HUJAN DI UJUNG SENJA
Chapter 1 (Masa lalu dan
Angelo)
Jalan itu menghitam
Basah oleh hujan.
Namun aku, muram,
Kering oleh kerinduan
Gerimis ini menghapus jejak apapun,
Namun kasihmu tak hilang
Dalam hitungan tahun
Kaki ini masih terus
berjalan. Hujan tengah turun sore ini, namun entah kenapa aku memaksakan diri
untuk menembus hujan yang turun sore ini. Rintik-rintiknya itu menimbulkan
percikan-percikan air yang membasahi celana blue jeans-ku.
Kulihat orang-orang sedang meneduh di depan kedai-kedai kecil yang
menyediakan kopi hangat geratis. Bahkan kulihat beberapa anak kecil
menengadahkan tangannya untuk menampung rintik-rintik hujan yang turun dari
ujung genting.
Langkahku kini mengarah ke
salah satu Caffe yang selalu menjadi tempat favoriteku untuk mencari inspirasi.
Pelayan bernama Dee menyapaku dengan senyuman khasnya. Aku mengunjungi salah
satu sudut di caffe ini. Sudut dimana aku selalu duduk untuk menikmati
pemandangan jalan dan mencari inspirasi.
Meja persegi menyatu dengan jendela yang langsung mengarah keluar ini yang
kusukai. Kursi bundar kecilnya yang nyaman membuatku semakin betah berlama-lama
di cafe ini.
“ Kau mau memesan capucino dengan Pommesfrites
seperti biasa Candra? “
“ kau memang sudah sangat mengerti aku Elise, aku juga
ingin memesan chocobanana cake ya. Aku sedang mencari inspirasi, siapa
tahu saja setelah memesan chocobanana cake banyak inspirasi yang datang
padaku. “
“ Kau masih belum juga menyelesaikan novel romanmu itu? “
Aku membuka laptop kesayanganku dan memperlihatkan dokumen novel romanku
yang baru saja akan kubuat bab ke tujuh belasnya.
“ bab tujuh belas? Selama tiga bulan kau hanya bisa
membuat satu bab saja? “
“ hei ayolah.. menulis novel tidak semudah yang kau bayangkan.
Butuh banyak pertimbangan agar jalan ceritanya menarik. Apalagi aku sering
disibukkan dengan jadwal kuliahku di kampus. Itu semuanya membuatku pusing
Elise “
Elise sedang apa kau disana. Cepat bekerja kembali!
Itu suara Madam Elenor,
pemilik Kaffe. Wanita gemuk namun memiliki wajah yang cantik itu memang
memiliki sifat judesan dan pemarah. Elise segera berlari menuju dapur
meninggalkanku.
Hatiku terkejut ketika aku melihat yahoo messangerku tiba-tiba menyalakan
sebuah notifokasi. Sepenggal nama tertera disana.
Apakabarmu?
Aku melongo dan kembali membaca pesan yang singkat itu. Ralat, maksudku
sangat singkat. Kembali kubaca nama akun yang mengirimkan pesan itu padaku.
Chandra, apa kau masih disana? Hey?
Aku segera mengetik balasan untuknya.
Ya aku masih ada disini. Kabarku baik, bagaimana kabarmu Kent?
Bibirku tersenyum kala pesan itu telah terkirim dan dibaca olehnya. Orang
yang sempat hilang lama dariku kini menyapaku. Keajaiban memang selalu datang
ketika hujan turun.
*****
David Chandra, itu nama
asliku. Namun orang banyak memanggilku Chandra ketimbang David. Kecuali
saudara-saudaraku, mereka lebih suka memanggilku David. Aku lahir duapuluh
tahun yang lalu di negara kepulauan terbesar di dunia. Sebenarnya aku bangga
dengan negaraku, namun demi mengejar karir menulisku aku harus pergi ke negara
di eropa demi mendapatkan pendidikan yang lebih baik lagi.
Aku hidup sendiri di negara orang, dipaksa untuk menjadi lebih dewasa dan
mandiri. Mungkin Chandra yang dulu adalah Chandra yang hanya bisa meminta uang
dari orang tuanya untuk bertahan hidup. Namun sekarang aku harus mencari uang
sendiri demi menutupi kekurangan materiku disini.
Aku adalah penulis roman.
Banyak karya-karyaku yang sudah dipublikasikan di koran ternama di kota yang
indah ini. Aku suka dunia sastra. Aku selalu mengekspresikan keadaan hatiku
dengan cara menulis. Saat ini aku sedang mengerjakan novel pertamaku. Novel
yang rencananya akan ku serahkan ke salah satu percetakan buku disini. Siapa
tahu saja karir menulisku di negara orang bisa lebih gemilang. Sehinga aku bisa
pulang dengan membawa prestasi yang bisa kutunjukkan pada keluargaku.
Bakat menulisku sudah terlihat ketika aku masih belajar di sekolah menengah
pertama. Orang yang pertama kali menyadarkan bahwa aku memiliki bakat menulis
adalah sahabat karibku. Kent Mylor, pria belasteran Malaysia-Inggris itulah
sahabat karibku. Jangan bingung kenapa dia bisa satu sekolah denganku di
Indonesia. Ayahnya adalah seorang arkeolog yang sering pindah ke berbagai
belahan dunia. Maka tak heran jika Kent selalu berpindah-pindah tempat.
Aku dan dirinya seperti
perangko dan amplop yang tak bisa dipisahkan. Dimana ada Kent pasti ada aku
disampingnya. Kecuali ketika sedang berada di kamar mandi dan tidur. Tenang
saja, aku tidak suka tidur berduaan seperti sepasang suami istri dengannya. Dulu,
kami sering dijuluki duo pangeran di sekolah. Gadis-gadis di sekolah banyak
yang menjeritkan nama kami. Apalagi kepada Kent, dia jauh lebih tampan dariku.
Kedua bola mata dengan warna cokelat karamel, alis yang tebal dengan hidung
mancung. Itu semua dia miliki. Kent juga memiliki badan yang tegap, tak heran
banyak teman wanita yang ingin bersandar di dadanya waktu itu.
Aku masih ingat ketika dulu ia berpamitan padaku saat hendak pergi ke
negara lain. Saat itu hujan sedang turun. Kent berlari dengan baju yang basah
kuyup ke rumahku. Bajunya sudah basah dan dia menggigil kedinginan. Ibuku
menghandukinya dan memberikan teh hangat untuknya. Membawa ia ke kamarku dan
menyuruhnya berganti baju.
Kami duduk berdua di atas kasur, diiringi lagu hard rock favorite kami, aku
dengannya bernyanyi bersama. Ketika lagu sudah berakhir, ia memintaku untuk tak
memutarnya lagi.
“ Sebenarnya kedatanganku kesini, aku ingin mengatakan
sesuatu padamu sahabatku “
“ hei jangan berwajah muram. Katakanlah “
Aku masih ingat wajahnya yang sedih dan menarik nafas dalam-dalam saat ia
ingin mengatakan ucapan perpisahannya denganku.
“ besok aku akan pergi ke Irlandia. Aku akan meninggalkan
Indonesia “
Untuk beberapa saat, aku shock. Aku belum pernah mendapatkan sahabat yang
sedekat ini sebelumnya. Ketika mendengar kata pergi, aku memang merasa sedih.
Namun kutahan kesedihan itu dihadapannya agar ia pun rela meninggalkanku.
“ karena pekerjaan ayahmu? “
Ia mengangguk lalu merunduk. Ku tegarkan hatinya dengan menepuk kedua
bahunya. Kami berpelukan sebagai seorang sahabat saat itu. Suara hujan deras
begitu menenangkan. Setelah acara pelukan perpisah itu Kent mengambil sesuatu
di celana basahnya. Sebuah cincin perak ia berikan padaku.
“ simpanlah ini. Ini sebagai ciri
bahwa kita masih akan terus bersahabat sampai mati. Jangan hilangkan ini atau
kau akan ku coret dalam daftar nama sahabatku “
Kami tertawa bersama. Tawa terakhir kami berdua.
“ aku juga memiliki cincin yang sama persis seperti
milikmu. Bisa dikatakan ini cincin couple. Aku mendapatkannya dari Queen. “
“ Kau mencurinya? “
“ Tidak, aku memintanya “
Aku tersenyum. Itulah percakapan terakhir kami. Keesokan harinya ketika aku
mengunjungi kediaman Kent, rumahnya sudah kosong tak berpenghuni.
*****
Cincin yang kini kujadikan
sebagai perhiasan di kalung tali hitamku ini serasa dingin ketika menyentuh
kulit leherku. Setelah perpisahanku dengannya saat itu membuatku menjadi
kesepian. Selama seminggu aku tak bisa melupakan Kent. Hingga akhirnya aku
menyadari bahwa selama ini aku menyukainya. Aku seperti kehilangan belahan
jiwaku saat ia pergi.
Notifikasi yahoo messanger milikku kembali menyala.
Nyalakan kamera laptopmu. Aku ingin melihat wajahmu yang sekarang.
Dengan cepat kunyalakan kamera laptopku. Hatiku berdebar tatkala memikirkan
bagaimana wajahnya setelah lama tak bertemu. Apakah ia akan semakin tampan
seperti yang selalu kuduga-duga selama ini.
Untuk beberapa saat, aku hanya melihat diriku sendiri di layar monitor
laptopku. Beberapa saat kemudian layar laptopku berubah. Memperlihatkan sosok
pria dengan rambut tersisir rapi berwarna cokelat karamel yang sewarna dengan
matanya. Bibir kemerahan yang sekarang sedang menyunggingkan senyumnya padaku.
Ia melambaikan tangan, jantungku seperti berhenti berdetak. Bahkan suara hujan
juga untuk beberapa saat tak terdengar di telingaku. Aku terpesona padanya.
“ Hei bung, kau membuatku terkejut. Chandra apa itu kau?
“
Aku menatap matanya yang berbinar. Oh tuhan.., rasa cintaku pada Kent
semakin membesar.
“ Chandra apa kau mendengarku? “
“ aa.. ahhh ya Kent. Aku mendengarmu. Kau mengecat
rambutmu? “
“ Hahahaha.. ya begitulah. Ini model rambut terbaruku,
apakah aku terlihat tampan dengan rambut seperti ini “
Ia menyisir rambut dengan tangannya sendiri kebelakang. Mempertunjukkan
rambut barunya yang berkilauan diterpa sinar cahaya lampu.
Iya Kent, kau tampan. Maksudku sangat tampan.
“ ya kau terlihat menakjubkan Kent. Tapi aku lebih tampan
darimu “
“ Dasar narsis, PD mu tidak pernah hilang dari dulu
Chandra. Tapi ada benarnya juga, kau tampan dengan sedikit brewok di wajahmu “
Aku tertawa, begitupun dengannya.
“ apa itu cincin pemberian dariku? “
Sekilas ku lihat cincin yang sudah lama menggantung di leherku ini.
Kutunjukkan padanya.
“ ya, aku masih menyimpannya dengan baik “
“ begitupun denganku “
Ia memperlihatkan cincinnya yang ia jadikan sebagai perhiasan kalung juga.
“ tunggu, aku juga masih menyimpan ini “
Ia pergi dari tempatnya duduk dan kembali beberapa saat kemudian sambil
membawa baju berwarna merah menyala. Baju itu akan terlihat sangat sempit jika
ia memakainya. Bajuku yang dulu menjadi baju ganti saat bajunya basah tersiram
air hujan.
“ kau dulu meminjamkan ini padaku. Aku masih menyimpan
rapi bajumu sebagai kenang-kenangan Chandra “
******
Lagi-lagi hari itu aku
tidak dapat menulis awal dari bab kedelapan belas novelku. Aku terlalu asyik
mengobrol dengan Kent. Bahkan hidangan yang disajikan Elise hanya sedikit saja
ku sentuh. Selama percakapan kami tadi, aku mulai merasa seperti hidup kembali.
Terdengar lebay, namun memang itulah yang kurasakan.
Kebahagiaanku meluap ketika mengetahui Kent kini tinggal di kota yang sama
denganku. Apartemen kecilnya berada di Colville Place, butuh waktu lima
menit menaiki taxi untuk pergi kesana. Malam ini aku akan bertemu dengannya,
rencananya aku akan menjemputnya jam tujuh malam. Membayangkan bertemu
dengannya membuat hatiku semakin meletup-letup bahagia. Aku harus tampil
maksimal malam ini di hadapannya.
.
.
Jam di dinding sudah
menunjukkan pukul enam tiga puluh. Matahari sudah terbenam sejak satu jam yang
lalu. Kini lampu-lampu jalan sudah mulai berkelip-kelip. Aku sudah siap, kemeja
casual dengan celana blue jeans kesukaanku menjadi pilihan untuk
membalut tubuhku. Aku juga mengenakan mantel dan syal di leherku karena menurut
prediksiku malam ini akan menjadi malam yang dingin.
Aku kembali menatap diriku di kaca. Gagah dan rapih. Aku baru menyadari
bahwa keberadaan brewok di wajahku ini membuat wajahku menjadi semakin
maskulin. Aroma parfum pemberian temanku dari paris membuat kepercayaan diriku
tumbuh seratus persen.
“ Kent! I’m come baby “
Hujan tidak turun malam ini. Maaf, maksudku belum turun malam
ini. Hujan bisa turun kapan saja di kota yang indah ini. Taxi kuning yang ku
naiki mulai berbelok ke arah Colville Place.
“ maaf sir, aku hanya bisa mengantarmu sampai sini
“
“ ah ya tak apa sir. Rumah temanku sudah dekat.
Aku tinggal berjalan kaki saja dari sini. Ini, kembaliannya ambil saja “
Beberapa lembar uang ia terima. Supir taxi itu tersenyum sumringah saat
menerima uang pemberianku.
“ terimakasih banyak, semoga kau bahagia tuan “
Aku menutup pintu belakang taxinya.
“ terimakasih, kau juga “
Taxi itu menjauh, aku melihat ponselku dimana aku mencatat alamat
apartemennya. Setibanya disana, aku melihat apartemen sederhana namun terlihat
elegan. Kamarnya ada di lantai tiga dengan nomor 111.
“ Tenang Chandra, jangan sampai kau gugup di hadapannya “
Aku menyemangati diriku sendiri. Tak susah menemukan apartemennya. Saat ini
aku sudah benar-benar beara di depan pintu apartemennya. Aku tidak melihat
sedikitpun cahaya di dalam apartemennya. Ku ketuk beberapa kali tak ada yang
menyahut. Hingga akhirnya seorang wanita dengan rol rambut yang menempel di
kepalanya keluar. Ia tetangga Kent, apartemennya berhadapan dengan apartemen
milik Kent.
“ Kau mencari anak muda itu? “
“ ya madam, apa dia ada di dalam? “
“ anak itu sedang pergi, namun ia menitipkan ini padamu “
Wanita itu memberikan secarik kertas bertuliskan tinta biru. Dari gaya
tulisannya aku bisa tahu bahwa Kent yang menulisnya.
“ Ah terimakasih madam. Maaf sudah mengganggumu. “
“ tidak apa-apa, kau mau mampir sebentar? Kebetulan aku
baru selesai masak biskuit “
“ tidak terimakasih “
Aku berpamitan dengannya sesopan mungkin.
Sudah tiga jam aku duduk
disini. Di bangku taman yang mengarah langsung ke kincir ria terbesar di kota.
Lampunya berpijar indah ketika kincir itu berputar. Mengantarkan
manusia-manusia yang penasaran ingin melihat keindahan kota pada saat malam di
ketinggian tiga belas meter. Surat itu sudah kubaca sekitar lima belas kali.
Kent bilang ia akan menemuiku disini jam delapan. Namun sayangnya waktu di jam
tanganku sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan dia belum datang sama
sekali.
Semakin malam, udara semakin dingin. Benar dugaanku, untung saja aku
mengenakan mantel saat ini. Rasa dingin sedikit teratasi oleh mantel ini.
Sebenarnya bisa saja aku pergi sejak satu jam yang lalu. Tapi aku pria yang
bertanggung jawab. Aku akan menunggu Kent sampai dia datang menemuiku dan kami
bisa pergi berjalan-jalan malam ini.
Namun lagi-lagi nasib
malangku bertambah berat ketika hujan kembali turun. Tidak deras, tapi hujannya
cukup rapat dan membuat udara semakin dingin. Aku mencoba mencari tempat untuk
berteduh, tapi nihil. Ku rapatkan kembali mantel yang sudah basah oleh air
hujan ini. Menghembuskan nafas dengan teratur agar suhu tubuhku tetap hangat.
“ kau
tidak bisa menghangatkan tubuhmu hanya dengan mengatur nafasmu “
Ok baiklah, aku belum pernah merasa seterkejut
ini. Aku belum pernah berteriak ketakutan melihat sosok pria yang sangat manis.
Mengenakan setelan serba putih dan menggunakan payung biru cerah. Pria itu
berambut hitam, mengenakan anting di kuping kanannya. Matanya sipit seperti
kebanyakan orang korea. Hidungnya mancung namun lancip, ia memiliki tulang
rahang yang kokoh.
Jika kalian tahu Jinwoon, member boyband
dengan suara indah itu sangat mirip dengan pria yang sekarang berdiri di
hadapanku. Eh atau mungkin pria ini yang mirip dengannya. ( Yang gak tau siapa
Jinwoon, coba di search di google)
“ Kenapa kau berteriak seperti itu tuan? “
“ Kau mengagetkanku dan masih bertanya mengapa aku berteriak? Hei ayolah
ini tidak lucu “
Pria itu tertawa, matanya semakin menghilang
ketika bibirnya menyunggingkan senyuman. Kini matanya hanya berbentuk garis
hitam. Satu hal yang membuatnya semakin menarik adalah dimple nya dengan gigi
yang putih. Ralat, maksudku sangat putih.
Ia mendekatiku lagi, dan memayungi tubuhku.
“ Kau bisa sakit jika terus terkena air hujan “
“ Terimakasih “
“ mau jalan-jalan melihat taman di malam hari? Kebetulan aku sendirian “
“ tapi aku sedang menunggu seseorang? “
“ oh ya? Tapi apa kau yakin orang itu akan datang? “
Benar juga apa yang dikatakannya. Sudah tiga
jam dan aku tidak melihat sedikitpun batang hidung Kent.
“ bagaimana? Apa kau mau? “
“ Baiklah, kemana kita akan pergi? “
“ aku ingin melihat kota indah ini dari atas. Kau berani kan naik kincir
ria itu bersamaku? “
“ baiklah, kita coba “
.
.
.
Disinilah
kami, duduk di dalam tabung kaca berukuran cukup besar. Tabung kaca ini mungkin
bisa diisi oleh lima atau enam orang. Kincir ria besar ini mendengung,
menandakan bahwa mesinnya mulai bekerja. Sedikit demi sedikit kami menjauh dari
tanah. Aku berpegangan erat pada pinggiran kaca. Ya, harus kuakui bahwa aku
phobia ketinggian. Mataku selalu pusing jika menatap daratan dari ketinggian.
Itu sebabnya setiap pulang ke Indonesia, di dalam pesawat aku pasti membawa
penutup mata agar bisa duduk dengan tenang
Pria sipit itu duduk di hadapanku, menatap
diriku dengan seksama. Sesekali ia tertawa melihat ketakutan yang terpancar
dari wajahku. Ia mendekat dan duduk di sampingku. Meraih tanganku yang dingin
dan gemetar. Haduhh.. parah, belum pernah aku merasa setakut ini di hadapan
orang lain. Jujur, ini sangat menjatuhkan harga diriku sebagai pria yang
memiliki brewok tipis.
“ Kau takut ketinggian? “
Aku mengangguk, ia mulai menertawakanku.
“ Kau meledekku dengan tertawa sekencang itu? “
Tawanya semakin kencang, tangannya yang
menggengam tanganku tiba-tiba terasa hangat. Ia berhenti tertawa. Tangan
kanannya menutup kedua mataku, sesekali bau daun mint tercium oleh hidungku.
“ Kau tak usah takut, tenang lah. Jangan takut lagi dengan ketinggian “
Ia menyingkirkan tangannya dari kedua mataku.
Saat mataku kembali terbuka, kini aku melihat pemandangan yang indah. Aku
tengah berada di puncak kincir ria ini. Entah mendapat kekuatan darimana aku
berdiri dan mendekat ke kaca. Ku sandarkan kedua telapak tanganku di kaca. Aku
mengerjapkan kedua mata, mengagumi keindahan kota malam hari.
Kerlap-kerlip
lampu di setiap sudut kota itu memperindah pemandangan. Kurasakan kembali
tanganku di genggam oleh si pria sipit itu.
“ indah bukan? Jika kau masih merasa takut pasti pemandangan ini akan
terlewatkan olehmu “
Aku tersenyum dan berterimakasih padanya.
Genggaman tangan kami semakin erat. Hujan di luar sudah mulai sedikit mereda.
“ oh tidak, hujan sudah mulai mereda. Aku harus segera pergi “
Kincir ria ini tiba-tiba terasa lebih cepat
kembali ke bawah. Padahal aku masih ingin melihat pemandangan dari atas sana.
Ketika pintu terbuka, si pria sipit itu berlari dengan cepat keluar.
“ hei, kau mau kemana? Jangan pergi. Apa kau tak mau pergi minum kopi dulu
bersamaku? “
“ Maafkan aku, aku harus cepat pergi “
“ tunggu, siapa namamu? “
“ Angelo, panggil saja aku Angelo “
“ rumahmu dimana? “
Ia tak menjawab, terus berlari. Bersatu dengan
kerumunan orang yang sangat banyak. Hingga akhirnya ia hilang di dalam
kerumunan orang itu. Aku tak tahu dia pergi kemana. Angelo, nama yang indah.
*****
Jam
di tanganku menunjukkan pukul sebelas malam. Hujan sudah reda, hanya
meninggalkan jalanan yang basah dan genangan air di beberapa tempat. Meskipun
sudah cukup larut malam tapi kehidupan malam di kota ini belum berhenti. Aku
sedang berjalan di trotoar, menyusuri toko-toko yang masih terbuka. Banyak
orang yang berpasangan menjinjing belanjaan mereka. Aku kembali teringat dengan
Kent. Rasa kecewa kembali menyeruak di dadaku. Sebenarnya dia kemana? Kenapa
tidak memberitahuku kalau dia memang tak bisa menemuiku malam ini. Aku benci
dengan harapan palsu.
Kakiku terus melangkah, meninggalkan satu demi
persatu toko-toko yang masih buka. Hingga seseorang tiba-tiba menarik
perhatianku untuk berhenti sejenak. Aku melihat dua orang pria sedang
bertengkar tak jauh di hadapanku. Mereka saling membentak satu sama lain. Pria
yang lebih tinggi melayangkan pukulnya. Pria yang dipukul jatuh tersungkur di
trotoar. Pria tinggi itu menyeret paksa lawan bicaranya menuju lorong sempit di
ujung jalan.
Aku
berlari mengejar mereka, entah kenapa hati nuraniku berkata agar aku menolong
pria yang tadi dipukul. Setibanya disana aku melihat si pria tinggi itu telah
merobek baju pria yang satunya lagi.
“ hei bung! Jangan berlaku kasar seperti itu padanya ‘
“ apa urusanmu? Kau ingin menjadi pahlawan super baginya? Dia pelacur
murahan yang menghinaku. Dia harus pergi ke neraka malam ini “
Kembali ia pukul pria itu, namun saat dia akan
melayangkan pukulan keduanya aku menahannya. Pria itu menatapku dengan tatapan
liar. Matanya memerah dan bau alkohol menyengat.
“ jangan berani-berani mencoba menghalangiku “
Ia memukulku, namun segera kutahan. Kubalas
dengan dua tonjokan yang tepat mengenai wajahnya. Pria jangkung itu tersungkur.
Aku segera menarik pria yang dipukulnya tadi dan membawanya kabur.
.
.
.
Isakan
tangisnya masih bisa kudengar, ia memeluk lututnya di atas sofa. Sudah
kuperintahkan ia untuk mengganti pakaiannya yang robek, namun ia menggelengkan
kepalanya. Mungkin ia masih merasa shock dengan perlakuan pria kasar tadi.
Untuk menenangkannya ku berikan secangkir cokelat hangat yang langsung ia
terima.
“ bolehkah aku tau namamu siapa? “
Ia menatap kosong cangkirnya, wajahnya kotor.
Penuh noda tanah basah, namun tak menghilangkan ketampanan parasnya. Meskipun
sudah kubalut dirinya dengan mantelku, namun aku masih saja bisa melihat bagian
tubuhnya yang putih mulus.
“ terimakasih kau sudah menolongku tuan. Panggil saja aku Roan “
“ ya baiklah, kau tinggal dimana? “
Ia menggelengkan kepalanya sambil terus
menatap kosong ke arah cangkir.
“ Aku tak memiliki rumah. Aku tinggal di klub malam dimana aku bekerja “
“ jadi apa yang dikatakan pria tadi benar? “
“ Ya, aku pria penghibur di klub malam “
Baru pertama kali ia menatapku seperti ini.
Matanya berwarna biru ke abu-abuan. Indah, tapi menggambarkan kepiluan yang tak
tertahankan. Ia memiliki bulu mata yang lentik dan ada setitik tahi lalat di
sudut matanya.
“ oh.. ok baiklah “
“ kau tak menyesal telah menolongku? “
“ tentu saja tidak, sudahlah jangan membahas hal ini. Kau perlu mandi.
Tubuhmu kotor, mari kuantarkan kau ke kamar mandiku “
Aku menolongnya untuk berdiri, selewat aku
mencium bau busuk tong sampah dari tubuhnya. Malang sekali pria ini.
Aku
tertegun melihat tubuhnya sekarang, berbalutkan kemeja merahku yang panjang.
Aku baru menyadari bahwa tubuhnya sangat kecil. Ia tak terlalu tinggi, mungkin
sepuluh sentimeter lebih pendek dariku. Kalian tahu, kemejaku yang sekarang ia
kenakan panjangnya hingga lutut. Ia menolak untuk memakai celanaku karena
memang tak ada yang cukup. Semuanya terlalu kebesaran. Alhasil ia hanya
mengenakan kemeja yang kebesaran ditubuhnya dengan celana dalam milikku.
Kalian pasti tahu bagaimana rasanya ada di
rumah yang sama dengan seorang pria manis yang memiliki tubuh sexy. Insting dan
jiwa gay akan diuji. Aku berusaha mati-matian untuk menahan nafsuku malam ini
pada Roan.
“ Apa kau yakin tak punya baju lain? “
Aku melihatnya sekilas, lalu ku alihkan lagi
perhatianku ke arah lain.
“ ya, semua bajuku seperti itu. Maaf “
“ ya, baiklah.. tak apa “
“ Kau bisa tidur di kamarku malam ini? “
Kataku sambil masih memalingkan wajah.
“ apa kita akan tidur berdua? “
Suaranya sedikit agak ragu, lebih tepatnya
mungkin malu.
“ ah tidak, aku akan tidur di sofa. Pakai saja kamarku, di kamarku ada
penghangat ruangannya jadi kau bisa tidur dengan nyenyak. “
Ia berlari ke arahku, memelukku dengan cepat.
Lagi-lagi dadaku berdebar dengan kencang. Aroma anggur ditubuhnya membuatku
mabuk kepayang. Aku suka aroma anggur, semua sabun di kamar mandiku berbau
anggur.
“ terimnakasih banyak, kita baru saja kenal tapi kau sudah berbuat baik
padaku. Harus dengan apa aku membalasmu? “
“ kau bisa melepaskanku dari pelukanmu, itu sudah cukup mungkin “
Kataku canggung. Roan melepaskannya, ia
membenarkan kembali bajunya yang kedodoran. Shit! Mataku malah melihat pahanya
yang putih mulus sekarang. Dibalik celana dalamku sudah ada yang mulai
menggeliat ingin keluar.
“ boleh aku tidur duluan? “
“ ya pergilah tidur, selamat malam. Semoga nyenyak “
Ia pergi dari hadapanku. Aku menghela nafas,
mengecek kebalik celana dalamku.
“ kau tak boleh nakal malam ini! “
Komentar
Posting Komentar