatuh cinta nih sama si
Faisal? “
Amel,
temannya itu hanya bisa tersipu malu. Dante tersenyum geli melihatnya.
“ Udah ah, aku pulang duluan ya. Papa kayanya
udah jemput aku di gerbang. Gak apa-apa kan Dante aku tinggalin kamu sendirian
“
“ iya gak apa-apa. Nyantai aja “
“ Ok kalau gitu, sampai besok “
Amel
melambaikan tangannya, begitu juga Dante.
Komentar
Posting Komentar