CHILDHOOD (Bagian 2)

Halimun tipis di cakrawala pagi sedang bergerak beriringan. Seolah-olah mereka ingin menyapa sang embun yang baru saja membasahi padi dam rumput-rumput liar di sawah. Speaker di surau masih menyala, melantunkan puji-pujian terhadap sang maha kuasa. Pagi ini tubuhku sedikit menggigil kedinginan. Biasanya saat di rumah, aku tertidur tanpa busana karena memang sangat panas. Ya kalian tahu lah bagaimana Jakarta. Tapi disini, aku harus mengenakan baju hangat tebalku lengkap dengan training panjang dan kaus kaki yang menutupi telapak kaki. Aku berjalan ke beranda rumah, menatap alam di pagi buta. Matahari masih belum menampakkan sinarnya. Tapi langit sudah mulai terang sedikit demi sedikit. Aku kembali masuk ke rumah dan langsung menuju dapur. Aku melihat nenek yang kini tengah duduk di depan tungku perapian. Nenekku sedang memasak air dan juga menanak nasi. Tangannya tak henti mengipaskan kayu bakar agar apinya tetap besar dan menyala.
  “ Pandu, cik punten jang pang nyandakeun gayung “
(Pandu, tolong ambilkan gayung )
Kata nenekku sembari menunjuk ke arah gayung berwarna merah yang sudah pudar. Aku berikan gayung itu padanya, lalu aku duduk di samping nenekku.
Rasa hangat mulai menyelimuti tubuhku. Api dari tungku itu memberika efek nyaman di tubuhku.
  “ Nek, kemarin Pandu ketemu sama Habib “
  “ Syukurlah jika kamu sudah bertemu dengannya. Habib sering datang ke rumah menemui nenek hanya untuk menanyakan kabar kamu Du “
  “ oh ya Nek? “
  “ iya, setiap minggunya dia sering datang ke rumah nenek. Awalnya ia bilang hanya ingin menemani nenek di rumah. Tapi pasti ujung-ujungnya dia menanyakan kabar kamu “ jelas nenekku.
Mendengar kabar itu, aku jadi tersipu malu. Apakah Habib sepenasaran itu dengan kabarku selama ini. Jika tahu seperti itu, mungkin setiap minggu aku akan mengirimkan pesan lewat kantor pos untuknya.
Selanjutnya, ku tanyakan kebenaran cerita Habib tentang sahabat-sahabatku semasa kecil. Nenek mengiyakan semuanya, mulai dari cerita Agus yang dibui, Emi yang menikah dengan si Karim, dan Siti yang kini sudah menjadi janda muda.
  “ Semuanya serasa begitu cepat berubah ya nek. Semakin bertumbuh besar setiap manusia, pasti semakin banyak masalah. Apakah nenek merasakannya? “
  “ ya tentu saja, semakin dewasa seorang manusia maka akan semakin banyak rintangan yang dihadapinya. Semua masalah itu adalah sebagai ujian untuk pendewasaan diri Pandu. Tapi setiap masalah orang itu pasti berbeda-beda. Tergantung sikap dan perilaku orangnya. Ada yang memiliki masalah rumit untuk pendewasaan dirinya, ada juga yang hanya memiliki masalah-masalah kecil sebagai rintangan hidup yang mudah untuk dilewati “
  “ Kalau seperti itu, rasanya Pandu ingin kembali kecil nek. Hanya bersenang-senang dengan teman tanpa ada masalah apapun “
  “ Lah kamu itu gimana sih? Ya gak akan bisa lah. Incu nenek tos saageung kieu maenya rek jadi alit deui
(cucu nenek sudah sebesar ini masa ingin jadi kecil lagi)
Kami tertawa di depan tungku api. Kehangatan semakin menyelimuti tubuhku. Sedang asyik-asyik mengobrol tiba-tiba Rian berlari dari beranda rumah.
  “ A Pandu, dipayun aya A Habib ngantosan
(kak Pandu, didepan ada kak Habib sedang menungu)
Aku berdiri dari dudukku, segera pergi menuju beranda rumah untuk menemui Habib yang katanya sedang menungguku. Ternyata benar saja, Habib tengah duduk di kursi kayu antik milik nenek. Duduk dengan meluruskan kakinya yang panjang berbalutkan kain sarung berwarna putih. Ia mengenakan kaus berwarna kuning, kaus salah satu dari partai politik yang sepertinya dulu pernah kampanye disini. Rambutnya yang hitam sedikit basah.
  “ Habib? Mau berangkat sekarang ke rumah Karim? “
  “ Ah tidak, nanti siang saja kita pergi kesana. Saya kesini hanya mau mampir saja. Barusan saya abis dari masjid Du. Lewat rumah nenek, saya inget ada kamu disini. Jadi ya saya mampir dulu buat ketemu kamu “
Dor! Rasanya diriku seperti tertembak tepat di hati. Kata-katanya manis sekali.
  “ Padahal nanti siang juga bisa Bib “
  “ Jadi kamu teh gak mau ya saya kesini sepagi ini? Maaf atuh kalau saya mengganggu kamu, “ Habib berdiri hendak berpamitan. Tapi aku tahan dengan segera.
  “ Bukan gitu, saya seneng kok kamu mau datang. Ayo masuk, kita ngobrol di dalem aja. Nenek pasti siapkan sesuatu buat kita “
Habib menyunggingkan senyum menawannya kepadaku. Aku mengajaknya masuk dengan menggandeng pergelangan tangannya yang putih.
Kami duduk berdampingan di ruang tamu. Dua kopi yang masih panas dan mengepulkan asap begitu menggiurkan tenggorokan. Gorengan pisang dan bala-bala tersaji di piring kaleng zaman dulu yang masih nenek simpan. Minyk yang menempel di gorengan membuat mulutku juga terasa aneh. Ingin mencicipi sebanyak mungkin.
Habib mengambil cangkir kopi lalu menyeruputnya dengan perlahan dan penuh kenikmatan. Bibirnya yang tipis dan mereah ranum menyun. Membentuk sebuah lingkaran yang sedap dipandang mata.
Melihatnya seperti itu, aku juga jadi tergoda untuk mencicipi kelegitan si kopi dalam cangkir. Ku ambil kuping cangkir dengan telunjukku lalu kuminum kopi itu tanpa ada ancang-ancang terlebih dahulu. Alhasil bibirku terasa dibakar. Panas menyengat bibirku karena kopi itu. Aku sedikit menjerit kesakitan. Kopi yang ada di cangkirpun sedikit tumpah karena hentakan tubuhku.
Habib menyimpan kembali cangkir kopinya. Dengan sigap ia melap kopi yang ada di mulutku dengan sarungnya. Tangan kanannya yang besar terasa dingi ketika memegangi pipiku. Dalam posisi itu, kedua bola mata kami saling bertemu. Kami berpandangan lagi cukup lama. Sorot mata Habib padaku begitu dalam. Ia seolah ingin mengatakan sesuatu yang penting. Lalu aku melihat ia menarik sudut bibirnya. Membuat sebuah senyum yang manis.
  “ makannya kalau minum kopi ditiup dulu. Jangan langsung diseruput kaya gitu. Kamu jadi kepanasan kan “
Aku memegang lengannya yang masih menempel di pipiku. Getaran hebat melanda tangganku ketika bersentuhan dengannya.
  “ terima kasih “
Habib lalu melepaskan tangannya dari pipiku. Ia merunduk sambil memalingkan wajahnya dariku. Semenit kemudian Rian berlari ke arah ruang tamu siap dengan baju seragam SD nya. Rambutnya telah tersisir rapi dan sangat kelimis.
  “ A Pandu, anter Rian ke sekolah yu “
  “ Lah, emang kamu biasanya pergi ke sekolah di anter? “
  “ enggak sih, Cuma hari ini Rian mau kasih tau temen-temen Rian di sekolah kalau Rian punya kaka ganteng. Pasti Rian jadi terkenal nanti “
Aku mengacak-acak rambutnya sembari tertawa. Rian memanyunkan bibirnya karena kesal.
  “ Tapi A Pandu belum mandi, kamu pergi sendirian aja ya kaya biasanya? “
  “ Sama A Habib mau dianter? “ tanya Habib menawarkan diri.
  “ Ya udah kalau A Pandu gak mau. A Habib juga gak kalah gantengnya sih sama A Pandu. Tapi nanti A Habib pura-pura jadi kaka kandungnya Rian ya? Biar keren gitu “
  “ iya-iya.. “ Habib memberikan senyumnya. Aku kembali meleleh.
  “ Ya sudah, saya pergi antar Rian dulu ya. Selesai antar Rian saya mau pulang ke rumah. Nanti siang saya jemput kamu ya Du? Jam sebelas saya kesini lagi buat jemput kamu “
  “ Iya Bib, saya tunggu “
Setelah Rian bersalaman denganku dan nenek, mereka berdua pergi meninggalkan rumah.
*****
Terik matahari begitu menyengat siang ini. Aku sudah mengenakan baju rapi dan kini tengah duduk di beranda rumah sendirian. Menunggu Habib datang untuk menjemputku. Sudah beberapa kali aku menatap ujung jalan, namun batang hidung Habib tak kulihat sama sekali.
Akhirnya setelah lima menit menunggu, aku melihat Habib sedang memacu sepedanya. Habib terlihat begitu segar. Ia mengenakan kemeja berlengan tanpa motif berwarna biru langit. Begitu kontras di kulitnya yang putih bersih. Cahaya matahari memantul begitu indah ke arahnya. Membuat Habib seperti seorang dewata yang tengah turun ke bumi untuk memberikan kebahagiaan bagi seluruh manusia di bumi.
Ia memarkirkan sepedanya tepat di depan rumahku. Tanpa turun terlebih dahulu dia menepuk-nepuk jok kecil di bagian belakang sepedanya.
  “ Ayo, kita berangkat sekarang. Emi sama Karim udah nunggu di rumah. Siti juga udah dijalan katanya “
Aku menghampirinya lalu duduk di jok kecil belakang sepedanya.
  “ Pegangan ya, saya mau ngebut soalnya “
Awalnya aku ragu untuk berpegangan. Namun Habib malah mengarahkanku ke pinggangnya. Ia melingkarkan lenganku tepat di pinggangnya yang terasa begitu keras.
  “ Yang erat ya, kalau kamu jatuh nanti bahaya “
Kedua tangannya kembali memegang stang. Kakinya mulai mengayuh pedal dan roda-rodapun berputar.
Kami berdua menyusuri jalanan kecil yang lenggang. Tak ada seorangpun yang lewat. Lagi pula siapa juga yang ingin berjalan kaki dibawah panasnya terik matahari? Lebih baik diam di rumah sambil melakukan hal yang menyenangkan.
Tak lama kemudian kami menyusuri pesawahan. Terik matahari semakin menyengat ketika kami memasuki area pesawahan yang kini sudah menguning. Pohon-pohon di tepi jalanan kecil ini ditanam dengan jarak yang berjauhan. Itu sebabnya saat ini aku tengah mengernyitkan dahiku melawan terik matahari.
Sambil mengayuh sepedanya, Habib menyodorkan handuk kecil ke belakang. Ia sedikit menengok ke arahku sambil mengernyitkan dahinya juga.
  “ Lap keringetnya. Terus kamu pake buat tutupi kepala kamu ya. Maaf saya lupa bawa topi buat kamu “
  “ Gak apa-apa ko Bib, padahal kamu gak usah repot “
Aku mengambilnya dan menyimpan handuk itu di kepalaku. Membuatku sedikit lebih nyaman dari sebelumnya.
Habib terus mengayuh sepedanya tanpa henti. Akhirnya setelah dua puluh menit berjalan kami tiba di sebuah rumah kecil yang nyaman.
Rumah itu berpagarkan kayu yang disusun rapi. Di halaman rumahnya ada kandang ayam dengan kolam ikan di bawahnya. Belasan kandang burung berkicau bergelantungan di depan rumah. Membuat keadaan sedikit ramai. Habib menyimpan sepedanya tepat di depan rumah. Setelah mengetuk pintu sambil mengucap salam, seorang perempuan keluar dengan mengenakan daster bermotifkan batik. Perempuan itu menggelung rambutnya. Terlihat sedikt lebih tua. Ia memegang spatula kayu di tangan kanannya.
  “ nuju naon Mi? “ tanya Habib.
(Lagi apa Mi? )
  “ Ieu pan Emi nuju ngaliwet jang urang sadayana. Habib kadieu sareng si Pandu kan?”
(Ini kan Emi lagi buat nasi liwet buat kita semua. Habib kesini sama Pandu kan?)
Habib menunjuk ke arahku, Emi menatapku cukup lama. Aku melihat linangan air mata di sudut matanya. Ia menerjangku lalu memelukku dengan erat. Bau ikan asin langsung menyeruak ke dalam rongga hidungku.
  “ Lama kita gak ketemu ya Du. Saya rindu kamu “ ujarnya sambil menangis.
Lalu aku melihat seorang lelaki dengan kumis dan jenggot di wajahnya. Lelaki itu mengenakan kaus yang sudah belel sambil menggendong seorang bayi yang sedang tertidur.
  “ Pandu? “ tanya lelaki itu.
  “ Ya, ini saya. Apakabar kamu Karim? “
  “ Pak, akhirnya kita bisa ketemu lagi sama si cengeng ya “ ledek Emi.
  “ Masyaallah Du, lama kita gak ketemu ya. Saya senang bisa bertemu kamu lagi “
  “ Saya juga senang bisa bertemu kalian semua “
  “ hayu atuh masuk dulu, Emi sudah siapkan nasi liwet “
Akupun memasuki rumah kecil itu.
Rumah yang sederhana dan cukup untuk keluarga kecil Emi dan Karim. Tak pernah menyangka jika akhirnya mereka benar-benar hidup bersama dalam sebuah jalinan rumah tangga. Di ruang tengah rumah, berjajar foto-foto mereka berdua. Saat mereka berdua masih kecil dan bau matahari, hingga ketika mereka berdua berada dalam sebuah pelaminan sederhana dengan baju pengantin serba putih. Aku juga melihat foto kami berlima saat kecil. Masih teringat dalam benakku, kala itu kami berfoto saat hendak pergi menuju tempat mengaji. Ayahku yang memfotokannya.
  “ Bagaimana kamu di Jakarta Du? “ tanya Karim.
  “ Ya bgitulah. Syaa disibukkan dengan pekerjaan saya di perusahaan ayah”
  “ Oh iya, bagaimana kabar ayah Du? “ tanya Emi sambil membawa makanan dalam piring satu persatu ke meja makan.
  “ Ayah baik, Cuma akhir-akhir ini penyakit jantungnya kambuh “
  “Semoga bisa cepet sembuh ya”
Tiba-tiba bayi di pangkuan Karim menangis. Karim mengayunkan gendongannya ke kanan dan kekiri. Tapi tetap saja anaknya tak berhenti menangis.
  “saya mau coba gendong boleh?”
  “ Nanti dia pipis di gendongan kamu Du. Sudah biar saya saja yang menenangkannya.” Jawab Emi khawatir.
  “ Gak apa-apa, saya bawa baju ganti ko. Sini sama om” Aku menyodorkan kedua tangannku. Karim menyerahkan anaknya ke pangkuanku. Bayi itu masih menangis.
Ku coba untuk mengayunkannya ke kanan dan kekiri. Kudendangkan lagu sedikit. Bayi tiu perlahan-lahan menghentikan tangisnya. Lalu akhirnya terlelap lagi dalam tidurnya. Aku tersenyum, karim dan Emi tertawa cekikikan. Sedangkan Habib yang duduk di hadapanku hanya memandang ke arahku sambil tersenyum.
  “Sudah matang semua, gimana kalau kita makan dulu yuk”
Aku menyerahkan kembali bayi itu kepangkuan ibunya.
Kami berempat makan di atas sebuah meja makan sederhana. Masakan Emi begitu enak dan sedap dinikmati lidah. Sampai-sampai aku menambah beberapa kali porsi makanku. Emi memang hebat dalam memasak. Sama seperti ibunya. Di sela-sela makan, beberapa kali aku bertatap muka dengan Habib. Ia memilih duduk berhadapan denganku.
Setelah makanan habis, Ada seseorang yang mengetuk pintu rumah. Dari luar sana aku mendengar suara seorang perempuan.
Dengan segera karim membuka pintu rumahnya. Masuklah sosok perempuan berseragam kemeja biru dengan seorang anak dalam tuntunannya. Anak itu terlihat manis dan tampan.
Wanita itu menatapku dengan tatapan bahagianya. Aku bisa melihat binar bahagia itu dalam ekspresinya. Wanita itu melepaskan tangan dari genggaman anaknya lalu berlari  menghampiriku. Ia menepuk pundakku sedikit keras.
  “Pandu? Ya ampuunn sudah lama kita teh gak ketemu ya”
  “kamu siti?”
  “ Iya saya siti, saya Siti yang dulu suka nangis kalau ditinggalkan kalian waktu ngaji”
Kami semua tertawa, hanya Akmal saja yang diam kebingungan. Anak manis itu menatapku. Aku berjongkok, mencoba untuk menyamakan tinggiku dengannya. Awalnya Akmal menjauh lalu bersembunyi dibalik ibunya. Namun setelah ibunya membisikkan sesuatu Akmal tersenyum lalu berani memegang tanganku.
  “Halo, namanya siapa?” tanyaku dengan nada seceria mungkin.
Akmal tak menjawab, dia melihat ke arah ibunya yang kini sedang tertawa geli.
  “Akmal tidak terbiasa dengan orang yang berbahasa Indonesia”
  “Nami na saha?” ku ulang lagi pertanyaanku dengan menggunakan bahasa Sunda.
  “Akmal” jawabnya singkat sambil tersenyum, lucu sekali.
  “Hoyong permen teu? Mamang gaduh permen kanggo Akmal”
(Mau permen tidak? Paman punya permen untuk Akmal)
Aku merogoh tasku. Mengambil permen lolipop yang kubeli kemarin bersama adik sepupuku. Akmal mengambilnya sambil berkata nuhun (terima kasih) kepadaku.
Aku mengacak-acak rambutnya dan ia kembali tertawa.
******
Kami bercengkrama hingga fajar mulai turun di ufuk barat. Aku banyak membagikan kisahku ketika hidup di Jakarta bersama teman-teman kecilku. Banyak mereka yang mengagumi kesibukan kota Jakarta. Mereka tidak tahu bagaimana sesak dan menyebalkannya kota itu. Siti menceritakan kisah hidupnya. Ketika ditinggalkan suaminya hingga kini ia sedang dekat dengan seorang lelaki temannya bekerja. Karim berbicara tentang rencananya untuk pergi ke Jakarta juga. Aku sempat menawarkan dirinya untuk bekerja di perusahaan ayahku sebagai OB. Tapi ketika aku menawarkannya Habib menyela. Ia menawarkan diri untuk menerima pekerjaan itu dan meninggalkan pekerjaannya sebagai pandai besi disini.
  “Ya sudah, nanti aku usahakan kalian berdua bisa bekerja di perusahaan ayahku”
  “Makasih ya Du”
  “Tapi kang Karim upami angkat ka Jakarta mah meureun Emi nyalira didieu”
(Tapi kalau mas Karim pergi ke Jakarta, Emi jadi sendirian dong disini)
  “Henteu atuh Mi, Emi ge ngiring sareng akang ka Jakarta. Urang pindah”
  “Masalah itu bisa kalian bicarakan lagi nanti. Sudah sore, saya pulang ya? Soalnya nenek pasti nunggu di rumah” Kataku sambil membereskan tas kecilku.
  “Dasar anak manja, kamu mah masih aja sama kaya yang dulu Du” Celetuk Emi.
  “Ya sudah atuh, saya juga sekalian aja. Soalnya mau anterin Pandu pulang”
Semua teman-temanku yang lain tiba-tiba saling berpandangan dan tersenyum. Bahkan Siti sambil mengeluarkan siulan dari mulutnya.
  “ Iya sok atuh silahkan. Hati-hati ya Bib bawa si Pandunya” kata Emi sambil tersenyum jahil melihat Habib. Habib tak menjawab. Ia hanya merundukkan wajahnya malu.
.
.
Sepeda itu kembali ia kayuh dengan perlahan. Lajunya sangat lamban karena terik matahari tak lagi menyengat tubuh kami berdua. Habib membisu, tak ada satupun kata yang terucap dari lisannya. Aku mencoba untuk melingkarkan tanganku di pinggangnya. Awalnya aku merasa gugup, namun lengan itu seperti memiliki magnet hingga akhirnya melingkarlah tanganku di pinggangnya.
Aku merasakan tubuh Habib sedikit bergetar. Mungkin dia merasa geli ketika lenganku bersentuhan dengan pinggangnya. Namun beberapa menit kemudian ia kembali tenang dan fokus dengan kayuhannya. Ketika roda-roda sepeda yang kami tumpangi melewati jalan yang rusak, lengan habib menyentuh lenganku secara tiba-tiba.
  “Pegangannya yang kuat, saya enggak mau kamu jatuh”
Aku mengikuti perintahnya. Ku eratkan peganganku.
Adzan sudah menggema di angkasa, namun kami masih berada dijalan. Entah kenapa Habib memilih jalan dengan rute yang lebih jauh. Jalanan sudah gelap, tak ada penerangan sama sekali.
Ponselku berdering, aku menepuk pundak Habib untuk berhenti sebentar. Ia menekan rem sepedanya. Aku merogoh ponselku.
  “Halo?”
  “Pandu, ini ayah nak. Ayah pakai nomor handphone kantor. Kamu besok bisa pulang gak?”
  “besok yah? Ada apa?”
  “Ada urusan perusahaan yang penting, ayah pikir sepertinya kamu juga harus ikut. Jadi besok sebaiknya kamu pulang ke Jakarta”
  “Ya sudah, besok Pandu pulang”
Setelah itu, sambungan telfon berhenti. Habib menengok ke belakang.
  “Kamu harus pulang besok?”
Aku mengangguk.
  “Ya sudah, berarti saya harus percepat jalannya. Kamu butuh beres-beres barang bawaan kamu pasti. Ayo pegangan lagi”

Aku kembali memegang erat pinggangnya.

MAAF APABILA ADA KESAMAAN NAMA, TOKOH, TEMPAT ATAUPUN KEJADIAN YANG DIALAMI PARA PEMBACA. CERITA INI HANYALAH KARANGAN FIKTIF BELAKA. MOHON MAAF APABILA MENEMUKAN BANYAK KESALAHAN DALAM PENULIS (TYPO)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CINTA SEGI EMPAT ( CHAPTER 15 )

I JUST LOVE YOU ( TWO SHOOT )

KARAM (Kama & Rama) #Bagian1