SIAPA YANG HARUS KUPILIH (CHAPTER 24)
Kami masih berjalan mengitari
pasar, Ghifari tengah asyik memakan kue basah dibelakang. Tadi dia merengek
memintaku untuk membelikan kue kesukaannya. Dia seperti anak kecil, entah
kenapa hari ini dia sangat manja padaku.
“
No, gue cape nih. Istirahat dulu yuk “
Sudah
kesekian kalinya dia mengucaapkan ini. Ia terus mengeluh lelah padaku, namun
aku tak menggubris keluhannya.
Jam kini telah menunjukkan pukul
sepuluh pagi. Kami baru saja membeli cabai rawit dan tomat untuk dijadikan
sambal, dan itu merupakan daftar terakhir dalam belanjaanku hari ini. Kami
kembali keluar dari pasar untuk segera mengolah bahan-bahan ini menjadi makanan
yang lezat.
Namun,
langkahku terhenti ketika aku melewati pedagang hewan peliharaan dipasar itu.
Aku melihat seekor kucing gemuk berwarna coklat. Lucu sekali. Entah mengapa
langkah ini tiba-tiba menghampiri kucing gemuk itu. Aku berjongkok
dihadapannya, kucing itu menatapku. Mungkin kucing itu berfikir ‘ siapa peria
imut ini? Apa dia akan membeliku dan membawaku pulang ke rumahnya ‘.
Pedagang itu kini menghampiriku
dan bertanya padaku apakah aku akan membeli kucing itu. Harganya hanya lima
ratus ribu. Harganya cukup murah untuk ukuran kucing seperti itu, namun uangku
tak cukup untuk membelinya.
“
lo mau kucing itu? “ tanya Ghifari padaku.
Aku hanya
mengangguk sambil kembali berjongkok dan melihat kucing itu lagi.
“
itu kucing kampung biasa no. Harganya terlalu mahal kalau lima ratus ribu untuk
ukuran kucing kampung kaya begitu “ katanya kembali.
Ghifari
menyeredku menjauh dari kucing itu.
“
nanti gue beliin kucing persia buat lo. Ayo ah kita pulang, gue udah laper.
Pasti Om Wingky sama tante Lia udah nungguin kita “
*****
SUDUT PANDANG PENULIS
Semburat warna oranye itu kini
sudah kembali menghiasi langit. Sang raja siang akan kembali berputar untuk
mengelilingi dunia lain dan kembali memancarkan sinarnya. Arno masih duduk di
teras rumah sambil meminum susu coklat yang ia beli di warung tetangganya.
Fikirannya kini sedang melayang, lagi-lagi Arno melinangkan air matanya ketika
teringat akan sosok Ibu yang baru saja meninggalkannya.
Pengajian kepergian ibunya baru
saja dilaksanakan. Tadi banyak orang yang datang untuk kembali mendo’akan ibu
Arno.
Arno
kembali menyeruput susu cokelat itu sambil melihat ke arah depan dengan tatapan
kosong. Ghifari yang baru saja selesai mandi melihat sosok Arno yang sedang
melamun itu. Dengan senyuman dia menghampiri Arno. Tubuh besar itu merangkul
Arno yang tengah memejamkan matanya entah membayangkan apa. Lagi-lagi aroma
parfum cokelat itu menyengat di telinga Arno. Tak usah membuka matanyapun ia
sudah tahu kalau itu adalah Ghifari.
“ kita jalan-jalan yu no. Lo butuh
refreshing, gue teraktir lo malem ini. Kita main ke taman kota disini “ Ajak
Ghifari yang kini telah menarik perhatian Arno.
“
udah sana, ganti baju dulu gih. Gue tunggu lo “
.
.
.
Dengan menaiki becak, sekarang mereka sedang
pergi menuju taman kota. Taman kota ini kembali mengingatkan Arno pada masa SMA
nya. Biasanya disini ia akan menghabiskan waktu luangnya bersama sang sahabat.
Izal, ya Arno teringat kembali dengan sosok pria yang selalu menjadi sahabat
terbaiknya itu.
Mereka berdua berhenti tepat di
depan gerbang/tugu taman kota. Keadaan taman saat itu terlihat ramai. Banyak
pemuda dan pemudi yang sedang menghabiskan waktu luang mereka. Arno tersenyum
sambil memandangi Ghifari yang masih berkutik bersama tukang becak yang tadi ia
tumpangi. Setelah membayar sang supir becak, tanpa segan Ghifari menggandeng
tangan Arno menuju taman.
Untuk beberapa menit, mereka
hanya berjalan-jalan mengitari taman. Hingga akhirnya mereka duduk disebuah
kursi taman yang biasa Arno tempati dengan sahabatnya Izal. Tanpa ragu, Arno
menyandarkan kepalanya dibahu Ghifari. Menikmati indahnya danau buatan yang
diterangi cahaya langit senja. Dengan sigap Ghifari menerima posisi itu, tangan
kekarnya mengelus lembut surai hitam milik Arno.
“
makasih.. “ kata Arno hampir tak terdengar sama sekali.
Tanpa
sadar Ghifari mengecup kepala Arno yang mebuat pipi Arno kini memerah sempurna.
Dengan genit, Arno memainkan tangan mungilnya di dada Ghifari yang terbalutkan
baju kerah v-neck berwarna putih dengan jaket kulit berwarna hitam yang
ukurannya sangat pas ditubuhnya.
Mungkin semua orang akan melihat
aneh mereka, tapi kali ini Arno serasa tak perduli dengan tatapan orang lain
terhadapnya. Yang ia rasakan hanyalah kenyamanan berada di dada Ghifari.
“
selamat sore mas, aku tak mau jikalau aku di madu... ( jreng.. jreng )
pulangkan saja kepada orangtuaku.. ( jreng.. jreng.. ) “ suara lagu itu memecah
kemesraan mereka berdua. Arno yang penasaran menengok kebelakang.
“ Arno..?? “ tanya seorang waria yang kini
sedang membawa gitar berbentuk kotak dari kardus.
Arno
memicingkan matanya, menconba untuk mengingat wajah itu. Arno merasa dia pernah
mengenal orang ini.
“ ini Arno Dyani kan? Alumni SMA Tharuna
Bhakti kelas duabelas b? “
Arno
mengangguk sambil terus mengingat wajahnya. Dengan tiba-tiba waria itu memeluk
Arno dan menyinkirkan Ghifari.
Arno hanya memandang keheranan
dan sedikit bergidik karena dia merasa risih dipeluk oleh seorang waria.
Ghifari yang geram menyeret baju waria itu lalu membantingnya ke tanah. Waria
itu meringis kesakitan. Ghifari menggenggam kasar leher baju warna pink si
waria dengan tangan yang satunya lagi siap untuk menonjok.
“
apa-apaan lo pake peluk adek gue kaya gitu? Dasar BANCI kurangajar. Loi harus
gue kasih pelajaran “
Arno
segerang memegang lengan Ghifari yang hendak memberikan cap biru di pipi sang
waria (?).
“ sshhh.. kak! Ini tempat umum. Jangan
gunakan kekerasa disini. Gak baik tuh liat ditonton banyak anak-anak “
Hati
Ghifari kembali luluh dan dia melepaskan kepalan itu. Si waria meringis
kesakitan sambil memegangi punggungnya yang terbentur keras ditanah. Sekali
lagi Arno bertanya siapa nama si waria.
“
hhmm.. kamu lupa ya no? Udah dua tahun ninggalin kampung kamu jadi lupa sama
temen-temen lama kamu. Ini aku no Izal “
Arno mengernyitkan dahinya. Ia
kembali melihat lekat-lekat penampilan Izal yang berubah drastis menjadi waria
seperti ini.
“
Astaga.. Izal, kenapa kamu jadi kaya begini?? “
Izal
memposisikan tubuhnya seenak mungkin. Ia tersenyum emandang Arno.
“
kamu gak perlu tau kenapa aku jadi kaya begini no. Aku gak mau menceritakan
kisah hidupku yang suram ketika lulus SMA dulu. Eemm... abang itu siapa no? “
Ghifari
menyodorkan tangannya.
“
Gue Ghifari, temen deketnya Arno. Lebih tepatnya kaka tersayang Arno sih. Eh
maaf ya mba eehh.. mas karena tadi gue udah mukul lo “
“
iya gak apa-apa ko. Aku seneng dipukul cowo ganteng kaya mas “ Izal
mengerlingkan matanya genit.
Ghifari sedikit bergidik melihat
tingkah Izal yang seperti itu. Akhirnya sore itu menjadi sore yang panjang
untuk Arno dan Izal. Mereka berdua menceritakan kehidupan mereka masing-masing
semenjak berpisah dulu. Hari ini Ghifari hanya berperan sebagai pendengarnya
saja, hari ini juga Ghifari mengenal lebih banyak kehidupan Arno zaman dulu
dari Izal.
******
Hari kembali berganti, Kali ini
Ghifari bangun lebih awal dari Arno. Ia pergi ke dapur untuk menyalakan tungku
api dan memasak air untuk menyeduh kopi. Saat menunggu air matang Ghifari
berjalan-jalan di ruang tengah dan melihat beberapa foto yang menggantung
disana. Ghifari melihat foto Arno saat hari perpisahannya ketika SMA. Ia menarik
sudut bibirnya tersenyum ketika melihat foto itu.
Namun beberapa detik kemudian,
matanya tertuju pada sosok kecil yang sedang duduk disepeda. Disampingnya
berdiri anak yang terlihat lebih tua sedang berkecak pinggang sambil tersenyum
memperlihatkan gigi ompongnya.
Ini gue
kan? Terus sebelah gue siapa nih yang naik sepeda? Apa ini arno?
“
itu kamu sama Arno dek, dulu kalian kan pernah main bareng. Masa gak inget sih?
Sewaktu lebaran keluarga kamu selalu datang ke rumah mba untuk silaturahmi.
Foto itu diambil waktu hari lebaran. “
Lia muncul dari dlam kamar
sambil merapikan rambutnya yang hitam legam. Ghifari tersenyum dan memberi
jalan untuk Lia yang kini berdiri disampingnya.
“
Mba suka sama foto ini. “
“
Ghifari juga suka tante “
“
oh ya, mba lia boleh minta sesuatu dari kamu Ghif? “
Ghifari
mengangguk.
“
Jaga Arno baik-baik ya. Dia satu-satunya adik yang mba punya dan mba pengen
kamu jagain dia “
Ghifari
mengangguk sambil tersenyum. Lalu matanya kembali memandang foto yang ada
dihadapannya.
Komentar
Posting Komentar