CHILDHOOD (Finished)
Pintu dan jedela kamar sudah
kututup rapat-rapat. Lampu kamar juga sudah kumatikan. Ku rebahkan tubuhku yang
sedikit lelah ini di kasur berbahan kapuk yang sedikit keras. Pandangan yang
gelap membuat pemikiranku pergi kemana-mana. Perintah untuk segera pulang
kembali ke Jakarta esok hari membuat hatiku sedikit berat.
Apalagi jika mengingat kembali
wajah habib saat tadi berpisah denganku. Wajahnya seperti memohon aku untuk
tidak pergi secepat ini. Beberapa hari berada di kampung dan bertemu dengannya
membuat diriku semakin yakin. Aku telah jatuh kedalam jurang cintanya. Aku
mengakui itu, terbukti dengan selalu berdebarnya hatiku apabila dekat
dengannya.
Duk! Suara jendela kayu kamarku terdengar. Sakli lagi suara itu datang.
Aku singkapkan selimutku dan kubuka jendela. Habib berdiri sambil memandangku.
Ia mengenakan celana sayur hitam dengan baju putih tipis tanpa lengan.
“Kamu sedang apa Bib? Gak
dingin?”
Habib mengusp-usap lengannya sambil menyernyih.
“Ayo masuk, pintu depan sudah
dikunci. Kamu lewat jendela kamarku saja”
Habib menghampiri sedikit berlari, tangannya yang kuat meraih tepian
jendela lalu mengangkat tubuhnya. Dengan sekejap kini dia sudah berada di
kamarku. Setelah itu aku kembali menutup jendela kamarku.
“Maaf jika saya mengganggu kamu
Du”
“Enggak apa-apa, kebetulan aku
belum tidur. Kamu kenapa si Bib? Malam-malam lempar jendela orang”
“Saya gak bisa tidur, jadi ya
saya mau kesini. Ngobrol sama kamu sebelum kamu pergi besok” katanya sambil
duduk di tepian kasurku.
Tubuhnya sedikit menggigil, ia kembali mengusap-usapkan telapak
tangannya di lengan. Aku mengambilkan selimut tambahan di lemari. Kulemparkan
ke arahnya, dia menatapku bingung.
“Selimutkan itu ditubuh kamu
Bib, kamu kedinginan kan?”
“terima kasih”
Aku duduk disampingnya. Lalu kuarahkan tanganku ke saklar untuk
menyalakan lamupu kamar.
“Jangan, biarkan saja gelap
seperti ini”
“kamu yakin? Nanti kamu gak
bisa liat apapun loh”
Dia diam, aku kembali merebahkan
tubuhku di kasur.
Habib duduk memunggungiku. Ia tak
bergerak sama sekali. Keheningan malam menyelimuti kami berdua. Beberapa menit
dalam keadaan diam akhirnya Habib bergerak. Ia merebahkan tubuhnya di
sampingku.
“kamu izinkan saya tidur disini
malam ini kan?”
Aku terkejut, tapi aku merasa sedikit senang juga karenanya. Aku tak
menjawab.
“Besok kamu pulang kan? Jam
berapa?” tanya nya.
“Mungkin jam tujuh”
“Kapan kamu kembali lagi?”
“Entahlah, kemungkinan besar
aku tidak akan kembali kesini lama”
Habib menengokkan kepalanya kearahku. Aku merasakan tangannya menyentuh
tanganku dengan ragu.
“Saya senang bisa ketemu kamu
lagi Pandu”
“Saya juga”
Setelah itu tak ada pembicaraan lain diantara kami berdua. Hingga pada
akhirnya aku mendengar dengkuran lirih darinya. Ia tertidur pulas, tubuhnya
meringkuk kedinginan. Ku tarik selimut hingga menutupi lehernya.
.
.
Suara ketukan pintu yang keras
membangunkanku.Aku terperanjat dan menengok ke samping. Mengecek keadaan Habib.
Tetapi mataku tak menemukannya. Hanya secarik kertas yang kutemukan.
Selamat pagi,
Maaf saya tidak memberitahu
kamu dulu.
Aku harus kembali pulang
karena pekerjaanku
Menunggu.
Sampai jumpa lagi Pandu.
Saya pasti merindukan kamu..
Habib
Ngilu hatiku ketika membacanya. Malam tadi adalah pertemuanku yang
terakhir mungkin dengan habib. Kulipat kembali secarik kertas itu, lalu aku
sisipkan dalam tasku.
“A Pandu, enggal geura gugah. Itu mobil tos ngantosan
A Pandu”
(Kak Pandu cepat bangun, mobil sudah menunggu di depan)
Suara memeking Rian terdengar nyaring di telingaku. Kujawab dengan meneriakan
kata ‘ya’ sambil bangun dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi.
Bayangan akan habib
terus berputar di kepalaku. Semua memoriku dengannya sejak kecil hingga kemarin
bermunculan kembali dan itu membuat hatiku semakin berat. Sampai saat mobilku
melaju meninggalkan rumah nenek, hatiku terus saja terpaut dengan Habib.
Beberapa kali aku menengok kebelakang, namun aku tak menemukan Habib berlari
mengejar mobilku. Ternyata adegan di sinetron tidak benar-benar nyata dalam
kehidupanku.
******
DUA
BULAN KEMUDIAN
Seperti biasa,
kemacetan Kota Jakarta membuatku stress berat. Jam menunjukkan pukul tujuh
malam dan aku masih berada dalam mobil. Dengan peluh yang membasahi kemeja, aku
tetap konsentrasi dalam mengemudi.
Malam ini ayah dan ibuku tidak akan ada di rumah. Mereka pergi ke Jogja
untuk mengurusi pekerjaan ayah. Itu sebabnya tadi di kantor aku harus bekerja
ekstra. Sebenarnya malam ini aku ada ajakan untuk pergi ke pesta ulang tahun
temanku. Tapi, aku terlalu merindukan sofa empukku dan film-film yang belum ku
tonton.
Kemacetan akhirnya
bisa kulalui. Jalanan mulai lancar kembali dan aku buru-buru menginjak gas. Aku
tak mau macet kembali menghampiri mobilku lagi. Aku sampai di rumah. Keadaannya
gelap gulita. Mungkin ayah dan ibu lupa untuk menyalakan lampu sebelum mereka
pergi.
“Ayah dan ibu sudah pergi pak?”
Tanyaku kepada pak Supri satpam rumah.
“Sudah mas, tadi siang”
Aku langsung masuk kedalam rumah. Aneh sekali, pintu rumah tak
terkunci. Mungkin ayah dan ibuku sengaja membukanya.
Lampu ruang tengah
masih padam. Jendela pun masih terbuka hingga tirainya melambai-lambai terbawa
angin. Mataku menatap ke lantai dua. Kamarku terbuka lebar dengan lampu yang
menyala. Siapa yang masuk ke kamarku?
Buru-buru aku menaiki tangga untuk melihat keadaan kamar. Tak ada yang
berubah. Hanya saja jendelanya terbuka.
Tunggu, aku melihat ada benda yang menggantung di jendela kamarku yang
terbuka. Itu dream catcher. Ku
lepaskan dream catcher yang
menggantung itu. Disana ada selembar kertas warna yang dilipat menjadi kotak
kecil. Kugunting kertas itu dari tali yang menggantungnya, lalu kubaca tulisan
didalamnya dengan cermat.
Maafkan
saya jika waktu itu kamu menunggu kedatangan saya.
Saya
sebenarnya ingin mengatakan sesuatu waktu itu. Namun ketika saya tiba di rumah,
nenek bilang kamu sudah pergi.
Pandu,
saya menulis ini dengan mengumpulkan keberanian sebesar mungkin. Jujur, sulit
sekali bagi saya untuk mengatakan ini. Tapi saya rasa sudah saatnya saya
mengatannya. Sudah saatnya kamu tahu bahwa sebenarnya saya mencintai kamu.
Perasaan
ini datang ketika dulu kamu pergi meninggalkan saya dengan yang leinnya.
Semakin tua usia saya, saya semakin mengerti bahwasanya perasaan rindu dan
kehilangan yang saya rasakan itu disebabkan karena rasa cinta.
Ketika
saya bertemu denganmu dua bulan yang lalu, saya merasakan ada sebuah cahaya
yang datang kembali dalam hidup saya. Saya bersyukur bisa menatap wajahmu
kembali Pandu.
Dengan
surat ini, saya ingin eminta maaf apabila dua bulan yang lalu saya tidak
menemui kamu untuk yang terakhir kalinya. Lalu, dengan surat ini pula, saya ingin menyatakan bahwa saya
mencintai kamu..
Habib
Kertas yang telah selesai kubaca
terbang terbawa angin. Kertas itu melayang ke arah belakang. Aku berbalik untuk
mengejarnya, dan aku melihat seseorang.
Berdiri tegap dengan mengenakan
kemeja dan celana jeans abu-abu. Tersenyum sambil memegang selembar kertas yang
tadi terbang. Habib memberikan senyumnya untukku.
“Saya kembali untuk mengambil anak cengeng yang saya cintai.”
Ia membuka lengannya lebar-lebar
dan aku berlari memeluknya.
Komentar
Posting Komentar