CHILDHOOD (Bagian 1)
Udara segar dari pesawahan
akhirnya bisa kuhirup dengan leluasa. Usai sudah polusi jahat mendekam di paru-paruku. Kini polusi-polusi itu akan
kuganti dengan udara segar dari desa Sukasari yang menjadi tempat tinggalku
saat kecil dulu.
Sudah lima belas tahun aku meninggalkan desa penuh
kenangan ini. Saat usiaku menginjak angka sepuluh, aku harus pergi meninggalkan
desa ini untuk tinggal bersama orang tuaku di Jakarta. Dulu aku tinggal disini
bersama nenekku. Ibu dan ayah menitipkanku disini karena mereka yakin bahwa
desa ini akan membawa dampak baik bagi masa depanku, dan itu terbukti. Semasa
kecil nenek mendidikku dengan baik. Aku diajarkan untuk tidak menjadi manja seperti
anak-anak kota yang bergelimangan harta. Disini aku diajarkan untuk pergi mandi
sendiri ke sungai di usia yang terbilang masih kecil.
Selain itu nenek juga mengajarkan
bahwa alam itu adalah segalanya. Nenek selalu mengatakan bahwa hidup dan mati
kita tergantung kepada alam. Kita hidup dari alam dan akan kembali mati menyatu
dengan alam. Biasanya nenek berbicara seperti itu di sela-sela pekerjaannya
mengurusi tanaman umbi-umbiannya di sawah.
Oh iya, perkenalkan namaku Pandu.
Kini usiaku dua puluh lima tahun. Aku baru saja menyelesaikan studiku di
universitas. Mengambil jurusan menejemen bisnis dan lulus dengan cepat serta
mendapatkan predikat cumlaude. Itu
semua aku dapatkan berkat dukungan kedua orang tuaku dan juga nenek. Sekarang
aku sudah memulai kehidupan baruku menjadi seorang staff di perusahaan ayah.
Ayahku bilang bahwa aku harus mulai belajar
memegang perusahaan karena sebentar lagi ayah akan berhenti dari pekerjaannya.
Ayah akan memberikan seluruh beban perusahaannya ke pundakku. Awalnya aku
merasa tak yakin dengan keputusan yang ayah berikan, tapi setelah dipikir dua
kali aku memang harus melakukannya.
Aku memulai pekerjaanku dua bulan
yang lalu. Ayah langsung memberikan semua pekerjaannya kepadaku. Aku
sudah mulai belajar mengatasi masalah proyek yang sedang dikerjakan oleh
perusahaan ayah dengan perusahaan lain dari luar negeri. Pekerjaan yang ayah
berikan ini cukup berat bagiku yang baru saja lulus S1. Siang dan malam aku
harus bekerja ekstra mengurusi proyek itu. Hingga pada akhirnya proyek itu
berhasil dan membaya keuntungan besar bagi perusahaan ayah. Sebagai hadiah atas
keberhasilanku itu, ayah memberikanku waktu luang untuk berlibur. Itulah
mengapa sekarang aku berada disini. Aku memang lebih memilih berlibur ke
kampung halamanku ketimbang pergi ke luar negeri. Kampung halaman terasa lebih
indah dan damai menurutku.
.
.
“ A Pandu, hayu atuh uih ka bumi. Nenek tos ngantosan “
Kata Rian adik sepupuku sambil menarik lenganku
dengan paksa. Mengajakku pulang ke rumah karena nenek sudah menunggu.
“ iya, ayo
kita pulang ke rumah “
Akhirrnya aku melangkahkan kakiku untuk pergi ke
rumah dan bertemu dengan nenek.
Butuh waktu lima menit bagiku
untuk menuju rumah nenek dari pelataran sawah tadi. Rumah nenek masih saja tetap
sama. Rumah bergaya panggung dengan dinding berlapiskan bilik kayu dan papan
yang di cat cokelat. Rumah itu masih berdiri kokoh dan tidak reyot. Nenek
mengurusnya dengan sangat baik.
Dari luar rumah, aku bisa melihat nenek yang sedang
duduk di kursi goyangnya. Mengenakan kacamata dan sedang
merajut sesuatu. Aku mengucapkan salam ketika melewati ambang pintu. Nenek
menyimpan rajutannya lalu membalas salamku seraya tersenyum. Aku menyalami
tangan nenekku yang sudah keriput itu. Wangi tubuh nenek yang khas menyeruak
kedalam hidungku. Membuat aku mengingat kembali masa kecil dulu saat aku
dipeluk olehnya jika sedang menangis.
“ nenek
apakabar? “
“
Alhamdulillah nenek sehat, gimana kamu? Sehat juga kan? “
“ ya yang seperti nenek lihat sekarang, Pandu
sehat nek “
“ cucu
nenek sudah
jadi pemuda yang tampan sekarang ya, makin cakep “
“ emang
dulu A Pandu jelek ya nek? “ celetuk Rian adik sepupuku yang kini tinggal
bersama nenek.
“ ya enggak
lah, cucu-cucu nenek semuanya cakep. Gak ada yang jelek “
“ Berarti
Rian juga cakep ya nek “
“ iya kamu
cakep, tapi lebih cakep A Pandu “ celetukku yang disambut tawa renyah nenek.
“ Ya sudah,
sekarang kamu pergi ke kamar. Bereskan barang-barang kamu terus makan. Nenek sudah
masakkan sayur lodeh kesukaan kamu sama tempe bacem “
“ iya nek “
“ Rian,
bantu A Pandu bereskan kamar ya “
“ siap
laksanakan Nek! “ Pandu memberikan hormatnya kepada nenek lalu mengambil tasku
menuju kamar dengan susah payah karena keberatan.
*****
Setelah kenyang dengan dua mangkuk
sayur lodeh buatan nenekku, aku memutuskan untuk pergi keluar rumah. Aku ingin
kembali menikmati keindahan desaku yang tadi sempat terganggu. Setelah
berpamitan kepada nenek dan mengambil gadget di tas aku berjalan keluar seorang
diri. Tadinya aku meminta Rian untuk menemaniku, tetapi Rian menolak karena ia
harus mengaji sore ini di rumah Pak Asep guru ngajiku dulu.
Aku
kembali menyusuri petak-petak sawah yang kini padinya sudah mulai menguning.
Beberapa petani ada yang masih bekerja memanen. Ada juga yang sudah membenahi
diri dengan membersihkan baju mereka dari tanah dengan air sungai yang mengalir
dengan jernih. Aku mengenal beberapa petani yang masih bekerja, seperti Mang Kiki, Mang Ibah, Bi Nenden, dan ya masih
banyak lagi.
Aku sempat bertegur sapa dengan
mereka, membicarakan masalah panen dan kehidupan mereka di sini ketika aku
tiada. Ternyata banyak sekali kejadian yang ku lewatkan. Seperti misalnya salah
satu kabar yang disampaikan Bi Nenden kepadaku. Agus, teman kecilku dulu yang
hobinya ngupil kini tengah dibui. Seminggu yang lalu ia digerebeg polisi dalam
rumah kontrakannya dengan sang pacar saat melinting ganja. Aku tidak percaya
awalnya karena dulu Agus adalah anak yang baik. Dari wajahnya pun tak pernah
terbayang ia akan tumbuh dewasa sebagai pecandu ganja. Tapi Mang Kiki membenarkan kabar itu
karena dia melihat dengan mata kepalanya
sendiri ketika si polisi menyergap Agus. Stelah bercakap-cakap agak lama
membahas perihal si Agus akhirnya aku kembali meneruskan langkahku. Dari
kejauhan aku melihat satu pohon besar yang memiliki banyak kenangan bagi masa
kecilku. Aku segera mempercepat langkah kakiku menuju pohon itu. Dengan
tersaruk-saruk aku menuju kesana dan akhirnya aku tiba dibawah pohon itu.
Pohonnya masih tetap sama, besar dan
kuat. Aku menelusuri batangnya yang lebar. Mencari sesuatu, setelah memicingkan
mata dan memperhatikannya dengan cermat akhirnya aku menemukan sesuatu yang
kucari. Tulisan tangan yang aku goreskan di pohon ini ternyata masih ada. Hanya
saja sudah tertutup dengan lumut. Dulu ketika usiaku masih kecil, aku memiliki
lima sahabat yang selalu bersamaku. Mereka itu Agus, Karim, Emi, Siti, dan
Habib. Aku menuliskan nama mereka di batang pohon ini. Membaca nama-nama itu
aku jadi rindu dengan mereka. Aku baru saja tahu kabar mengejutkan dari Agus
tadi, sedangkan yang lainnya entahlah. Apakah mereka masih ada di desa ini aku
juga belum tahu, besok akan kupastikan untuk bertemu dengan mereka satu
persatu.
Aku menengadah ke atas, lalu aku
tersenyum ketika melihat rumah pohon yang kami buat berlima juga masih ada
disana. Terlihat sedikit usang namun sepertinya masih kuat. Dengan hati-hati
kunaiki pohon itu melalui lubang-lubang yang sengaja kami buat di sisi pohon
dulu. Dengan susah payah akhirnya aku sampai di atas. Aku kembali menginjakkan
kaki di lantai kayu rumah pohon itu. Keadaannya tak berubah, sama percis
seperti sepuluh tahun saat aku tinggalkan. Gambar peta indonesia yang sudah
robek disana sini masih tertempel. Poster-poster group band luar negeri yang
kami pulung di jalanan juga masih terpaku. Di sudut ruangan, aku melihat sebuah
kotak kayu yang dilapisi dengan kain spanduk partai politik yang sudah kotor.
Aku berjalan menghampirinya, dengan perasaan penasaran kubuka kotak itu.
Tangisku langsung pecah ketika melihat isi dari kotak itu. Rasa rindu langsung
mengetuk-ngetuk jiwaku seolah meronta ingin keluar.
Aku menemukan foto kami berenam
disana. Selain itu mainan-mainan kami dulu waktu kecil juga ada. Enam pistol dari
kayu dan karet yang dibuatkan ayah Karim, dua boneka usang milik Siti dan Emi
yang terbuat dari kain sisa jahitan yang tidak terpakai, ketapel milikku dan
Habib, mobil-mobilan kami yang terbuat dari kaleng dan sendal jepit sebagai
rodanya, semuanya ada. Bahkan secarik kertas cinta yang dulu dituliskan Emi
untuk Karim juga ada. Aku mengambil kertas itu untuk kubaca, aku ingin
mengingat kembali ketiku dulu menertawakan Emi yang malu-malu memberikan ini
kepada Karim. Tetapi, aku terhenti karena suara seseorang mengitrupsiku. Aku
menoleh ke arah suara itu dan melihat seorang lelaki yang berdiri di ambang
pintu rumah pohon ini.
Lelaki itu berpakaian lusuh, penuh
noda hitam. Wajahnya coreng moreng, menutupi kulitnya yang putih. Wajahnya
sekilas mirip orang-orang pakistan lengkap dengan hidung yang mancung. Otot biseps
yang terbentuk dengan alami mencuat dari lengan bajunya yang kotor dan
menjijikan itu. Aku belum pernah melihat orang ini sebelumnya.
“ Pandu? Kamu teh Pandu pan
nya? “ tanya
nya dengan logat sunda yang kental.
“ iya Saya Pandu, kamu siapa? “
Dengan
mengejutkan orang itu berlari ke arahku dan memelukku. Kelakuannya itu membuat
lantai rumah pohon sedikit berguncang. Ia memelukku dengan erat, jujur aku
sedikit jijik karena kotoran di bajunya kini juga menempel di bajuku. Bau
keringatnya menyeruak kedalam hidungku, seperti menusuk-nusuk dengan kasar.
“ Gusti nu agung, kamana wae atuh
kamu teh. Saya
rindu sama kamu Pandu “ katanya dengan sedikit terisak. Aku menariknya untuk
tidak lama-lama memelukku.
Wajahnya
sedikit basah karena air mata, noda hitam di wajahnya semakin berantakan.
“ Tunggu, kamu siapa? “
Ia
tertawa lalu merunduk malu.
“ Wajah saya terlalu kotor ya sampai kamu
tidak mengenali saya. Saya Habib “
Aku
terperangah ketika nama Habib disebutkan. Ternyata pria tinggi yang berdiri
dihadapanku ini Habib sobat kecilku. Si anak kampung berwajah timur tengah yang
dulu senang sekali mencuri buah mangga di kebun milik Pak Maman. Aku kembali
merangkul tubuhnya, aku menepuk-nepukan tanganku dipunggunya. Kini juga aku
ikut menangis, rasa rindu yang tadi kurasakan sedikit berkurang setelah
berpelukan dengannya.
“ Kapan kamu datang Pandu? “
“ Tadi jam tiga Bib, maafkan saya ya karena
tidak kenal kamu sama sekali tadi. Habisnya kamu berubah banget, dulu kamu kan
lebih pendek dari saya. Sekarang malah saya yang kelihatan pendek dari kamu.
Dunia memang sudah berubah ya “
“ Iya gak apa-apa atuh. Gimana kehidupan kamu di
Jakarta? “
“ Biasa saja, tidak ada yang menarik. Saya
lebih suka tinggal disini “
“ Denger kabar dari nenek, katanya kamu baru
selesai kuliah dan sekarang bekerja di perusahaan ayah kamu ya? “
“ ya begitulah “
“ Wah, si Pandu yang dulu suka nangis teh
sekarang mah jadi keren euy! Hebat lah kamu teh “
“ biasa aja ko Bib, kamu gimana? Lagi sibuk
apa sekarang? “
“ Habib ayeuna damel sareng Mang
Uhe jadi panai beusi “
(Habib
sekarang kerja sama Mang Uhe jadi padi pandai besi)
“ Buat pedang, bedog, keris, yang kaya gitu Bib? “
Habib
mengangguk dengan mantap.
“ Wah berarti nanti kamu bisa buatkan saya
senjata ya buat pajangan di rumah “
“ Ya bisa tauh, Pandu mau? Biar saya buatkan
nanti “
“ hahaha.. saya Cuma bercanda ko Bib. Gak
usah repot-repot. Eh kamu kenapa kesini Bib? “
Habib
duduk di ambang pintu rumah ini menghadap keluar. Membiarkan kakinya berayun di
atas ketinggian pohon yang membuatku sedikit ngeri. Aku duduk di sampingnya,
melihat lukisan alam cakrawala senja yang indah.
“ Setiap sore saya memang sering kesini.
Hanya untuk memastikan saja bahwa kenangan masa kecil saya masih aman
tersimpan. Hanya ini satu-satunya peninggalan masa kecil saya yang tersisa. “
ujarnya sambil terus memandang cakrawala.
Aku
memperhatikan wajahnya, ketika diperhatikan dengan sekesama wajahnya memang
tampan meskipun dilapisi noda hitam. Aku menjadi sedikit tidak fokus.
“ satu tahun yang lalu, pohon ini pernah akan
di tebang. Tapi untung saja tidak jadi
karena saya dan teman-teman lain menolaknya. Kami ingin rumah pohon ini masih
bertahan sebagai tempat persinggahan kami jika kami rindu masa kecil. Isi dari
kotak yang kamu buka tadi itu adalah hasil yang dapat kami kumpulkan dari masa
lalu. Hanya sebagai tanda bahwa dulu kita pernah bersenang-senang bersama
dengan benda-benda itu “
Selesai
berbicara ia menolehkan pandangannya ke arahku. Ia memberikan senyumnya yang
manis dan itu membuat detak jantungku meningkan dua kali lipat.
“ Jadi teman-teman yang lain juga masih
disini? “
Habib
mengangguk, “ kecuali Agus, kamu sudah tahu kabar tentang dia? “
“ Iya saya sudah tahu. Saya gak nyangka Bib
dia bisa begitu “
“ Saya juga, dia berubah setelah pulang dari
Jogja. Dua tahun yang lalu dia pernah kerja di Jogja entah jadi apa. Pulang-pulang
dari jogja ya sikapnya jadi berubah. Agus jadi orang yang pemarah. Saya kira
yang bakalan begitu itu kamu loh Pandu, soalnya kamu kan tinggal di kota. Tapi
ternyata dugaan saya salah, kamu masih tetap sama kaya dulu “
“ Amit-amit deh, jangan sampai saya jadi
begitu Bib. Karim, Emi, sama Siti gimana? Saya belum tahu kabar tentang mereka
“
“ Karim dan Emi, mereka menikah akhirnya Du.
Emi baru saja melahirkan seorang anak satu bulan yang lalu. Anaknya laki-laki,
lucu sekali? “
“ Oh ya? Wah saya jadi ingin bertemu dengan
mereka. Saya ingin membahas lagi waktu Emi kasih surat cintanya dulu “
Habib
tertawa kecil.
“ Kalau Siti? “
“ Siti juga masih disini, tinggal berdua sama
anaknya Akmal. Umur Akmal masih lima tahun “
“ suaminya siapa? Jangan bilang kalau
suaminya si Jambul Aziz “
“ ya kamu memang benar, Siti menikah dengan
Aziz. Tapi, Aziz meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan truk saat pergi ke
Surabaya Du. Jadi sekarang Siti menjanda. “
“ Kasihan sekali, eeh Habib besok kamu bisa
antar saya menemui mereka semua? Saya rindu sekali sama mereka “
“ jadi kamu cuma rindu sama mereka? Sama saya
gimana? “ celetuknya bergurau.
“ ya saya juga rindu kamu Habib, apalagi sama
rujak buatan kamu. Saya rindu sekali “
Habib
lagi-lagi tersenyum manis kepadaku, “ Besok saya antarkan kamu ke rumah Karim
dan Emi, saya juga akan suruh Siti datang. Kebetulan besok dia libur kerja di
pabrik. Saya juga mau minta izin untuk tidak bekerja sehari besok. “
“ terima kasih kalau begitu “
Kami
berdua saling menatap, mataku bertemu dengan mata Habib. Jantung ini semakin
berdebar dengan kencang saja. Suara desir angin juga berubah menjadi seperti
petikan gitar romantis di telingaku.
“ eh Pandu, saya mau bersihkan badan dulu di
sungai ya “
“ ya sudah kalau begitu, saya ikut saja.
Nanti kita pulang barengan. Rumahmu masih tetap sama kan? “
“ ya iya atuh masih sama, hayu
atuh “
Kami
berjalan menuruni tangga dengan perlahan-lahan. Dalam hati aku berujar,
sepertinya aku akan mendapatkan tontonan bagus sebentar lagi.
.
.
Aliran sungai sore ini begitu tenang. Sinar mentari senja memantul ke
tubuh sungai. Airnya yang bersih tak pernah berubah sejak aku masih kecil dulu.
Seolah memang tidak pernah dijamah oleh siapapun. Saat ini aku sedang duduk di
sebuah batu besar. Batu dimana tempatku dulu menyimpan baju jika sedang mandi
di sungai. Di tengah sungai sana Habib sedang membersihkan tubuhnya.
Kini dia sedang setengah telanjang. Firasatku tadi benar, aku memang
kini tengah disuguhi sebuah tontonan yang memukau. Kalian pasti juga ingin
melihatnya jika tahu. Akan ku beritahu pendeskiripsian pemandangan yang ku
lihat sekarang kepada kalian.
Habib
sedang berdiri menghadap ke arahku, kini ia setengah telanjang. Hanya
mengenakan celana jeans pendek yang sudah robek disana-sini. Tubuhnya kekar dan
berotot seperti layaknya anak-anak Gym di kota. Tapi kuduga, sepertinya
otot-otot yang dimiliki Habib bukan karen efek Gym. Melainkan karena
pekerjaannya yang berat sebagai seorang pandai besi. Ia menggosok bagian
perutnya yang berbentuk seperti roti sobek itu dengan perlahan. Menghilangkan
noda hitam yang menempel dengan kedua tangannya yang besar secara perlahan. Aku
menelan ludahku dan mencoba mengalihkan perhatianku. Aku tak ingin berpikiran
macam-macam.
Suara
kecipak air dengan sekala besar terdengar di telingaku. Seolah-olah seperti ada
seseorang yang menjatuhkan batu besar kedalam air. Aku menoleh ke arah Habib
dan tak ada siapapun disana. Habib menghilang beberapa saat, lalu tiba-tiba
muncul dengan cara yang mengagetkan di hadapanku. Sontak aku menjerit karena
terkejut dibuatnya.
“ Hayoo.. ngelamunin apa sampe kamu gak
nyadar saya ngilang “ Habib terkekeh.
Suara
tawanya kembali menggetarkan jiwaku. Kini wajahnya sudah bersih, terlihatlah
kulit aslinya yang pautih seperti bule. Hidungnya mancung dengan bibir merah
yang meranum. Sepertinya jika aku mengajak Habib ke Jakarta dan mengenalkannya
pada salah satu agensi model pasti dia akan diterima tanpa basa-basi lagi.
Habib memang sudah tampan dari kecil, banyak sekali teman—teman sekolah kami di
SD dulu yang menyukainya. Tapi mereka selalu mendapat hasil mengecewakan karen
Habib pasti menolaknya. Habib selalu memilih untuk terus bersama kelima sahabatnya
dibandingkan dengan satu perempuan spesial di hatinya.
“ Enggak ko, saya gak ngelamunin apa-apa.
Kamu ada-ada saja Bib “
Habib
naik ke atas batu dan duduk di sebelahku. Rambutnya yang lepek menutupi mata
kirinya.
“ Jangan bohong, dari tadi saya perhatikan
kamu ko Pandu heheheehe.. kamu mau punya badan kaya saya ya? “
Dia
menunjukkan otot lengannya, membuat otot itu menonjol seperti bukit. Lagi-lagi
aku menelan ludah.
“ Ah enggak tuh, saya juga punya “
Kataku
sambil memperlihatkan otot bisepsku juga hasil Gym selama ini.
“ uiihh gede juga ya, sering angkat barbel ya
kamu teh Du? “
“ iya dong “
“ Iya da kamu mah tinggalnya di kota. Henteu
jiga Habib anu gawe na ngan ngangkatan beusi jang ngajieun bedog “
(Tidak
seperti Habib yang hanya bekerja menganggkat besi untuk membuat bedog)
“ Tapi segitu mah badan kamu bagus Habib,
makin banyak dong perempuan yang suka sama kamu ya “
“ Ya begitulah, masih sama seperti dulu. Kamu
kenal si Mimin kan? Anak pak lurah yang dulu muntah ke baju si Emi wakutu kelas
satu SD “
Aku
mengangguk.
“ Dia masih ngejar-ngejar saya sampe
sekarang. Bahkan kemarin pak lurah meminta langsung kepada saya untuk meminang
anaknya itu “
“ Lalu kamu jawab apa? Diterima? Bagus tuh
kalau kamu jadi menantu Lurah Bib “
Habib
mengangkat ujung bibirnya tersenyum. Matanya menatap tajam kepadaku.
“ Saya menolak, saya menunggu seseorang
kembali “ katanya.
“ Siapa? Si Silmi yang pergi ke Bandung itu?
Yang dulu kamu pernah cium pipinya waktu kelas empat? “
“ Bukan, itu lain lagi “ dia tertawa lagi.
“ Saya masih menunggu orang yang sudah lama
pergi. Kini dia sudah kembali “ katanya lagi dengan misterius.
“ Ya bagus jika sudah kembali, kenapa tidak
langsung nyatakan saja kalau kamu cinta dia Bib “
“ Saya teh masih menunggu waktu yang tepat.
Kamu gimana? Sudah punya pacar? Atau mungkin kamu sepertinya sudah punya
tunangan ya? “
“ saya masih jomblo Bib, masih betah
menyendiri “
Tiba-tiba
aku melihat mata Habib berbinar, rona wajahnya berubah lebiih cerah.
“ Kenapa kamu senyum-senyum gitu? Mau
ngetawain saya yang masih jomblo? “ tanyaku.
“ tidak atuh Pandu, nasib kita teh sama.
Kalau saya ketawain kamu, saya juga ngetawain diri sendiri dong. Sudah mau
maghrib, bentar lagi adzan. Mari saya antar kamu pulang “
Aku
mengangguk, dengan cekatan habib memegang pergelangan tanganku. Menuntunku
menuju tepian sungai.
Komentar
Posting Komentar