WINTER SADNESS (CHAPTER ONE)
HAI! FIKAR DATANG DENGAN CERITA BARU NIH GUYS. SEMOGA KALIAN SUKA DENGAN CERITA BARUNYA. SELAMAT MEMBACA..
*****
Butiran
salju turun dengan indah malam ini. Udara dingin telah terasa semenjak tiga
minggu yang lalu. Kulihat di balik jendela semua jalanan di depan rumahku
diselimuti oleh es. Gundukan es itu membuat beberapa orang enggan untuk
melakukan aktivitas seperti biasanya. Namun berbeda denganku. Aku begitu
menyukai musim salju. Menurutku salju itu sangat menyenangkan. Apalagi untuk
orang yang selalu kesepian sepertiku. Namaku Adrian Miller, usiaku baru saja
menginjak tujuh belas tahun bulan lalu. Aku terlahir dari keluarga Miller.
Keluargaku cukup kaya, ayahku pemegang perusahaan terbesar di kota. Ibuku juga
seorang dokter gigi.
Aku memiliki saudara kembar, namnya
Stefan Miller. Meskipun kami kembar, namun kami sangat berbeda seratus delapan
puluh derajat. Mungkin wajah kami mirip, namun kakaku lebih sempurna dariku.
Stefan memiliki kecerdasan di atas
rata-rata. Ia begitu pintar sehingga ia sering menjuarai olimpiade sains dan
matematika. Ia selalu menjadi kebanggaan orang tuanku. Sedangkan aku? Aku hanya
anak laki-laki pengidap penyakit disleksia yang tak berguna.
Itulah mengapa aku sering dibedakan
oleh kedua orang tuaku. Aku menderita disleksia semenjak kecil. Aku tak bisa
membaca dan menghitung secara baik. Maka dari itu aku sering dianggap sebagai
anak bodoh oleh teman-teman bahkan keluargaku sendiri. Aku selalu mendapatkan
ranking terakhir di sekolah. Berbeda dengan Stefan, saking pintarnya ia bisa
menyelesaikan sekolahnya hingga akhirnya bisa kuliah dengan cepat. Aku sering mendapatkan
nilai merah dalam raporku.
Seperti
halnya minggu lalu, saat pembagian rapor terakhir di sekolahku. Jantungku
berdebar dengan kencang karena hari itu hari kelulusanku. Selama beberapa
minggu sebelumnya aku telah berusaha belajar sekeras mungkin, namun hasilnya
nihil. Aku memang lulus dari sekolah menengah atasku, namun dengan nilai yang
sangat minim. Hingga akhirnya aku kembali mendapatkan pukulan keras dipunggung
dari ayahku. Lagi dan lagi, aku menangis di kamar. Aku menangis bukan karena
kesakitan akibat pukulan dari ayahku. Pukulan-pukulan itu sudah bisasa
kudapatkan. Aku menangis karena tak bisa menjadi kebanggaan kedua orang tuaku
seperti Stefan.
Ayahku
mendaftarkan diriku di Universitas yang sama dengan Stefan. Sebenarnya aku
ingin memilih universitasku sendiri. Aku ingin kuliah di Music Art
University, aku begitu cinta dengan musik. Mungkin itu satu-satunya bakat
yang aku bisa. Nilai praktek sekolahku di bidang musik selalu mendapatkan yang
terbaik. Namun ayah menginginkanku untuk kuliah mengambil jurusan bisnis
seperti Stefan.
Besok
aku harus pergi meninggalkan rumahku dan tinggal bersama Stefan di apartemen
yang telah dibelikan oleh ayah untuk kami berdua. Aku harus mempersiapkan
diriku menuju duaniaku yang baru. Aku harus siap dengan segala rintangan hidup
yang akan datang. Aku juga harus bisa menyembunyikan penyakit disleksia ku.
Satu hal yang terpenting yang tak akan pernah aku lupakan, aku tak boleh
berdekatan dengan Stefan karena ia pasti akan malu apabila semua temannya tau
kalau aku adalah kembarannya.
Yah
beginilah hidupku, tak pernah lepas dari penderitaan. Sejak dua jam lalu aku
sudah membereskan semua barangku ke dalam koper. Hanya tinggal satu yang belum
aku bawa. Buku diariku. Buku diari ini pemberian dari teman terbaik yang pernah
aku miliki. Namanya Thomas, usianya sama denganku. Thomas dulu tinggal di
sebrang jalan rumahku. Ia tinggal bersama neneknya, sedangkan orang tuanya
bekerja di inggris sebagai jurnalis disalah satu stasiun televisi disana.
Kami
berdua berteman baik cukup lama. Selama dia berada disini, Thomaslah
satu-satunya orang yang mengerti keadaanku. Namun kami harus berpisah ketika
nenek Thomas meninggal dunia. Ia harus kembali tinggal bersama kedua orang
tuanya di Inggris. Ia memberikanku sebuah buku diari berwarna hitam yang begitu
tebal. Aku masih mengingat kata-kata terakhirnya untukku
“ Adrian, maafkan aku karena aku tak bisa menemanimu
lagi. Aku harus kembali tinggal bersaqma kedua orang tuaku. Ini, terimalah
hadiahku yang terakhir kali ini untukmu. Kau booleh menulis apapun dalam buku
diary ini. Jika kau sedang sedih ceritakan semuanya dalam buku diary mu ini.
Anggap saja buku ini adalah diriku yang akan selalu mendengarkan
cerita-ceritamu. “
Ya, dialah satu-satunya kebahagiaan yang pernah aku
miliki selama ini.
.
.
Makan
malam sudah tersedia dimeja makan, ayah dan ibu sudah menunggu disana. Malam
ini Stefan akan pulang ke rumah untuk menjemputku menuju apartemen yang akan
kami tinggali berdua. Aku berjalan menuruni tangga, ayah menatapku dengan
tatapan jijiknya dan kembali fokus dengan koran yang sedang ia pegang. Ibu
hanya tersenyum padaku sambil menepuk-nepuk kursi yang ada di sampingnya untuk
kududuki.
“ Selamat malam dad
“ aku duduk sambil menyapa ayahku.
“ hhmmm.. “
Hanya itulah jawaban darinya. Aku sudah terbiasa dengan
semua ini.
“ kau akan pergi
malam ini Adrian, ibu harap kau baik-baik saja disana. Jaga kesehatanmu ya.
Jangan merepotkan kakamu. “ ibu mengusap surai hitam milikku dengan lembut.
Aku mengangguk menandakan iya.
Bunyi lonceng pintu rumahku berbunyi. Udara dingin di
luar segera masuk ke dalam rumahku di sela-sela terbukanya pintu. Stefan
berdiri, mengenakan mantel hitam tebal dengan menggendong tas di punggungnya.
“ aku pulang.. “
katanya sambil tersenyum pada ayah dan ibu. Mungkin juga padaku.
“ my hero!
Welcome home my dear.. “ ayahku berdiri lalu memeluknya. Pelukan yang tak
pernah aku dapatkan.
Ibuku juga berdiri dan memeluk Stefan dengan erat, aku
mendekatinya dan menyodorkan tanganku untuk menyalaminya. Ia hanya memandangku dengan
tatapan biasanya.
“ lama tak bertemu
Adrian. “
Hampa, tangannya tak berbalik untuk menyalamiku. Ia
langsung duduk disamping ayah. Aku menelan ludah dan kembali duduk di samping
ibuku.
“ perjalananmu
pasti melelahkan. Ayo makan “
Stefan mengangguk, ia tak berbicara apapun pada ayah.
Stefan mengambil kimchi lalu memakannya dengan enggan. Selama makan malam ini
tak ada pembicaraan yang spesial diantara kami. Pertanyaan ayah hanya dijawab
secukupnya oleh Stefan.
“ Stefan, kau harus
mendidik adikmu untuk menjadi orang yang lebih berguna. Didiklah ia agar bisa
sepertimu. Jangan seperti anak lembu yang bodoh. Hanya bisa bermain alat musik
dan bernyanyi. Seperti anak TK “ Kata-kata itu kembali menyayat hatiku.
Stefan bangun seraya memundurkan kursinya, tatapannya kosong.
“ aku tak suka ayah
berbicara seperti itu. Adrian sama denganku “
“ apa maksudmu?
Jelas kalian berbeda. Kau lebih baik dari segalanya ketimbang anak bodoh ini “
Ayah menatapku dengan tatapan murkanya seakan ingin melahapku dengan hidup-hidup.
“ cukup ayah! Maaf,
aku jadi tak berselera untuk melanjutkan makanku. Maaf aku akan pergi tidur. “
Stefan
berlari menaiki tangga menuju kamarku. Ia menutupkan pintunya dengan kencang.
Aku hanya merunduk dengan memakan hidangan dipiringku yang tersisa sedikit
lagi. Ayah bangkit dari duduknya lalu pergi meninggalkan aku dan ibu. Ibu hanya
mengusap punggungku dengan halus lalu pergi mengikuti ayah. Ayam goreng
terakhirku yang sudah aku kunyah dengan halus enggan untuk masuk dalam
tenggorokanku. Aku tak percaya Stefan akan membelaku dan marah pada ayah
seperti itu. Biasanya jika ayah menjelekanku padanya ia hanya akan terdiam
sambil menatapku tajam. Baru kali ini aku melihatnya seperti itu.
Selesai
membereskan semua piring di atas meja dan mencucinya. Aku memasuki kamarku.
Stefan sedang duduk menghadap jendela. Menatap bola-bola salju yang turun dari
langit malam yang gelap. Aku duduk di lantai kayu kamarku membelakanginya.
“ kenapa kau tak
melawan? Kenapa kau selalu terdiam jika ayah berbicara seperti itu di
hadapanmu? “
Suaranya terdengar bergetar.
“ ah tak apa. Apa
yang di katakan ayah memang benar adanya Stefan. “
“ Aku membencimu
Adrian! Kau tahu? Aku sudah bosan mendengar kembaranku sendiri dicaci maki oleh
ayahku. Bisakah kau melawan perkataan ayah dan berkata ‘aku bukan orang yang
ayah pikirkan’ apa kau tak bosan dengan kehidupan seperti ini? Tak ada yang
akan melindungimu di dunia ini. Jika kau tak bisa berkutik dan menjaga dirimu
sendiri maka kau akan kalah dari semuanya. Ayolah jangan terus hidup seperti
ini. “
Aku tersenyum miris. Apa yang dikatakan oleh Stefan
memang benar. Tapi aku tak bisa melakukannya. Aku.., aku terlalu lemah untuk
melakukan itu semua.
“ Sudahlah.
Sebaiknya kau cepat tidur. Pagi nanti kita akan pergi dari sini. “
*****
SUDUT PANDANG
PENULIS
Jalanan
penuh dengan salju pagi ini. Burung-burung enggan untuk terbang, mereka memilih
berdiam diri di dalam sangkar bersama anak-anaknya. Meskipun matahari
menampakkan dirinya dengan cerah namun itu tak berpengaru pada suhu udara hari
ini. Adrian sedang duduk di jok mobil sambil mendengarkan lagu dari headphone
nya. Mata cantiknya menatap jalanan dengan tatapan kosong. Ia sedang memikirkan
kejadian semalam yang tak terduga. Kata-kata Stefan semalam masih terngiang di
telinganya. Hingga akhirnya sentuhan tangan Stefan menyadarkan dirinya.
“ kita sudah sampai “
Ucapnya
dengan tatapan dingin. Adrian mengangguk lalu melepaskan sabuk pengamannya.
Udara dingin langsung menerpa kulit putih Adrian. Mantel bulu cokelat yang ia
kenakan begitu cocok. Wajahnya yang manis terlihat sedikit bercahaya pagi ini.
“ ayo masuklah, ini akan menjadi tempat tinggal kita
berdua untuk beberapa tahun kedepan. Aku sarankan kau cepat masuk jika tak
ingin kena hipotermia “
Adrian
mengangguk dan mendorong kopernya memasuki rumah besar.
Rumah ini cukup luas untuk
ditinggali hanya dua orang saja. Halamannya besar, mungkin bunga-bunga indah
bisa tertanam dengan baik jika musim salju sudah berakhir nanti. Rumah besar
ini berada di pinggir jalan dekat dengan kota. Gaya rumah ini begitu klasik.
Stefan merawat rumah ini dengan baik selama satu tahun terakhir.
“ kamarmu berada di sebelah kamarku di lantai atas. Sini
biar aku saja yang membawa kopermu. Kau bisa melihat bagian rumah yang lainnya.
“
Stefan
menaiki tangga dengan membawa dua koper yang lumayan besar milik Adrian. Tak
lupa gitar putih milik Adrian ia sampirkan di tubuhnya. Adrian mulai
mengedarkan pandangannya kembali ke seluruh penjuru ruangan. Ia berjalan menuju
halaman belakang rumah. Disana ia melihat taman yang luas. Jika musim semi
nanti mungkin bunga akan banyak tumbuh dihalaman. Ia kembali memandang langit,
cukup cerah pagi ini meskipun matahari malu dan bersembunyi dibalik awan.
Melihat
butiran salju turun dengan perlahan mengingatkannya pada masa lalu. Dulu ketika
Adrian berusia lima tahun ia pernah mengalami kejadian yang memilukan. Waktu
itu, ia tak sengaja mendorong Stefan hingga terjatuh dan pingsan. Hal ini
membuat dirinya mendapatkan pukulan dari ayahnya. Ia dipukul dengan sapu
dibagian punggungnya hingga berdarah. Tak sampai disitu, Adrian dikunci diluar
rumah. Padahal saat itu salju sedang turun dengan lebat.
Ia hanya bisa menangis,
kedinginan dan nyeri yang ia rasakan bercampur aduk menjadi satu. Saking
dinginnya, darah yang mengalir dipunggungnya menjadi kering dengan cepat,
bahkan membeku. Namun seseorang datang menghampirinya. Seorang pria lebih tepatnya, umurnya tak jauh
berbeda dengannya. Ia mengenakan mantel berbulu yang hangat. Wajah pria itu
sangat manis dengan dimple dipipinya. Ia memberikan selimut tebal pada
Adrian sambil tersenyum manis menunjukkan kedua dimple nya.
“
orang tuamu sangat jahat, ini kuberikan selimutku untukmu. Semoga selimut ini
bisa menghangatkanmu. Namamu siapa? “
“
namaku Adrian, terimakasih sudah meminjamkanku selimut ini “
“
Namaku Evan, gunakan selimut itu agar kau tak kedinginan. Kalau begitu aku
pergi dulu. Aku takut ibu akan memarahiku jika aku lama diluar sini “
Anak bernama Evan itu berlari
menjauh meninggalkan Adrian yang masih menggigil dibalik selimut tebal pemberiannya.
Memori itu tak bisa menghilang dari ingatan Adrian. Sampai saat ini ia masih
mengingat wajah manis Evan dengan kedua dimple di pipinya. Lamunannya
kembali tersadar ketika Stefan menepuk pundaknya
“
sebaiknya kau makan dulu. Setelah itu terserah padamu akan melakukan apa, kau
bisa pergi ke kota untuk melihat suasana ramainya. Aku akan tidur jadi
kusarankan kau untuk tidak mengangguku. Jangan menyusahkanku “ Stefan kembali
menuju kamarnya dengan langkah gontai.
Sikapnya menjadi dingin kembali
seperti bongkahan es.
*****
SUDUT
PANDANG ADRIAN
Suasana
kota tidak seperti yang aku bayangkan. Banyak orang ramai berlalu lalang
dijalanan. Orang-orang itu memakai pakaian serba tebal sama sepertiku. Aku tak
tahu berapa suhu hari ini, namun yang kurasakan udara hari ini begitu dingin,
cukup untuk mendinginkan segelas kopi yang kupegang dengan cepat. Setelah
melahap bubur di rumah baruku itu aku memaksakan diri untuk pergi menuju kota.
Awalnya aku enggan untuk pergi karena cuaca yang begitu dingin. Namun hasrat
untuk melihat megahnya pusat kota mengalahkan rasa dingin yang kurasakan.
Setelah dua puluh menit aku berjalan di kerumunan banyak orang, aku menemukan
sebuah tempat yang menarik perhatian. Sebuah wahana permaianan begitu menarik
diriku untuk mengunjunginya.
Disana aku melihat banyak anak
bercanda ria bersama kedua orang tuanya. Menaiki beberapa wahana sambil
memegang secangkir cokelat panas di tangan-tangan mungil mereka. Ketika aku
sedang asyik mengamati anak-anak yang berlarian, tiba-tiba seseorang menabrakku
hingga membuat aku terjatuh ke tanah yang bersalju.
Bokongku
terbentur cukup keras dan sensasi dingin yang menyengat membuat bulu tengkukku
berdiri. Seorang pria dengan tubuh tinggi segera berjongkok dihadapanku meminta
maaf.
“
maafkan aku, aku tak sengaja menabrakmu “
Suara bass itu terdengar lembut,
membuat diriku terpana. Seorang pria dengan hidung mancung dan bibir joker
berwarna peach berada dihadapanku sekarang. Pria itu mengenakan mantel
berwarna abu-abu tebal. Sebuah earphone menutupi telinganya. Pria itu
membantuku untuk bangun. Tangannya terasa begitu lembut saat bersentuhan dengan
tanganku.
“ kau
tidak apa-apa? “
“ ya
aku taka pa “ jawabku singkat.
Bukannya tak ingin berbicara
banyak, namun aku malu padanya.
“
baiklah kalau begitu, maaf aku harus pergi mencari kakaku “
Pria itu berlari meninggalkanku,
menghampiri seorang pria lain di depan sana. Pria itu sedikit mirip dengannya,
mungkin itu kakanya. Aku memalingkan wajahku lalu pergi.
Komentar
Posting Komentar